Ide memasukkan kelapa 
sawit menjadi jenis tanaman kehutanan, hingga terbuka peluang 
pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) sawit, ternyata tak pernah 
padam. Ya, pada awal 2010 silam, ide tersebut sempat ramai dibahas 
publik setelah dimunculkan Kementerian Kehutanan. Namun, wacana itu 
kemudian tenggelam seiring perjalanan waktu.
Kini ide tersebut kembali diangkat ke 
permukaan. Bahkan, Kemenhut sedang melakukan pembahasan intensif terkait
 ketentuan hukum yang bakal menjadi pijakan legalisasi HTI sawit. 
Nantinya, HTI sawit akan beroperasi lewat skema izin usaha pemanfaatan 
hasil hutan kayu hutan (IUPHHK) HTI Berbagai Jenis.
Dirjen Bina Usaha Kehutanan Iman Santoso
 menyatakan, pihaknya kini sedang merangkum semua masukan terkait 
legalisasi penanaman sawit di areal HTI. “Kami harap kebijakannya sudah 
bisa terbit tahun ini juga,” kata Iman, di sela pembukaan rapat 
Koordinasi Teknis Ditjen Bina Usaha Kehutanan  di Jakarta, Rabu (6/7) 
lalu.
Dalam HTI Berbagai Jenis, tanaman yang 
boleh ditanam memang tak melulu tanaman kehutanan tradisonal. Tapi bisa 
karet atau kelapa. “Juga sawit,” ujar Iman.
Dia melanjutkan, salah satu poin yang 
masih dibahas secara mendalam adalah soal desain tata ruang HTI sawit. 
Termasuk soal kombinasi yang tepat soal persentase luas tanaman sawit. 
“Hal itu untuk memastikan agar fungsi hutan tetap dipertahankan,” ujar 
dia.
Pembahasan mendalam diperlukan karena 
tanaman sawit punya daya evaporasi yang tinggi. Kombinasi yang tepat 
dengan tanaman lain akan memastikan kawasan hutan tetap berfungsi 
sebagaimana mestinya. “Saat ini kami sedang meminta masukan dari ahli 
hidrologi terkait dengan hal itu,” ujar Iman.
Dari sisi peraturan perundang-undangan, 
penanaman kelapa sawit di kawasan hutan bukanlah ‘barang’ baru. Di masa 
Muslimin Nasution menjabat sebagai menteri kehutanan dan perkebunan, 
diterbitkan Surat Keputusan No.614/1999 tentang Pedoman Pembangunan 
Hutan Tanaman Campuran. Ketentuan tersebut terbit sebulan sebelum 
Undang-undang (UU) No.41/1999 tentang Kehutanan — yang menjadi payung 
dari semua ketentuan hukum saat ini  – diterbitkan. Dalam ketentuan 
tersebut, diatur tanaman perkebunan bisa ditanam dengan persentase 
tanaman mencapai 40%.
Sampai saat ini, ketentuan tentang hutan
 tanaman campuran belum pernah dicabut. Meski demikian, ketentuan 
tersebut sepertinya tak bakal dijadikan pijakan. Maklum, hutan tanaman 
campuran tidak dikenal dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.6/2007 jo. PP 
No.3/2008  tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, 
serta Pemanfaatan Hutan. PP tersebut adalah produk hukum turunan dari UU
 No.41/1999. Meski demikian, PP No.6/2007 memberi ruang untuk penanaman 
sawit melalui HTI berbagai jenis (lihat grafis).
Hal itu juga yang ditegaskan oleh Sekjen
 Kemenhut Hadi Daryanto. Menurut dia, berdasarkan PP No.6/2007 jo. PP 
No.3/2008 pasal 39, penanaman di areal HTI bisa berupa tanaman sejenis 
atau berbagai jenis.
Hadi menuturkan, rencana utuk segera 
melegalisasi HTI sawit tak lepas dari dua isu moratorium yang kini 
mengemuka. Pertama, moratorium izin baru di kawasan hutan primer. Isu 
yang kedua, soal moratorium pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Arab 
Saudi.
Dia menjelaskan dengan kebijakan 
suspensi izin di hutan primer, maka investasi di arahkan ke hutan yang 
sudah terdegradasi dan tidak produktif. Masalahnya, kawasan dengan 
kondisi seperti itu seringkali dihindari investor karena rendahnya nilai
 kelayakan investasi.
