Vietnam dan Kamboja Tingkatkan Luas Tanaman Karet
Medan. Ketidakstabilan harga karet di pasar internasional saat ini harus segera diwaspadai oleh negara-negara anggota International Tripartite Rubber Council (ITRC) terutama bagi Indonesia.
Sebab, keberadaan negara anggota ITRC yang selama ini sebagai pemasok kebutuhan negara-negara industri terutama Jepang, Tiongkok, dan Amerika bisa saja terancam oleh produktivitas karet Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Laos, yang juga sedang gencar-gencarnya meningkatkan luas tanaman karet dan produktivitas per hektare.
Hal tersebut dikatakan Wakil Sekretaris Bidang Pertanian dan Perkebunan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Medan, Robby Aswin kepada MedanBisnis di Medan, Rabu (8/10).
Dikatakannya, produktivitas karet Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Laos menjadi ancaman serius bagi Indonesia sebagai negara yang luas perkebunan karet nya mencapai 3,4 juta hektare. Di mana, dari jumlah itu, rata-rata produksi karet alam umumnya diusahakan petani karet baru mencapai 1 ton per hektare.
Sedangkan Malaysia sudah mencapai 1,3 ton per hektare. Bahkan, Thailand sudah mencapai 1,9 ton per hektare. "Dengan areal 3,4 juta hektare, produksi karet Indonesia diperkirakan hanya sekitar 3 juta ton (target 2013). Sedangkan Thailand yang hanya memiliki areal sekitar 2,4 juta hektare, mampu memproduksi karet alam lebih dari 4 juta ton," katanya.
Dengan produksi sebanyak itu, Thailand yang juga salah satu negara ITRC menjadi produsen karet alam nomor satu dunia. Indonesia, tetap bertengger di nomor tiga setelah Malaysia. Jika tidak ada perhatian terhadap upaya meningkatkan produktivitas karet, Indonesia akan dilewati Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Laos.
Produksi karet alam Indonesia diperkirakan terus merosot seiring dengan turunnya harga karet dunia. Biasanya, penurunan harga karet internasional berimbas pada turunnya semangat para petani menderes karet. "Berdasarkan harga karet pasar Singapore pukul 17:30 WIB harga karet saat ini hanya berada di posisi US$ 1433 per metrik ton," katanya.
Melihat keadaan tersebut, Robby menilai perhatian pemerintah terhadap petani karet dirasakan kurang, terutama dalam upaya hilirisasi produk crumb rubber (karet remah) dan lateks untuk menjadi produk karet hilir yang bernilai tambah tinggi.
"Karet tidak bisa lagi diandalkan. Akan tetapi, 16 juta petani karet perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah. Caranya, percepat hilirisasi. Satu-satunya jalan, mencoba hilirisasi sesuai amanat Undang-Undang Perindustrian Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Itu terutama menyangkut upaya penggunaan bahan baku dalam negeri sebanyak-banyaknya bagi kepentingan industri nasional,"pungkasnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Medan (Unimed) M Umar Maya Putra menyebutkan sudah seharusnya pemerintah lebih fokus dalam meningkatkan komoditas karet yang dinilai mampu menjadi tulang punggung perindustrian Indonesia guna menghadapi pasar global Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
Apalagi, karet yang masih belum efisien pengelolaanya dan belum tersedianya teknologi pendukung berbasis industri akan membuat persaingan dengan negara anggota ITRC ditambah akan masuknya Vietnam dan kamboja akan membuat Indonesia tertinggal.
"Karet merupakan SDA yang perlu dititikberatkan terhadap basis teknologi secara induktif dari aspek ekonomi pembangunan. Dengan adanya teknologi ke depan akan menghasilkan produktivitas karet yang tinggi,"pungkasnya.
( romi irwansyah)MedanBisnis
No comments:
Post a Comment