Medan. Petani karet di sejumlah daerah terus mendesak pemerintah untuk membatalkan pemberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% untuk komoditas karet. Pasalnya, rencana PPN tersebut memperburuk semua pelaku usaha karet.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut, Edy Irwansyah mengungkapkan, dalam beberapa hari terakhir, petani karet di Palembang mulai mengangkat suara agar pemerintah membatalkan rencana pemberlakuan PPN itu. "Mereka meminta pemerintah meninjau ulang dan peduli kepada nasib petani karet yang saat ini sedang terpukul harga rendah," katanya kepada MedanBisnis, Senin (13/10) di Medan.
Dia menerangkan, saat ini kondisi harga karet di pasar internasional dan lokal mengalami penurunan signifikan. Hal itu tentu sangat merugikan petani lantaran penghasilan mereka tak lagi mencukupi untuk membiayai kebutuhan sehari-hari.
Di tingkat petani, harga karet hanya berkisar Rp4.500 per kg. "Tidak akan cukup untuk kebutuhan hidup. Yang rugi petani, pedagang, dan pengusaha karet," katanya mengutip pernyataan Ketua Forum Komunikasi Pedagang Karet (FKPK) Sumsel, Cokro Aminoto.
Selain dari Palembang, petani dari Sumut, Aceh dan Riau pun mulai mengumandangkan suara yang sama. Mereka ramai-ramai menolak rencana pengenaan PPN itu karena sangat merugikan petani.
Sebelumnya, Mahkamah Agung melalui putusan No.70/2014 membatalkan sebagian Perpres No.31/2007 mengenai impor dan penyerahan barang kena pajak tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
Putusan tersebut menyatakan penyerahan barang hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan oleh pengusaha dikenai PPN. Putusan ini meliputi beberapa komoditas yakni biji kakao, kopi, pala, sawit, lada, cengkeh, dan karet.
Dengan putusan itu maka akan mengurangi pembelian pabrik terhadap komoditas karet dari petani. "Petani karet sudah terbebani oleh fluktuasi harga di pasar internasional sejak Februari 2014. Beberapa perkebunan karet saat ini bahkan sudah merugi karena ongkos produksi yang lebih mahal dibandingkan harga jual. Apalagi para petani, mereka yang paling merugi," ujarnya.
Edy menjelaskan, perkebunan khususnya komoditas karet saat ini masih menjadi andalan sumber devisa, tak hanya bagi Sumut, tapi juga Indonesia. Kendati demikian, dia menilai justru banyak kebijakan yang tidak mendukung sektor ini.
Saat ini kata dia, sekira 85% karet berasal dari perkebunan rakyat yang justeru memerlukan insentif. Bahkan, hingga saat ini infrastruktur dari dan ke perkebunan karet rakyat banyak yang sudah tidak memadai. "Kebun karet rakyat juga lebih mirip hutan. Pohon-pohonnya sudah tua, sekitar 30-50 tahun lebih, bahkan belum ada yang menggunakan bibit unggul," tambahnya.
Gapkindo Sumut juga mengkhawatirkan pemberlakuan PPN 10% akan meningkatkan penyelundupan karet dari Aceh, Nias, dan Kepulauan Riau ke beberapa negara tetangga.
Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin mengungkapkan, desakan petani dan pengusaha untuk membatalkan rencana PPN itu wajar-wajar saja di tengah kondisi harga karet yang terpuruk saat ini. "Hanya saja, mereka juga perlu mengetahui apa alasan pengenaan PPN itu," katanya.
Begitupun, dia mengakui, pengenaan PPN sebesar itu akan menyulitkan petani menjual karet mereka. Ini tentu akan berdampak pada produksi karet itu sendiri, karena bisa jadi petani akan beralih ke tanaman lain yang lebih menguntungkan. Imbasnya, stok karet akan semakin menipis, dan industri akan kewalahan mendapat pasokan bahan baku. "Jika itu yang terjadi, maka industri kita akan terpuruk. Ekspor kita juga bakal terganggu," tegasnya. ( daniel pekuwali)
http://mdn.biz.id/n/123210/
No comments:
Post a Comment