KISARAN, — Perusahaan perkebunan nasional PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk semakin fokus mengembangkan industri kelapa sawit yang terintegrasi dari hulu sampai hilir.
Pemilik lahan seluas 200.000 hektar itu kini mengembangkan industri pengolahan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil atau CPO) menjadi beragam produk turunan bernilai tinggi di pasar internasional.
Direktur Utama PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (BSP) Ambono Januarianto mengemukakan itu di sela-sela persiapan perayaan 100 tahun Kebun Bunut di Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Rabu (18/5/2011).
BSP kini merupakan perusahaan perkebunan dengan lahan tertanam seluas 144.000 hektar, yang memiliki industri hilir terintegrasi terbesar di Indonesia, berlokasi di Kuala Tanjung, Sumatera Utara.
Pabrik oleokimia berkapasitas produksi 50.000 ton fatty acid per tahun di Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara, sudah beroperasi penuh sejak April 2011. Pabrik alkohol berkapasitas 35.000 ton alkohol per tahun juga segera berjalan. Perseroan pun terus bersiap mengoperasikan pabrik alkohol unit 2, fatty acid unit 2, dan pengolahan CPO.
Hampir 90 persen produk turunan BSP sudah memiliki pembeli di pasar internasional. Perseroan sudah mengikat kontrak penjualan produk turunan, terutama alkohol, selama lima tahun dengan salah satu produsen produk konsumen terkemuka dunia, Procter and Gambler (PG).
“Kami percaya di Indonesia belum banyak pengusaha yang menangkap peluang potensi total penambahan nilai produk dalam rantai bisnis CPO. Integrasi upstream dan downstream (hulu dan hilir) masih sangat jarang dalam bisnis kelapa sawit,” ujar Ambono.
Kebutuhan konsumsi pangan dan energi yang terus meningkat memang membuat kelapa sawit menjadi salah satu komoditas unggulan di pasar internasional. Permintaan terhadap CPO terus meningkat dan semakin tinggi karena sejumlah industri di Eropa dan Amerika Serikat masih melirik CPO untuk dijadikan bahan bakar nabati saat harga minyak bumi terus meroket.
Saat ini, harga CPO di pelabuhan semenanjung Malaysia sudah melebihi 1.100 dollar AS per ton. Kondisi ini diperkirakan masih akan terus berlanjut seiring instabilitas politik dan keamanan di sejumlah negara penghasil minyak bumi.
Perkembangan harga pasar yang menggembirakan ditambah kenaikan volume produksi dengan pabrik oleokimia yang mulai menghasilkan membuat perseroan mampu mencetak laba bersih kuartal I tahun 2011 dengan jumlah hampir dua kali lipat dibandingkan kuartal I tahun 2010. Namun, Ambono menolak memaparkan angka tersebut dengan alasan, belum melaporkan kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Bursa Efek Indonesia.
Akan tetapi, menurut informasi yang belum bisa dikonfirmasi, laba bersih kuartal I tahun 2011 BSP bisa melampaui Rp 200 miliar. Hal ini bisa terjadi karena hampir sepanjang empat bulan ini harga rata-rata CPO sudah berkisar 900 dollar AS hingga 1.000 dollar AS per ton.
Kenaikan harga karet alam di pasar internasional juga turut menjadi berkah bagi kinerja perseroan. Direktur BSP Bambang Aria Wisena menjelaskan, pertumbuhan ekonomi China dan pengembangan industri otomotif Eropa di Turki membuat permintaan terhadap karet alam tetap tinggi.
Bencana alam di Jepang yang semula diperkirakan bakal menekan permintaan karet juga tak terbukti. Hal ini membuat harga karet alam terus berada di atas 5 dollar AS per kilogram.
“Harga karet masih akan tinggi karena mengikuti harga minyak bumi (bahan baku utama karet sintetis). Begitu perekonomian Jepang pulih (dari bencana), harga karet akan semakin tinggi,” ujar Bambang.
