:
Sejak boomingnya komoditas Tembakau Deli di dunia
internasional sekitar tahun 1880an naluri bisnis yang mencari untung besar selalu
berupaya untuk mendongkrak produksi namun karena yang namanya tanaman hidup memerlukan
media tanam yaitu “lahan yang lebih luas” dampaknya banyak perkebunan tembakau
dibuka di daerah-daerah sekitar Deli, Langkat, dan Serdang.
Pada akhir dekade 1880an mulai tampak gejala-gejala
kelebihan produksi, celakanya terlebih-lebih dalam tahun 1891, sewaktu panen
tembakau ternyata berjumlah lima puluh ribu bal lebih banyak ketimbang tahun
1890.
Sebagai akibat “NAFSU” kelebihan produki ini sangat
lumrah...muncul kemelut persoalan baru yang mengakibatkan harga di pasaran
internasional anjlok lebih dari lima puluh persen di bawah tingkat harga tahun
1890. Beberapa faktor logis jika di kaji menurut hukum ekonomi ketika itu
adalah :
1. Pasaran internasional mengalami kelebihan Stok tembakau, lantara
melonjaknya produksi tembakau Deli.
2. Amerika menerapkan undang-undang bea masuk yang tinggi terutama impor
tembakau yang dikenal “tarif bea McKinley”, sehingga dalam tahun 1891,
pembelian tembakau oleh A.S. tertekan bahkan tidak terjadi. bagi yang persediaan
tembakau di satu pihak masih cukup, terpaksa menunda pembelian tembakau di lain
pihak.
Akibatnya di Indonesia mulai tahun 1891 sempat ada ditutupnya
beberapa perkebunan tembakau. Sejak tahun 1890 dan 1894, tidak kurang dari
duapuluh lima perusahaan tembakau dibubarkan. Karena luas
tanah yang harus ditanami tembakau haruslah dikurangi.
Kemelut tahun 1891 menandakan ”sangkakala” fase
pertama dari sejarah ekonomi khusu tembakau Deli diPantai Sumatera Timur.
Sesudah kemelut itu, mulailah para pengusaha berkonsolidasi.
Bagi Spekulan yang hanya aktif dalam perusahaan-perusahaan tembakau selama fase
pertama meninggalkan Pantai Sumatera Timur, apalagi perkebunan-perkebunan
tembakau yang cuma mempunyai kepentingan dalam investasi perkebunan-perkebunan
tembakau yang “sehat” saja.
Pengusaha-pengusaha yang “tinggal” lalu giat berusaha
untuk mengadakaan rasionalisasi dalam penanaman tembakau, a.l. dengan perbaikan
metoda-metoda produksi dan dengan mengadakan penelitian ilmiah yang ditujukan
untuk memperbaiki mutu tembakau Deli yang mutunya digemari.
Namun
demikian ternyata disisi lain pebisnis atau pengusaha-pengusaha perkebunan yang
lain tidak habis akal, lalu bagaimana agar perusahaannya tidak merugi lebih
banyak manakala ditutup dan mau usaha apa lagi ya kalau bisa jangan ikutan hengkang
dari indonesia ?..kemudian mulailah melirik tanaman/komoditas lain sempat
tergiur dengan komoditas kopi di daerah serdang (deli-serdang) namun
dalam perjalannya kenyataan kalah bersaing pula dengan komoditas kopi asal brasil
sehingga dianggap kurang menguntungkan, nahh muncullah komoditas karet
KARET
Pemerintah
Belanda terus mengadakan perbaikan, diperkenalkanlah Karet jenis baru (Castiloa Elastica atau Hevea Brasiliensis) yang ditemukan oleh Michele de Cuneo pada tahun 1493 di Amerika Selatan.
ada catatan sbb :
"Perkebunan Swasta berdiri dengan pesat sejak tahun 1885 di Onderneming tembakau Marindal telah dilakukan percobaan penanaman karet. Hal ini dilakukan pengusaha perkebunan untuk usaha mencari tanaman baru setelah selesai menanam tembakau". (John Anderson, 1962 : 35).
