Medan. Pemerintah mengaku siap membantu mendongkrak harga karet yang kembali memasuki tren menurun. Hal tersebut dimaksudkan agar pengusaha, eksportir maupun petani karet tidak mengalami kerugian yang lebih besar.
"Meski sifatnya nasional, namun dari daerah, kami akan membantu agar tidak terjadi kendala lain yang akan membuat pengusaha semakin merugi di tengah kondisi seperti sekarang ini," kata Kepala Seksi Hasil Pertanian dan Pertambangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumut Fitra Kurnia, kepada MedanBisnis, di Medan, Kamis (11/4).Dikatakannya, pemerintah sangat mengharapkan harga karet berada di level yang menguntungkan, baik bagi pengusaha maupun petani karet. “Pemerintah tentu sangat berharap harga karet akan naik seperti yang diinginkan pengusaha yakni di atas US$ 3 per kilogram,” ujarnya, tanpa merinci bantuan yang akan diberikan pihaknya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, menunjukkan, ekspor karet dan barang dari karet Sumut pada periode Januari-Februari 2013 hanya senilai US$ 95,9 juta atau turun 2,41% dibanding periode yang sama tahun 2012 yang senilai US$ 103,002 juta.
Sementara itu, negara produsen karet yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC) yakni Indonesia, Malaysia dan Thailand, menggelar pertemuan di Phuket, Thailand 10-13 April 2013. Pertemuan tersebut untuk membahas stabilisasi harga karet menyusul kegagalan ITRC menaikkan harganya meski sudah memangkas ekspor hingga 300.000 ton, dimana Indonesia mendapatkan alokasi 117.306 ton, sejak 1 Oktober 2012 hingga 31 Maret 2013.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Edy Irwansyah, membenarkan kalau pertemuan selama empat hari tersebut memang membahas stabilisasi harga karet. "Karena ada utusan Gapkindo Pusat yang ikut dalam pertemuan tersebut,” ujarnya.
Sayangnya, Edy menolak merinci agenda apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan itu. Dia berdalih kalau itu bukan kewenangan Gapkindo, tetapi Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI. “Pasti akan ada pembahasan terkait penurunan harga karet serta evaluasi dari kebijakan pemangkasan ekspor oleh produsen karet,” sebutnya.
Gapkindo sendiri, lanjutnya, berharap pertemuan tersebut bisa menghasilkan kebijakan yang membuat harga bergerak naik kembali. “Indonesia, Malaysia dan Thailand memang punya andil besar dalam menentukan harga karet mengingat produksi dan ekspor karet dari tiga negara itu mencakup hampir 70-80% dari total produksi dan ekspor dunia,” katanya.
Berdasarkan data perkembangan harga pada bursa berjangka Singapura (SGX), harga karet masih terus berfluktuasi menuju ke level rendah. Untuk pengapalan Mei, harganya
menyentuh US$ 2,87 per kg namun kemudian terus turun hingga US$ 2,55 per kg. Meski pada periode Desember 2012 dan Januari 2013 harganya sempat menyentuh US$ 3,4 per kg, namun di awal Februari kembali berfluktuasi tapi ke tren menurun. “Anjloknya harga karet seperti jenis TSR 20 yang tinggal US$ 2,55 per kilogram dipicu banyaknya stok karet di Jepang dan China,” tambah Edy.
Turunnya harga ekspor berdampak langsung pada harga bahan olahan karet (bokar) di pabrikan Sumut. Kalau pekan lalu masih berada berkisar Rp 20.582 - Rp 22.582 per kg, pada pekan ini tinggal Rp 19.886 - Rp 21.886 per kg. Seorang petani karet Sumut, Siregar menyebutkan, harga getah karet di petani semakin rendah, yakni Rp 7.500 - Rp 8.000 per kg. Dikatakannya, petani pun semakin susah untuk dapat untung karena permintaan juga tambah sepi dengan alasan harga ekspor sedang jatuh. "Kalau terus seperti ini, kami tidak tahu harus bagaimana. Kami hanya berharap, harganya akan naik lagi," katanya.
(elvidaris simamora) Medan bisis
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, menunjukkan, ekspor karet dan barang dari karet Sumut pada periode Januari-Februari 2013 hanya senilai US$ 95,9 juta atau turun 2,41% dibanding periode yang sama tahun 2012 yang senilai US$ 103,002 juta.
Sementara itu, negara produsen karet yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC) yakni Indonesia, Malaysia dan Thailand, menggelar pertemuan di Phuket, Thailand 10-13 April 2013. Pertemuan tersebut untuk membahas stabilisasi harga karet menyusul kegagalan ITRC menaikkan harganya meski sudah memangkas ekspor hingga 300.000 ton, dimana Indonesia mendapatkan alokasi 117.306 ton, sejak 1 Oktober 2012 hingga 31 Maret 2013.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Edy Irwansyah, membenarkan kalau pertemuan selama empat hari tersebut memang membahas stabilisasi harga karet. "Karena ada utusan Gapkindo Pusat yang ikut dalam pertemuan tersebut,” ujarnya.
Sayangnya, Edy menolak merinci agenda apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan itu. Dia berdalih kalau itu bukan kewenangan Gapkindo, tetapi Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI. “Pasti akan ada pembahasan terkait penurunan harga karet serta evaluasi dari kebijakan pemangkasan ekspor oleh produsen karet,” sebutnya.
Gapkindo sendiri, lanjutnya, berharap pertemuan tersebut bisa menghasilkan kebijakan yang membuat harga bergerak naik kembali. “Indonesia, Malaysia dan Thailand memang punya andil besar dalam menentukan harga karet mengingat produksi dan ekspor karet dari tiga negara itu mencakup hampir 70-80% dari total produksi dan ekspor dunia,” katanya.
Berdasarkan data perkembangan harga pada bursa berjangka Singapura (SGX), harga karet masih terus berfluktuasi menuju ke level rendah. Untuk pengapalan Mei, harganya
menyentuh US$ 2,87 per kg namun kemudian terus turun hingga US$ 2,55 per kg. Meski pada periode Desember 2012 dan Januari 2013 harganya sempat menyentuh US$ 3,4 per kg, namun di awal Februari kembali berfluktuasi tapi ke tren menurun. “Anjloknya harga karet seperti jenis TSR 20 yang tinggal US$ 2,55 per kilogram dipicu banyaknya stok karet di Jepang dan China,” tambah Edy.
Turunnya harga ekspor berdampak langsung pada harga bahan olahan karet (bokar) di pabrikan Sumut. Kalau pekan lalu masih berada berkisar Rp 20.582 - Rp 22.582 per kg, pada pekan ini tinggal Rp 19.886 - Rp 21.886 per kg. Seorang petani karet Sumut, Siregar menyebutkan, harga getah karet di petani semakin rendah, yakni Rp 7.500 - Rp 8.000 per kg. Dikatakannya, petani pun semakin susah untuk dapat untung karena permintaan juga tambah sepi dengan alasan harga ekspor sedang jatuh. "Kalau terus seperti ini, kami tidak tahu harus bagaimana. Kami hanya berharap, harganya akan naik lagi," katanya.
(elvidaris simamora) Medan bisis