"Dulu kita penghasil gula, karena
diserang pelan-pelan kini Indonesia malah menjadi pengimpor gula
terbesar. Begitu juga sawit yang diserang secara pelan-pelan, sehingga
perlu diantisipasi bersama-sama," katanya.
Sementara itu, Sustainability Division Head PT SMART Tbk, Haskarlianus Pasang menambahkan, tuduhan pihak luar terhadap industri sawit Indonesia secara umum ada tiga, yakni sawit dianggap penyebab deforestasi (penggundulan hutan), membunuh orangutan dan merampas lahan masyarakat.
Ia menjelaskan, kalaupun ada perusahaan sawit yang belum memperhatikan lingkungan sekitarnya, jumlahnya tidak banyak. Sehingga jangan dipukul rata kalau semua perkebunan sawit menyebabkan kerusakan lingkungan, pemicu perubahan iklim, atau menyebabkan kekeringan.
"Tetapi yang pasti sawit adalah komoditas ekspor non-migas yang paling besar saat ini. Industri ini juga menyerap tenaga kerja paling besar, dengan tenaga kerja secara langsung sekitar empat juta orang, dan tidak langsung sekitar 15 juta orang," ungkapnya.
Susanto menambahkan, perkebunan sawit juga bisa disebut agen pembangunan. Karena di mana perkebunan sawit dibuka, pasti akan membuka isolasi daerah dengan membuat jalan yang sebelumnya tidak ada. Selain itu, kehadiran perkebunan sawit berdampak pada menggeliatnya perekonomian lokal.
"Contohnya perekonomian masyarakat di Kecamatan Suhaid dan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu, yang kini sangat berkembang bila dibanding lima tahun lalu sebelum dibukanya perkebunan sawit," ungkapnya.
Memang menurut dia, tidak bisa dipungkiri dampak negatif dari pengembangan sawit pasti ada. Untuk itu Susanto mengajak semua pihak untuk memperbaiki kekurangan tersebut, demi peningkatan perekonomian masyarakat daerah.
Sekarang ini, menurut Susanto, yang tersisa dan perlu dijaga adalah sektor perkebunan sawit. Meskipun kini harga CPO sedang jatuh, tetapi tetap bisa bertahan, sehingga ekonomi masyarakat sawit tidak terlalu anjlok.
"Dulu selain karet, ada tambang emas, sekarang sudah turun, sehingga andalan Kalbar saat ini adalah sawit. Saat ini, sawit dan karet bisa dibilang menjadi tulang punggung ekonomi Kalbar, sehingga butuh peran media dalam memberitakan hal-hal yang benar, yang positif diangkat, sementara yang negatif bisa dikritisi," katanya.
"Padahal kita tahu bahwa izin perkebunan sawit diberikan pemerintah di APL. Terkait orangutan, pertanyaan sederhana untuk kita semua adalah apakah masih ada orangutan ketika perusahaan menerima izin di APL. Sedangkan tuduhan perampasan lahan masyarakat, mungkin ada oknum yang melakukannya, tetapi tidak lantas semua perusahaan sawit dituding merampas lahan dan hak masyarakat," ujarnya.
Karena isu-isu tersebut muncul berulang-ulang, menurut dia sehingga terbentuk semacam opini publik, khususnya di luar negeri bahwa sawit itu merusak lingkungan. Dampak sosialnya jelek, tanpa melihat secara seimbang apa yang terjadi di lapangan dan dalam konteks pembangunan Indonesia.
Ia kemudian mengajak media untuk melaksanakan fungsinya menampilkan informasi berdasarkan fakta dan juga mengedukasi publik, khususnya bagaimana membangun industri sawit nasional yang berkelanjutan. (ant)
No comments:
Post a Comment