Namun (menurut saya sih) kalau begitu persoalannya adalah Karet dan Tembakau adalah type tanaman batang yang berbeda kan...tembakau adalah tanaman semusim atau berumur pendek sedangkan karet berumur panjang dan jenis tanaman keras (20-30 tahun)....kalau ditanami/diganti karet semua ketika itu lalu kapan menanam tembakaunya ya??? bukankah hanya mencari selingan dari off nya proses produksi tembakau? ...( ternyata sejalan dengan logika saya.........)
Tahun 1889, Pemerintah Belanda sudah membuka perkebunan karet di daerah Pamanukan dan Ciasemlanden, Jawa Barat dengan karet yang ditanam jenis Fiscus elastica. Perkebunan ini dianggap sebagai perkebunan karet tertua di dunia.
varietas awalnya yg dikenal ficus elastica pada 1898 mulai di ujicoba di pantai sumatera, belum (Hevea Brasiliensis) pelopornya J.C. Bunge dan kawan-kawan , akhirnya karet di perluas, tanaman kopi diganti komoditas karet, sehingga pengusaha banyak beralih ke perkebunan karet yang dikembangkan di daerah Serdang (Deli-Serdang).
namun varietas pohon karet ini hasilnya masih dinilai kurang memuaskan karena produktivitas lateks rendah dan tanaman mudah terserang hama dan penyakit, maka Kemudian mereka mulai mencari daerah di Indonesia yang cocok untuk ditanami karet jenis lain yaitu Hevea Brasiliensis.
Secara komersial di Indonesia pemerintah kolonial Belanda mulai membuka investasi lahan perkebunan karet kepada pengusaha dari berbagai negara pada tahun 1902, yang berlokasi di Sumatra Timur terus berkembang ke Sumatra Selatan, Jambi dan Bengkulu dan kemudian dilanjutkan di Jawa pada tahun 1906 (untuk jenis baru ini).
( Ilustrasi Dokumentasi Foto /: Mrprab ) |
Menurut catatan Karet (Hevea brasiliensis) Kemudian ada juga dibawa oleh perusahaan perkebunan asing ditanam di Sumatera Selatan. dalam bentuk Badan Usaha "Harrison and Crossfield Company" adalah perusahaan asing pertama yang mulai menanam karet di Sumatera Selatan dalam suatu perkebunan yang dikelola secara komersial.
di indonesia Harrison and Crossfield Company Awal berdirinya sih, adalah perusahaan perkebunan dan perdagangan yang berbasis di
London didirikan tahun 1906. kemudian Perseroan melakukan penanaman karet dan diversifikasi melalui teh dan kakao.
Akibat
peningkatan permintaan akan karet di pasar internasional, maka pemerintahan
Nedherland Indies yang kala itu kekurangan modal tidak tinggal diam, nahhh...lagi-lagi kepiawaian Jacob Theodoor Cremer "dipergunakan" untuk merangkul menawarkan peluang penanaman modal bagi investor luar Nedherland. Amerika Serikat Rubber Company dan General Rubber Company berminat lalu mendirikan Perusahaan Belanda–Amerika, Holland
Amerikaance Plantage Maatschappij (HAPM) pada tahun 1910-1911 menanamkan
modal dalam membuka perkebunan karet di Sumatera. Di Asahan ada kantornya,namun sekarang sudah berganti dimiliki Bakrie Sumatra Plantation . Perluasan perkebunan karet di
Sumatera berlangsung mulus karena sudah dirintisnya transportasi yang ketika
itu ada kereta api (DSM). Namun Umumnya sarana transportasi ini merupakan andil dan warisan dari usaha perkebunan tembakau di deli juga yang telah dialihkan dan mengembangkan sayapnya demi kepentingan Maatschappij dan Pemerintahan Hindia-Nedherland yang lebih luas.
Hal-hal
lain yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet antara lain karena
pemeliharaan tanaman karet dianggap relatif mudah. Pada masa itu, penduduk
umumnya sudah membudidayakan karet sambil menanam padi. Namun, mereka tetap memantau
pertumbuhan karet yang telah ditanam secara berkala hingga dapat dipanen.
