Jakarta. Para eksportir yang tergabung dalam Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) mengeluhkan penerapan Bea Keluar (BK) ekspor biji kakao sebesar 5-15% sesuai Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.011/2010. Peraturan ini telah berdampak pada iklim usaha, antara lain banyak eksportir kakao lokal yang tutup, di sisi lain industri olahan dalam negeri berkembang.
"Yang terjadi setelah 3 tahun BK ini diberlakukan tercatat 90% eksportir kakao tutup, kekuatan petani menjadi lemah dan pihak industri menjadi penentu harga," ungkap Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia Zulhefi Sikumbang saat berdiskusi mengenai kakao yang diselenggarakan oleh Bursa Berjangka Jakarta di Gedung Jakarta City Tower, Jumat (12/4).Pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar kakao sejak April 2010 guna menekan ekspor komoditas mentah untuk meningkatkan industri pengolahannya di dalam negeri hilir. Adapun Harga Referensi Biji Kakao pada April 2013 menjadi US$ 2.109,59/MT, dimana bea keluarnya ditetapkan 5%.
Zulhefi mengakui efek bea keluar kakao adalah tumbuhnya industri pengolahan kakao di dalam negeri, terutama dari pemodal asing. Sehingga industri dalam negeri sudah mulai tersingkirkan karena tidak mempunyai jaringan dan pemasaran yang kuat bila dibandingkan dengan industri asing.
"Setelah dikeluarkan pajak bea keluar kakao, industri asing yang mempunyai jaringan dan pemasaran yang kuat dan industri yang mempunyai kapasitas giling naik sejak 2011. PMA (penanaman modal asing) yang ada saat ini hingga 70% sedangkan PMDN (penanaman modal dalam negeri) hanya 30%," tuturnya.
Dia mencontohkan industri pengolahan kakao Indonesia Petra Food (yang memproduksi produk Silver Queen dan Cerres) yang sudah diijual ke perusahaan Barry Callebout asal Swiss. Setelah resmi dijual, perusahaan Barry Callebout menjadi salah satu industri pengolahan kakao terbesar di dunia. "Kenapa perusahaan ini mau dijual? Harga penawaran cukup tinggi yaitu US$ 950 juta atau Rp 9,5 triliun. Artinya BC (Barry Callebout) saat ini menjadi industri pengolahan kakao terbesar di dunia," cetusnya.
Sementara Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi mengklaim kakao dan sawit merupakan dua komoditas Indonesia yang laku di pasar dunia. "Dua andalan produk kita untuk ekspor itu sawit dan kakao," katanya.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan volume ekspor kakao olahan selama 2011 mencapai 88.000 ton dengan nilai US$339 juta, sedangkan pada 2012 naik menjadi 133,9 ribu ton dengan nilai 407 juta. (dtf)/MB
Zulhefi mengakui efek bea keluar kakao adalah tumbuhnya industri pengolahan kakao di dalam negeri, terutama dari pemodal asing. Sehingga industri dalam negeri sudah mulai tersingkirkan karena tidak mempunyai jaringan dan pemasaran yang kuat bila dibandingkan dengan industri asing.
"Setelah dikeluarkan pajak bea keluar kakao, industri asing yang mempunyai jaringan dan pemasaran yang kuat dan industri yang mempunyai kapasitas giling naik sejak 2011. PMA (penanaman modal asing) yang ada saat ini hingga 70% sedangkan PMDN (penanaman modal dalam negeri) hanya 30%," tuturnya.
Dia mencontohkan industri pengolahan kakao Indonesia Petra Food (yang memproduksi produk Silver Queen dan Cerres) yang sudah diijual ke perusahaan Barry Callebout asal Swiss. Setelah resmi dijual, perusahaan Barry Callebout menjadi salah satu industri pengolahan kakao terbesar di dunia. "Kenapa perusahaan ini mau dijual? Harga penawaran cukup tinggi yaitu US$ 950 juta atau Rp 9,5 triliun. Artinya BC (Barry Callebout) saat ini menjadi industri pengolahan kakao terbesar di dunia," cetusnya.
Sementara Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi mengklaim kakao dan sawit merupakan dua komoditas Indonesia yang laku di pasar dunia. "Dua andalan produk kita untuk ekspor itu sawit dan kakao," katanya.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan volume ekspor kakao olahan selama 2011 mencapai 88.000 ton dengan nilai US$339 juta, sedangkan pada 2012 naik menjadi 133,9 ribu ton dengan nilai 407 juta. (dtf)/MB