“Dengan adanya HTI berbagai jenis, misalnya dengan sawit, maka feasibility-nya
 bisa didapatkan. Jadi, bisa menarik minat investor, sehingga bisa 
mendukung target pertumbuhan 7% Kabinet Indonesia Bersatu II,” ujar 
Hadi.
HTI sawit juga terkait dengan isu 
moratorium pengirim TKI ke Arab Saudi sebab akan memberi peluang kerja 
bagi mereka yang tak bisa berangkat. Hadi menuturkan, pembangunan HTI 
seluas 500.000 hektare (ha) dan perkebunan seluas 300.000 ha di areal 
hutan yang sudah terdegradasi berat bisa menyerap sedikitnya 160.000 
tenaga kerja baru.
Siap hadapi
Seperti juga saat pertama kali meluncur 
pada 2010 lalu, digodoknya ide HTI sawit diperkirakan bakal memicu 
kontroversi. Meski demikian, Iman menegaskan pihak Kemenhut siap 
menghadapi hal itu.
Menurut dia, hasil penelitian di 
lapangan membuktikan kombinasi yang tepat antara tanaman sawit dan 
tanaman kehutanan lainnya bisa mempertahankan fungsi hutan. “Kami bisa 
menjelaskan bahwa sawit dan tanaman kehutanan lainnya bisa dikelola 
dengan baik tanpa merusak fungsi hutan karena ada bukti di lapangan,” 
ujar Iman.
Dia menuturkan, mudah untuk membuktikan 
hutan tetap berfungsi meski dikombinasikan dengan tanaman sawit. Caranya
 dengan melihat lahan di lokasi penanaman. “Jika tidak kering, berarti 
kombinasi tanaman sawit dan tanaman lain tidak merusak fungsi hutan,” 
kata Iman.
Di sisi lain, meski lekat dengan 
komoditas perkebunan, namun kayu sawit juga bisa dimanfaatkan sebagai 
bahan baku industri kehutanan. Menurut Iman, dengan teknologi terkini, 
kayu sawit adalah bahan baku potensial bagi industri kayu panel.
“Kalau kita memproduksi panel sawit, 
berarti tebangan terhadap kayu akan berkurang. Hal ini juga bisa 
mendukung pelestarian tanaman jenis meranti di tengah gencarnya 
penanaman tanaman jenis cepat tumbuh. Jadi, sambil menunggu tanaman 
meranti tumbuh, kita bisa suplai industri kayu dengan kayu sawit,” 
katanya. Sugiharto
 
Litbang: Kayu Sawit Potensial
HTI sawit bisa menjadi opsi 
dalam pengelolaan hutan memang sudah dikuatkan lewat hasil penelitian 
Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenhut.
Menurut Kepala Badan Litbang Kemenhut 
Tachrir Fathoni, hasil kajian Badan Litbang HTI berbagai jenis, termasuk
 dengan tanaman sawit, bisa dibangun tanpa merusak fungsi hutan. “Hasil 
kajian itu kini sedang digodok untuk diterapkan oleh Kemenhut,” kata 
dia, beberapa waktu lalu.
Selain soal pengelolaan di hutan, kajian
 terkait sawit juga sudah dilakukan Badan Litbang untuk pengolahan kayu 
sawit. Menurut Tachrir, kayu sawit sangat potensial sebagai bahan baku 
panel kayu. “Jadi bisa mengurangi pemanfatan kayu alam,” katanya.
Meski bakal memicu kontroversi, Tachrir 
menegaskan kajian yang dilakukan pihaknya murni bertujuan untuk 
pengembangan hutan lestari dan masyarakat yang sejahtera dan 
berkeadilan. “Tidak ada interest selain untuk mendukung hutan lestari dan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan,” katanya.
Tachrir menyatakan, sebagai think tank
 Kemenhut, Badan Litbang memang memiliki kewajiban untuk menyampaikan 
hasil kajian sesuai denga fakta di lapangan. “Mungkin kajian itu keras, 
tapi itu untuk kebaikan,” katanya.
Dia juga menyatakan, ke depan kebijakan 
kehutanan memang selayaknya diambil dengan berdasarkan penelitian yang 
akurat. Dia menyatakan, hal itu sudah mulai dirintis saat ini.
Dia menyebut kajian Badan Litbang 
lainnya yang dijadikan dasar pembuatan kebijakan Kemenhut misalnya 
pelonggaran penerapan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) bagi kayu 
rakyat. AI