Bersamaan
dengan itu naluri (keuntungan) para pebisnis komoditas perkebunan terus
bergolak positif dan dilatarbelakangi kesadaran atas bahayanya monoculture economy ketika masa tembakau Deli, maka muncullah pemikiran perlunya diversifikasi komoditas berprospek
lainnya disamping karet yaitu KELAPA SAWIT..
KELAPA
SAWIT
Menurut sejarah pada awalnya Tanaman ini dikenal di dunia barat setelah
orang Portugis berlayar ke Afrika
tahun 1466. Ketika itu dalam perjalanan ke Pantai Gading (Ghana), penduduk setempat terlihat
menggunakan kelapa sawit untuk memasak maupun untuk bahan kecantikan.
Pada tahun 1836 sudah di coba menanam kelapa sawit di India dan Kepulauan Maurutius
Pada tahun 1836 sudah di coba menanam kelapa sawit di India dan Kepulauan Maurutius
sejumlah biji kelapa sawit dibawa ke Inggris atau
memasuki daratan benua Eropa tahun 1844.
Pada tahun 1848 dibawa oleh pemerintah kolonial belanda ke Indonesia,
karena pada awalnya dianggap hanya untuk tanaman hias,dan untuk menambah
kasanah botanical di wilayah kolonial belanda maka ditanamlah untuk pertama kali di Kebun Raya Bogor.
Ada 4 tanaman yang ditanam di Kebun Raya
bogor (Botanical Garden) Bogor,dahulu bernama Buitenzorg yaitu: dua
berasal dari Bourbon (Mauritius) di benua afrika dan dua lainnya dari Hortus
Botanicus, Amsterdam (Belanda).
Setelah lima tahun pada tahun 1853 terlihat keempat tanaman tersebut telah berbuah. Pada pengamatan tahun 1858, ternyata keempat tanaman tersebut bertambah tumbuh subur dan berbuah
lebat mulailah bijinya disebar termasuk ke pulau Sumatera termasuk ke tanah
deli.
Tanah deli sejak 1863 sudah berkembang dahulu dengan
tanaman tembakau delinya yang kemudian terkenal secara internasional, lalu sawit ditanamlah kemudian ditepi-tepi
jalan di tanah deli dan lingkungan Perusahaan Tembakau Deli pada tahun 1870 yang
pada awalnya “tak lain” hanya dipergunakan sebagai tanaman hias dan peneduh
saja.
Catatan lain sejarah diketahui bahwa kelapa sawit telah diadakan uji coba
penanaman kelapa sawit pertama di Indonesia tahun 1868 yang dilakukan di
karesidenan Banyumas 14 acre dan di karisidenan Palembang 3 acre (Sumatera
Selatan).
hasil
uji coba tersebut menunjukkan bahwa tanaman kelapa telah berbuah pada tahun
keempat setelah ditanam dengan tinggi batang 1,5 m, sedangkan di negeri asalnya
baru berbuah pada tahun keenam atau ketujuh.
Selanjutnya uji coba dilakukan di Muara Enim tahun 1869, Musi Ulu 1870 dan
Biliton 1890 (Van Heurn, 1948) tetapi tidak begitu baik pertumbuhannya.
Hal ini baru disadari kemudian, bahwa iklim daerah Palembang dianggap
kurang sesuai untuk pertumbuan kelapa sawit, berbeda kemudian ketika dikembangkan ke Sumatera Utara, ternyata sungguh
baik.
1904 adalah penanaman
perdana Kelapa sawit di daerah Deli, Sumatera Utara,ya bisa diasumsikan sebagai eksebisi dululah....tapi oleh siapa ya???.
Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19.
Dari
sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan
seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura". Keunggulan kelapa sawit Sumatera Utara sudah dikenal sejak sebelum perang
dunia ke II dengan varietas “Dura Deli” (bahasa Inggirs: Deli Dura) yakni
tanaman kelapa sawit yang ditanam di Tanah Deli (Medan dan sekitarnya).