Kebun tertua
Kebun Bunut adalah kebun tertua BSP yang diakuisisi tahun 1986. Perkebunan karet yang didirikan dengan nama Naamlooze Vennootschap Hollandsch Amerikaansche Plantage Maatschappij itu berdiri tahun 1911, termasuk generasi pertama komersialisasi perkebunan pada masa kolonial Belanda.
Perkebunan ini kemudian berganti nama menjadi PT United States Rubber Sumatra Plantations (USRSP) tahun 1957 setelah diakuisisi Uniroyal Inc. Uniroyal Inc adalah salah satu perusahaan terkemuka di dunia yang sudah mulai mengembangkan kakao dan kelapa sawit dengan karet sebagai komoditas utama.
Pada tahun 1965-1967, Pemerintah Indonesia menasionalisasi USRSP. Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi PT Uniroyal Sumatra Plantations tahun 1985. Setahun kemudian, perusahaan tersebut berganti nama menjadi PT United Sumatera Plantations (UNSP) dan PT Bakrie Brothers mengambil alih 75 persen saham.
Kebun Bunut, yang pada masa awal perkembangannya berada di tengah hutan karet, kini sudah berada di pusat Kota Kisaran, ibu kota Kabupaten Asahan, yang berjarak 152 kilometer selatan Kota Medan.
Kondisi itu membuat pertumbuhan perekonomian Kabupaten Asahan, yang sebagian besar mengandalkan komoditas perkebunan kelapa sawit dan karet, juga tak bisa dipisahkan dari keberadaan Kebun Bunut milik BSP tersebut.
Oleh karena itu, BSP merayakan 100 tahun operasional perkebunan di Kisaran itu secara besar-besaran pada Kamis (19/5/2011). Pemilik saham terbesar BSP, Aburizal Bakrie dan keluarga, turut hadir menyaksikan perayaan ini bersama para pemangku kepentingan.sumber:KISARAN, KOMPAS.com — Perusahaan perkebunan nasional PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk semakin fokus mengembangkan industri kelapa sawit yang terintegrasi dari hulu sampai hilir.
Pemilik lahan seluas 200.000 hektar itu kini mengembangkan industri pengolahan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil atau CPO) menjadi beragam produk turunan bernilai tinggi di pasar internasional.
Direktur Utama PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (BSP) Ambono Januarianto mengemukakan itu di sela-sela persiapan perayaan 100 tahun Kebun Bunut di Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Rabu (18/5/2011).
BSP kini merupakan perusahaan perkebunan dengan lahan tertanam seluas 144.000 hektar, yang memiliki industri hilir terintegrasi terbesar di Indonesia, berlokasi di Kuala Tanjung, Sumatera Utara.
Pabrik oleokimia berkapasitas produksi 50.000 ton fatty acid per tahun di Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara, sudah beroperasi penuh sejak April 2011. Pabrik alkohol berkapasitas 35.000 ton alkohol per tahun juga segera berjalan. Perseroan pun terus bersiap mengoperasikan pabrik alkohol unit 2, fatty acid unit 2, dan pengolahan CPO.
Hampir 90 persen produk turunan BSP sudah memiliki pembeli di pasar internasional. Perseroan sudah mengikat kontrak penjualan produk turunan, terutama alkohol, selama lima tahun dengan salah satu produsen produk konsumen terkemuka dunia, Procter and Gambler (PG).
“Kami percaya di Indonesia belum banyak pengusaha yang menangkap peluang potensi total penambahan nilai produk dalam rantai bisnis CPO. Integrasi upstream dan downstream (hulu dan hilir) masih sangat jarang dalam bisnis kelapa sawit,” ujar Ambono.
Kebutuhan konsumsi pangan dan energi yang terus meningkat memang membuat kelapa sawit menjadi salah satu komoditas unggulan di pasar internasional. Permintaan terhadap CPO terus meningkat dan semakin tinggi karena sejumlah industri di Eropa dan Amerika Serikat masih melirik CPO untuk dijadikan bahan bakar nabati saat harga minyak bumi terus meroket.
