Munculnya kehidupan cacing tanah yang sehat dan melimpah di tanah perkebunan bisa menjadi tanda bekerjanya "pabrik pupuk alami" tersebut. Sayangnya, saat ini sangat jarang ditemui kehidupan cacing di piringan-piringan kebun sawit.
"Itu karena bertahun-tahun bahkan puluhan tahun kita memasukkan produk-produk kimia baik pupuk maupun pestisida ke dalam tanah tanpa memberi kesempatan yang cukup untuk tumbuh kembangnya cacing tanah," kata Praktisi Perkebunan Kelapa Sawit dan Direktur Utama PT Mitra Sukses Agrindo Heri DB kepada MedanBisnis.
"Kalau cacing tanah saja mati bagaimana dengan makhluk seperti mikroba yang saat hidupnya pun kita tidak bisa melihatnya, kecuali merasakan akibatnya. Di mana tanah semakin keras, semakin tandus dan semakin banyak penyakit yang sulit dikendalikan seperti Ganoderma pada tanaman sawit," katanya lagi.
Sulitnya pengendalian penyakit ini kata Heri, juga terjadi pada tanaman pangan dan hortikultura seperti bawang merah dan cabai. Akibatnya, karena gagal produksi harga cabai bisa mencapai Rp.150 ribu per kg. Namun, dengan perubahan musim siklus penyakit jamur ini dapat diputus dan dengan tanaman baru produksi masih punya kesempatan kembali normal.
"Beda dengan sawit, penurunan produksi yang disebabkan berkurangnya populasi tanaman akibat serangan Ganoderma, akan dirasakan akibatnya jangka panjang sampai umur ekonomis 25-30 tahun. Bahkan, dari tahun ke tahun produktifitas akan terus menurun dibandingkan dengan potensinya apabila tidak dilakukan langkah nyata dalam pengendaliannya," ujar Heri.
Tidak hanya itu lanjut Heri, serangan Ganoderma juga mempunyai andil terhadap menurunnya rendemen CPO akibat proses pembentukan minyak tidak sempurna.
Dikatakannya, pemahaman praktisi sawit baik individu maupun korporasi yang masih sangat kurang terhadap peran ekosistem tanah dalam menghasilkan nutrisi alami, menghasilkan bangunan mindset bahwa nutrisi sawit hanya diberikan dari luar berupa pupuk kimia NPK-Mg yang terus dibelanjakan setiap tahun dengan anggaran minimal 60% dari biaya produksi kebun.
Tidak disadari, sebenarnya ekosistem tanah yang baik mampu menghasilkan "pabrik pupuk" tidak hanya NPK-Mg tapi juga hara makro sekunder dan mikro lengkap yang memang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya tanaman sawit.
"Tanaman sebenarnya membutuhkan 16 unsur hara dari dalam tanah antara lain NPK-Mg yang sering kita kenal, selebihnya Ca, S, Fe, B, Mo, Cu, Zn, Cl, Na, Co, Si, Ni. Dengan bantuan unsur karbon (C), air (H) dan oksigen (O) maka seluruh nutrisi tersebut secara alami dapat diproduksi di dalam tanah melalui mekanisme aktivitas mikroba dari ukuran terkecil sampai makro fauna seperti cacing tanah. Sehingga tanah yang subur idealnya memiliki komposisi Air 25%, Oksigen 25%, Mineral 45% dan C-Organik 5%," papar Heri.
Dengan komposisi tersebut, mikroba dan cacing tidak hanya berkontribusi menghasilkan nutrisi tetapi juga menghasilkan asam organik, hormon, antibiotika dan lain-lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kesehatan tanaman.
Dengan ekosistem yang baik juga kata dia, akan terjadi keseimbangan antara jumlah mikroba musuh alami (predator) dengan mikroba patogen, sehingga kalau terjadi kasus infeksi tanaman maka tidak akan sampai endemik dan masif.