Walaupun
berbeda waktu penanaman (asal Bourbon lebih dulu dua bulan), tanaman tersebut
berbuah dalam waktu yang sama, mempunyai tipe yang sangat beragam, kemungkinan
diperoleh dari sumber genetik yang sama (Rutgers, 1922).
Kelapa sawit pada awalnya mulai diusahakan dan
dibudidayakan secara komersial dalam lingkup Perusahaan/Badan Usaha di Hindia Belanda dirintis oleh Adrien Hallet, warga Belgia,
Ketertarikan
Hallet pada tanaman tropis telah dimulai sejak 1889, di Africa dimana Ia telah
banyak membantu beberapa pengusaha Francis - Belgia yang mengembangkan
perkebunan disana.
Konon pada
saat beliau berkunjung ke Sumatera tahun 1908, Adrien
Hallet terkejut melihat pertumbuhan tanaman sawit di Sumatera yang jauh lebih
baik dibandingkan lokasi asalnya di afrika, langsung pada tahun 1909 beliau (Adrien Hallet ) bersama partnernya M. Bunge mengawalinya dengan mendirikan Badan Usaha yang diberi nama : SOCFIN atau Société Financière des Caoutchoucs di Medan Societe Anonyme sebagai
cikal bakal perusahaan yang bergerak di bisnis perkebunan.
Selanjutnya Hallet melakukan pengujian dan
pengamatan terhadap kelapa sawit, akhirnya ia memutuskan untuk membangun
perkebunan sawit komersil (skala besar) pertama di Sumatera Utara pada 1911.
Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran
baru dimulai tahun 1910.
Akhirnya
dipilihlah 3 lokasi perkebunan untuk ditanami kelapa sawit, yakni Sei Liput (Aceh),
Pulau Raja dan Deli Muda di wilayah Sumatera Bagian Utara.
Perkebunan
sawit Adrien Hallet ini kemudian berkembang seluas 6.500 akre (2.600 hektar).
Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur
Sumatera (Deli) dan Aceh ini Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan
penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara
Bukan
hanya di Indonesia, Adrian Hallet pada tahun yang sama juga membantu Henry
Fauconnier dengan mengirim beberapa kantong biji kelapa sawit (Elaeis
guineensis) dari Sumatera ke Malaysia untuk ditanam di Tennamaram dekat Rantau
Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912.
Perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran,
Kuala Selangor menggunakan benih
dura Deli dari Rantau Panjang dan “diasumsi”kan sebagai
perkebunan minyak sawit pertama di Malaysia.
Usaha Adrien
Hallet ini kemudian berkembang semakin menjanjikan hingga diikuti oleh K.Schadt, seorang pebisnis
asal Jerman yang mengembangkan perkebunan sawit di Tanah Itam Ulu,
Sumatera Utara, hingga pada akhir 1920, terdapat lebih dari 25 perusahaan perkebunan
di Sumatera hanya dalam kurun waktu 4 tahun (1916 - 1920).
Sekarang ini sudah tersebar luas di berbagai propinsi lain termasuk di P.
Jawa melalui proyek PIR atau perluasan usaha Perusahaan Perkebunan Negara (PPN)
ataupun Perseoran Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) yang kebanyakan berpusat
di Sumatera Utara, dan Riau serta pembukaan lahan baru oleh perusahaan asing
maupun swasta nasional.
Pada
awal tahun 80-an, tanaman kelapa sawit digelari sebagai komoditi primadona
karena memberi keuntungan yang melimpah. Dengan adanya “boom” ini, perluasan
areal dapat terealisasi dengan kemajuan yang pesat. Kalau sebelum perang dunia
ke II, Sumatera Utara danAceh adalah penghasil munyak kelapa sawit terbesar di
dunia, tetapi setelah perang, Malaysia adalah penghasil minyak sawit yang
utama. Ini berkat kemajuan Malaysia mengelola perkebuna sawit secara efisien
dan didukung oleh penelitian dan pengembangan teknologi yang mantap.
Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda
merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang,
produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940.
Semoga tidak senasib dengan Tembakau Deli.....!!!
Link artikel :
No comments:
Post a Comment