Medan-Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) meminta pemerintah
lebih fokus melaksanakan program replanting (peremajaan) perkebunan
sawit milik rakyat. Sebab, program revitalisasi perkebunan sawit yang
sudah dijalankan selama ini, hanya mampu menjangkau luasan areal di
bawah 7 persen, akibat ketatnya persyaratan yang diberlakukan.
Harapan kepada pemerintah itu diungkapkan Ketua Umum GAPKI Joefly H Bahroeny, Rabu (30/3) di Medan. “Bila pemerintah fokus melakukan replanting kebun sawit rakyat, maka dampaknya petani bisa lebih cepat meningkatkan kesejahteraannya, dan produktivitas lebih besar bisa segera dicapai,” ucap Joefly di sela-sela kunjungan Menteri Pertanian RI, Suswono ke Medan untuk menutup Gebyar 100 Tahun Perkebunan Sawit di Sumut.
Dijelaskan Joefly, campur tangan pemerintah dalam proses replanting kebun sawit rakyat itu, juga berkontribusi positif terhadap upaya pemenuhan kebutuhan bahan baku minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) dunia yang terus meningkat, termasuk produk turunannya, yang salah satunya diharapkan diakomodir Indonesia sebagai negara produsen terbesar CPO, setelah Malaysia.
Keuntungan lainnya dari campur tangan pemerintah itu, menurut Joefly juga bisa meredam ekses industrialisasi perkebunan sawit di dalam negeri yang kian memuncak akhir-akhir ini, terutama di saat digelarnya peringatan Satu Abad Industrialisasi Sawit di Medan, Sumut, 1911-2011.
Sebab, industrialisasi kebun sawit di Tanah Air, sudah dicap sebagai penyebab meningkatnya pemanasan iklim global, berkurangnya Daerah Aliran Sungai (DAS) di kawasan yang banyak kebun sawitnya, hingga Black Campaign yang dimotori para pengusaha dari Eropa, dan sejumlah negara di kawasan Asia lainnya yang mengatakan, tanaman sawit merusak lingkungan hidup.
“Saya bisa pastikan, industrialisasi kebun sawit justru memberikan dampak positif terhadap penyerapan gas karbondioksida (C02) di udara bebas yang menjadi pemicu efek rumah kaca, dan sebaliknya tanaman sawit bisa berfotosintesa untuk menghasilkan Oksigen (O2). Jadi, tidak benar, tanaman sawit sebagai salah satu perusak lingkungan hidup. Itu semua fitnah,” tegasnya.
Di tempat terpisah, ekses industrialisasi sawit di Sumut ditanggapi Syahrul Isman, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut, sangat berkaitan dengan dua masalah besar sektor perkebunan sawit. Yakni melakukan perluasan areal perkebunan sawit, atau meningkatkan produktivitas.
Bila menambah luasan areal perkebunan sawit (di Sumut mencapai 1,9 juta hektare, data BPS 2009), Syahrul yakin akan ada lahan yang harus dikorbankan, apakah itu lahan masyarakat petani, atau kawasan hutan yang dialihfungsikan untuk Areal Penggunaan Lain (APL).
“Yang pasti, ekses industrialisasi sawit akan menyebabkan ada lahan yang dikorbankan, dan sudah pasti pula keuntungan pembukaan lahan itu bukan untuk rakyat, melainkan untuk segelintir pelaku usahanya saja,” ungkap Syahrul di sela-sela demo Moratorium Kebun Sawit di Kantor Gubernur Sumut di Medan.
Sedangkan meningkatkan produktivitas, yakni menambah besar produksi Tandan Buah Segar (TBS) dari satu hektare lahan sawit, diakui Syahrul hanya menjadi wacana yang terus didengungkan pemerintah sampai detik ini. Fakta hal ini bisa dilihat dengan membandingkannya terhadap peranan Indonesia sebagai negara pengguna terbesar produk turunan berbahan baku minyak sawit, setelah Cina, India, dan Eropa.
“Tahun 2011, produksi sawit Indonesia akan mencapai 23 juta ton, dan pada 2015 diperkirakan mencapai 63 juta ton. Peningkatan produksi itu untuk memenuhi kebutuhan dunia yang terus meningkat, dan untuk itu Indonesia dihadapkan kepada upaya menambah luas kebun sawit 350.000 hektare hingga 400.000 hektare,” bebernya.
Desakan segera menerapkan Moratorium Kebun Sawit oleh sejumlah aktivitis lingkungan hidup, BITRA Indonesia, YLL, Elsaka, Pusaka Indonesia, KPHSU, PEKAT, Mitra FM, Petra, YLI, dan Teplok kepada Pemprov Sumut itu, dilatari kekhawatiran bahwa tanaman sawit akan menimbulkan bencana di kehidupan masa depan. (Wes)/Skalaind.