Contoh nyata dari ekosistem yang baik adalah pertumbuhan tanaman di hutan-hutan yang tidak pernah dipupuk tapi tumbuh subur dan sehat.
"Peran C-Organik tanah walaupun sedikit yaitu 3%-5% (ideal) dalam keseimbangan ekosistem sangat besar karena dapat membuat tanah marginal menjadi subur, tanah sakit menjadi sehat," ujar Heri.
Hal ini lanjut dia, dikarenakan aerasi atau ketersediaan oksigen akan baik, kemampuan tanah mengikat air (water holding capacity) baik, kemampuan menyangga (buffer capacity) akan baik dan paling utama adalah kehidupan mikroba pelepas unsur hara dan cacing tanah akan sangat baik.
"Inilah dalam bahasa sederhana disebut tanah dengan jumlah dan keragaman hayati yang tinggi akan berperan sebagai "pabrik pupuk alami"," ujar Heri.
Dikatakan Heri, perkebunan sawit yang rata-rata kandungan C-organik tanahnya berada pada kisaran 2% - 3% atau bahkan < 2% harus lebih serius untuk melakukan upaya perbaikan kandungan C-organiknya agar jangka panjang tanah dapat dipertahankan tingkat kesuburan dan kesehatannya. Sehingga tekanan penyakit akibat jamur patogen dapat dikurangi.
Pada periode 25-30 tahun yang lalu kebun sawit tidak perlu boron (B) yang disuplai dari luar, sangat berbeda dengan kondisi sekarang yang hampir bisa dipastikan semua perkebunan sawit perlu boron (B) dari luar antara 40 - 100 gram per pohon per tahun.
Pada kondisi keseimbangan ekosistem tanah yang baik, boron dihasilkan dalam tanah oleh aktivitas mikroba, namun dalam kondisi tanah yang semakin masam akibat penggunaan produk kimia berlebihan dan berkelanjutan, mikroba pelepas boron tidak dapat aktif. Akhirnya, defisiensi boron terjadi dan harus ditambahkan dari luar.
Hal ini juga terjadi pada Cu, Zn dan mungkin akan lebih banyak lagi unsur mikro harus ditambah dari luar akibat cadangan unsur mikro yang terikat dalam senyawa di dalam tanah tidak dapat dilepas lagi. Baik karena jumlah dan keragaman mikroba menurun maupun sifat kimia tanah (semakin masam) membuat mikroba tidak dapat melakukan aktivitasnya dengan baik (mikroba aktif hanya pada kisaran pH tertentu).
Upaya perbaikan ekosistem tanah ini dapat dimulai dengan melakukan substitusi sebagian pupuk kimia dengan pupuk organik mikroba berkualitas tinggi, memasukkan semua bahan organik yang dihasilkan tanaman seperti janjang kosong dalam bentuk kompos matang secara merata ke seluruh kebun, memasukkan musuh alami Ganoderma yaitu biofungisida berbasis Trichoderma yang berkualitas tinggi."Dan bagi yang akan melakukan replanting sebaiknya melakukan upaya revitalisasi lahan mulai 5-7 tahun sebelum replanting dilakukan," jelas Heri.
Informasi tersebut diatas sebagai "alarm" yang mengingatkan bahwa para pelaku sawit sudah terlalu lama tidak memperhatikan tanah sebagai bagian penting dari sebuah ekosistem yang kalau dijaga kelestarian dan keseimbangannya akan dapat menghasilkan pupuk atau nutrisi alami.
"Di mana dalam jangka panjang akan dapat mereduksi secara signifikan penggunaan pupuk kimia yang saat ini menempati porsi belanja tertinggi (70-80 milyar per tahun untuk estate seluas 10.000 ha)," kata Heri. (junita sianturi)
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/01/19/141677/cacing-tanah-indikator-terbangunnya-pabrik-pupuk-alami/#.VL02tj8s06Y
No comments:
Post a Comment