DPR dan Pemerintah tengah membahas revisi UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP). Terdapat sejumlah usulan dari akademisi dan praktisi hukum. Apa saja usulan mereka?
TATA urusan peraturan perundang-undangan dan mekanisme pengujiannya menjadi bahasan menarik dalam revisi UU PPP. Salah satunya terkait eksistensi Peraturan Daerah (Perda). Selama ini pengaturan Perda berada dalam dua lingkup undang-undang. Selain UU PPP, diatur pula dalam UU Pemda. Akibatnya, timbul sejumlah masalah hukum.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mencatat setidaknya tiga masalah. Pertama, instrumen hukum untuk membatalkan Perda. Undang-Undang menyebutkan pembatalan Perda dilakukan Presiden melalui Perpres. Faktanya, yang membatalkan Perda adalah Menteri Dalam Negeri.
Kedua, pelaksanaan review tidak sejalan antara aturan dengan praktik. Review seharusnya dilakukan berjenjang. Mendagri melakukan review trhadap Perda provinsi, Gubernur terhadap Perda kabupaten/kota. Tetapi selama ini pembatalan selalu dilakukan Mendagri dalam bentuk Surat Keputusan.
Ketiga, masalah koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Tidak semua rekomendasi pembatalan Perda bidang pajak dan retribusi daerah oleh Kementerian Keuangan dilaksanakan Kementerian Dalam Negeri. Penelitian PSHK menunjukkan Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri melakukan kajian ulang atas review Kementerian keuangan. “Sehingga diperoleh hasil yang berbeda terhadap pembatalan Perda pajak dan retribusi daerah”.
Pembatalan
Karenanya Ni’matul Huda dari Universitas Islam Indonesia mengusulkan agar kewenangan sepenuhnya pembatalan Perda diserahkan kepada Mahkamah Agung (MA). “Pemerintah tidak lagi bisa membatalkan,” ujarnya.
Pasalnya, selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, Presiden seharusnya tidak bisa membatalkan Perda, apalagi dalam praktiknya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Untuk itu pemerintah bisa menjadi pemohon pembatalan Perda.
Kenapa? Pembatalan, menurutnya adalah tindakan yang bermakna yuridis. Membatalkan Perda sudah masuk kualifikasi kegiatan yudisial, sehingga tidak selayaknya dilakukan eksekutif. Itu sebabnya, kewenangan pembatalan Perda perlu dikembalikan kepada Mahkamah Agung.
Meskipun demikian, bukan berarti eksekutif tidak bisa menjalankan fungsi pengawasan terhadap Perda. Menurut Ni’matul Huda, Pemerintah masih bisa melakukan pengawasan ketika masih berbentuk Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda). Jadi, Pemerintah bisa melakukan executive preview.
Ia juga sepakat jika proses pengujian Perda di Mahkamah Agung dilakukan secara terbuka sebagaimana sidang pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar di Mahkamah Konstitusi. Jadi, prosesnya tidak hanya berupa pengiriman berkas tanpa ada pembelaan yang saling berhadapan. Pemohon dan termohon perlu hadir dalam forum terbuka. Pemerintah juga hadir. “Sehingga nanti MA mendengarkan semua pihak,” pungkasnya.
Sehubungan dengan pengujian Perda, ata yang diperoleh dari Mahkamah Agung menunjukkan sepanjang tahun 2010, Mahkamah Agung hanya menangani 12 permohonan uji materi Perda. Jumlah ini lebih rendah dua poin dari pengujian Peraturan Menteri (Permen). Jenis peraturan Perda hanya 19,67 persen dari total 61 jenis peraturan di bawah Undang-Undang yan diuji Mahkamah Agung sepanjang tahun 2010. Semua perkara tersebut diputus pada tahun yang sama.(Sumber SP.online)
TATA urusan peraturan perundang-undangan dan mekanisme pengujiannya menjadi bahasan menarik dalam revisi UU PPP. Salah satunya terkait eksistensi Peraturan Daerah (Perda). Selama ini pengaturan Perda berada dalam dua lingkup undang-undang. Selain UU PPP, diatur pula dalam UU Pemda. Akibatnya, timbul sejumlah masalah hukum.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mencatat setidaknya tiga masalah. Pertama, instrumen hukum untuk membatalkan Perda. Undang-Undang menyebutkan pembatalan Perda dilakukan Presiden melalui Perpres. Faktanya, yang membatalkan Perda adalah Menteri Dalam Negeri.
Kedua, pelaksanaan review tidak sejalan antara aturan dengan praktik. Review seharusnya dilakukan berjenjang. Mendagri melakukan review trhadap Perda provinsi, Gubernur terhadap Perda kabupaten/kota. Tetapi selama ini pembatalan selalu dilakukan Mendagri dalam bentuk Surat Keputusan.
Ketiga, masalah koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Tidak semua rekomendasi pembatalan Perda bidang pajak dan retribusi daerah oleh Kementerian Keuangan dilaksanakan Kementerian Dalam Negeri. Penelitian PSHK menunjukkan Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri melakukan kajian ulang atas review Kementerian keuangan. “Sehingga diperoleh hasil yang berbeda terhadap pembatalan Perda pajak dan retribusi daerah”.
Pembatalan
Karenanya Ni’matul Huda dari Universitas Islam Indonesia mengusulkan agar kewenangan sepenuhnya pembatalan Perda diserahkan kepada Mahkamah Agung (MA). “Pemerintah tidak lagi bisa membatalkan,” ujarnya.
Pasalnya, selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, Presiden seharusnya tidak bisa membatalkan Perda, apalagi dalam praktiknya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Untuk itu pemerintah bisa menjadi pemohon pembatalan Perda.
Kenapa? Pembatalan, menurutnya adalah tindakan yang bermakna yuridis. Membatalkan Perda sudah masuk kualifikasi kegiatan yudisial, sehingga tidak selayaknya dilakukan eksekutif. Itu sebabnya, kewenangan pembatalan Perda perlu dikembalikan kepada Mahkamah Agung.
Meskipun demikian, bukan berarti eksekutif tidak bisa menjalankan fungsi pengawasan terhadap Perda. Menurut Ni’matul Huda, Pemerintah masih bisa melakukan pengawasan ketika masih berbentuk Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda). Jadi, Pemerintah bisa melakukan executive preview.
Ia juga sepakat jika proses pengujian Perda di Mahkamah Agung dilakukan secara terbuka sebagaimana sidang pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar di Mahkamah Konstitusi. Jadi, prosesnya tidak hanya berupa pengiriman berkas tanpa ada pembelaan yang saling berhadapan. Pemohon dan termohon perlu hadir dalam forum terbuka. Pemerintah juga hadir. “Sehingga nanti MA mendengarkan semua pihak,” pungkasnya.
Sehubungan dengan pengujian Perda, ata yang diperoleh dari Mahkamah Agung menunjukkan sepanjang tahun 2010, Mahkamah Agung hanya menangani 12 permohonan uji materi Perda. Jumlah ini lebih rendah dua poin dari pengujian Peraturan Menteri (Permen). Jenis peraturan Perda hanya 19,67 persen dari total 61 jenis peraturan di bawah Undang-Undang yan diuji Mahkamah Agung sepanjang tahun 2010. Semua perkara tersebut diputus pada tahun yang sama.(Sumber SP.online)
No comments:
Post a Comment