Jakarta - Berbagai kalangan menilai riset yang
dilakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) cenderung mendiskreditkan
industri kelapa sawit di Indonesia dan merupakan kampanye negatif.
Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo di Jakarta, Kamis menyatakan,
sudah cukup lama komoditas sawit di Indonesia menghadapi gencarnya
kampanye hitam dari berbagai penjuru, terutama LSM.
"Kita
mestinya jangan langsung percaya dengan riset LSM tersebut, harus dicek
lagi bagaimana metodenya, apa saja samplingnya," ujarnya.
Menurut dia, jika riset itu berbeda dengan data pemerintah, maka para
pemangku kepentingan dapat melayangkan protes terhadap riset tersebut.
"Apa maksud dan tujuan dilakukannya riset itu, perlu didalami sehingga tidak kontraproduktif," ucapnya.
Saat ini marak riset dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
mengaitkan penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit dengan pelanggaran
hak asasi manusia (HAM) berupa perampasan lahan, perusakan lingkungan,
serta konflik sosial.
Ketua Forum Pengembangan Perkebunan
Strategis Berkelanjutan (FP2SB), Achmad Manggabarani, membenarkan
maraknya riset yang dilakukan oleh LSM memang cenderung mendiskreditkan
industri kelapa sawit di Indonesia dan dapat dikategorikan kampanye
negatif.
Menurut dia, sudah semestinya seluruh stakeholders
tunduk kepada data pemerintah yang bertugas mengatur perkembangan
industri, mengingat industri kelapa sawit memberikan kontribusi yang
besar bagi devisa negara, tenaga kerja, dan pemerataan pembangunan di
daerah.
"Jangan sampai riset yang belum valid itu justru
dijadikan patokan, padahal pemerintah sebagai otoritas yang berwenang
memiliki data yang berbeda," kata mantan Dirjen Perkebunan itu.
Sekjen Kementerian Pertanian (Kementan) Hari Priyono menyatakan saat
ini luas lahan kelapa sawit 10,5 juta hektare (ha) yang mana 4,4 juta ha
dimiliki oleh petani.
"Kelapa sawit memiliki peran besar bagi
ekonomi Indonesia, Dengan data itu, maka tidak benar kalau perkebunan
kelapa sawit dikuasai perusahaan besar," katanya.
Sekretaris
Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko
Supriyono mengatakan penguasaan lahan sawit oleh industri sama sekali
tidak berhubungan dengan masalah HAM, melainkan prosedur hukum dan
perusahaan yang memiliki lahan sudah memiliki aturan tersendiri.
"Tidak ada hubungannya dengan HAM, karena aturan kepemilikan lahan
sudah jelas. Ketika ada yang keberatan, perusahaan pun memiliki prosedur
sendiri untuk menyelesaikan masalah itu, misalnya dengan dialog dan
negosiasi untuk kompensasi," ujarnya.
Dia mengatakan struktur
kepemilikan lahan sekitar 42 persen dimiliki oleh petani, sedangkan 58
persen dimiliki perusahaan negara (PTPN) maupun swasta.
Joko mengungkapkan perusahaan besar kelapa sawit dibutuhkan karena memiliki sumber daya, teknologi dan modal yang kuat.
Menurut dia, riset oleh LSM seharusnya juga dilakukan secara menyeluruh
dan melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga tak melihat dari
satu sisi tertentu saja.
Terkait dengan lahan, paparnya, jalan yang bisa ditempuh terakhir adalah melalui jalur hukum.
Dia menuturkan ekspansi perusahaan sawit berkaitan dengan penggunaan
minyak nabati untuk kebutuhan pangan, namun demikian upaya untuk
meningkatkan produksi tersebut selalu diserang dengan berbagai kampanye
negatif, termasuk riset oleh pihak tertentu dengan mengatasnamakan
kerusakan lingkungan, perubahan iklim, hingga masalah HAM.
"Padahal substansinya adalah kompetisi pasar minyak nabati global," kata kandidat Ketua Umum Gapki ini.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute
(PASPI), Tungkot Sipayung menambahkan dari total luas kebun sawit di
Indonesia, petani menguasai 46 persen lahan kebun sawit, ditambah BUMN
10 persen, dan swasta 44 persen.
Ke depan, tambahnya,
diproyeksikan penguasaan lahan sawit oleh petani akan meningkat menjadi
51 persen pada 2020 seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan program
kemitraan korporasi dengan petani plasma.
Sumber bertia: Antara.com
No comments:
Post a Comment