Harapan kepada pemerintah itu diungkapkan Ketua Umum GAPKI Joefly H Bahroeny, Rabu (30/3) di Medan. “Bila pemerintah fokus melakukan replanting kebun sawit rakyat, maka dampaknya petani bisa lebih cepat meningkatkan kesejahteraannya, dan produktivitas lebih besar bisa segera dicapai,” ucap Joefly di sela-sela kunjungan Menteri Pertanian RI, Suswono ke Medan untuk menutup Gebyar 100 Tahun Perkebunan Sawit di Sumut.
Dijelaskan Joefly, campur tangan pemerintah dalam proses replanting kebun sawit rakyat itu, juga berkontribusi positif terhadap upaya pemenuhan kebutuhan bahan baku minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) dunia yang terus meningkat, termasuk produk turunannya, yang salah satunya diharapkan diakomodir Indonesia sebagai negara produsen terbesar CPO, setelah Malaysia.
Keuntungan lainnya dari campur tangan pemerintah itu, menurut Joefly juga bisa meredam ekses industrialisasi perkebunan sawit di dalam negeri yang kian memuncak akhir-akhir ini, terutama di saat digelarnya peringatan Satu Abad Industrialisasi Sawit di Medan, Sumut, 1911-2011.
Sebab, industrialisasi kebun sawit di Tanah Air, sudah dicap sebagai penyebab meningkatnya pemanasan iklim global, berkurangnya Daerah Aliran Sungai (DAS) di kawasan yang banyak kebun sawitnya, hingga Black Campaign yang dimotori para pengusaha dari Eropa, dan sejumlah negara di kawasan Asia lainnya yang mengatakan, tanaman sawit merusak lingkungan hidup.
“Saya bisa pastikan, industrialisasi kebun sawit justru memberikan dampak positif terhadap penyerapan gas karbondioksida (C02) di udara bebas yang menjadi pemicu efek rumah kaca, dan sebaliknya tanaman sawit bisa berfotosintesa untuk menghasilkan Oksigen (O2). Jadi, tidak benar, tanaman sawit sebagai salah satu perusak lingkungan hidup. Itu semua fitnah,” tegasnya.
Di tempat terpisah, ekses industrialisasi sawit di Sumut ditanggapi Syahrul Isman, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut, sangat berkaitan dengan dua masalah besar sektor perkebunan sawit. Yakni melakukan perluasan areal perkebunan sawit, atau meningkatkan produktivitas.
Bila menambah luasan areal perkebunan sawit (di Sumut mencapai 1,9 juta hektare, data BPS 2009), Syahrul yakin akan ada lahan yang harus dikorbankan, apakah itu lahan masyarakat petani, atau kawasan hutan yang dialihfungsikan untuk Areal Penggunaan Lain (APL).
“Yang pasti, ekses industrialisasi sawit akan menyebabkan ada lahan yang dikorbankan, dan sudah pasti pula keuntungan pembukaan lahan itu bukan untuk rakyat, melainkan untuk segelintir pelaku usahanya saja,” ungkap Syahrul di sela-sela demo Moratorium Kebun Sawit di Kantor Gubernur Sumut di Medan.
Sedangkan meningkatkan produktivitas, yakni menambah besar produksi Tandan Buah Segar (TBS) dari satu hektare lahan sawit, diakui Syahrul hanya menjadi wacana yang terus didengungkan pemerintah sampai detik ini. Fakta hal ini bisa dilihat dengan membandingkannya terhadap peranan Indonesia sebagai negara pengguna terbesar produk turunan berbahan baku minyak sawit, setelah Cina, India, dan Eropa.
“Tahun 2011, produksi sawit Indonesia akan mencapai 23 juta ton, dan pada 2015 diperkirakan mencapai 63 juta ton. Peningkatan produksi itu untuk memenuhi kebutuhan dunia yang terus meningkat, dan untuk itu Indonesia dihadapkan kepada upaya menambah luas kebun sawit 350.000 hektare hingga 400.000 hektare,” bebernya.
Desakan segera menerapkan Moratorium Kebun Sawit oleh sejumlah aktivitis lingkungan hidup, BITRA Indonesia, YLL, Elsaka, Pusaka Indonesia, KPHSU, PEKAT, Mitra FM, Petra, YLI, dan Teplok kepada Pemprov Sumut itu, dilatari kekhawatiran bahwa tanaman sawit akan menimbulkan bencana di kehidupan masa depan. (Wes)/Skalaind.
No comments:
Post a Comment