Saat ini, harga CPO di pelabuhan semenanjung Malaysia sudah melebihi 1.100 dollar AS per ton. Kondisi ini diperkirakan masih akan terus berlanjut seiring instabilitas politik dan keamanan di sejumlah negara penghasil minyak bumi.
Perkembangan harga pasar yang menggembirakan ditambah kenaikan volume produksi dengan pabrik oleokimia yang mulai menghasilkan membuat perseroan mampu mencetak laba bersih kuartal I tahun 2011 dengan jumlah hampir dua kali lipat dibandingkan kuartal I tahun 2010. Namun, Ambono menolak memaparkan angka tersebut dengan alasan, belum melaporkan kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Bursa Efek Indonesia.
Akan tetapi, menurut informasi yang belum bisa dikonfirmasi, laba bersih kuartal I tahun 2011 BSP bisa melampaui Rp 200 miliar. Hal ini bisa terjadi karena hampir sepanjang empat bulan ini harga rata-rata CPO sudah berkisar 900 dollar AS hingga 1.000 dollar AS per ton.
Kenaikan harga karet alam di pasar internasional juga turut menjadi berkah bagi kinerja perseroan. Direktur BSP Bambang Aria Wisena menjelaskan, pertumbuhan ekonomi China dan pengembangan industri otomotif Eropa di Turki membuat permintaan terhadap karet alam tetap tinggi.
Bencana alam di Jepang yang semula diperkirakan bakal menekan permintaan karet juga tak terbukti. Hal ini membuat harga karet alam terus berada di atas 5 dollar AS per kilogram.
“Harga karet masih akan tinggi karena mengikuti harga minyak bumi (bahan baku utama karet sintetis). Begitu perekonomian Jepang pulih (dari bencana), harga karet akan semakin tinggi,” ujar Bambang.
Kebun tertua
Kebun Bunut adalah kebun tertua BSP yang diakuisisi tahun 1986. Perkebunan karet yang didirikan dengan nama Naamlooze Vennootschap Hollandsch Amerikaansche Plantage Maatschappij itu berdiri tahun 1911, termasuk generasi pertama komersialisasi perkebunan pada masa kolonial Belanda.
Perkebunan ini kemudian berganti nama menjadi PT United States Rubber Sumatra Plantations (USRSP) tahun 1957 setelah diakuisisi Uniroyal Inc. Uniroyal Inc adalah salah satu perusahaan terkemuka di dunia yang sudah mulai mengembangkan kakao dan kelapa sawit dengan karet sebagai komoditas utama.
Pada tahun 1965-1967, Pemerintah Indonesia menasionalisasi USRSP. Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi PT Uniroyal Sumatra Plantations tahun 1985. Setahun kemudian, perusahaan tersebut berganti nama menjadi PT United Sumatera Plantations (UNSP) dan PT Bakrie Brothers mengambil alih 75 persen saham.
Kebun Bunut, yang pada masa awal perkembangannya berada di tengah hutan karet, kini sudah berada di pusat Kota Kisaran, ibu kota Kabupaten Asahan, yang berjarak 152 kilometer selatan Kota Medan.
Kondisi itu membuat pertumbuhan perekonomian Kabupaten Asahan, yang sebagian besar mengandalkan komoditas perkebunan kelapa sawit dan karet, juga tak bisa dipisahkan dari keberadaan Kebun Bunut milik BSP tersebut.
Oleh karena itu, BSP merayakan 100 tahun operasional perkebunan di Kisaran itu secara besar-besaran pada Kamis (19/5/2011). Pemilik saham terbesar BSP, Aburizal Bakrie dan keluarga, turut hadir menyaksikan perayaan ini bersama para pemangku kepentingan.
Direktur Utama PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (BSP) Ambono Januarianto mengemukakan itu di sela-sela persiapan perayaan 100 tahun Kebun Bunut di Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Rabu (18/5/2011).
BSP kini merupakan perusahaan perkebunan dengan lahan tertanam seluas 144.000 hektar, yang memiliki industri hilir terintegrasi terbesar di Indonesia, berlokasi di Kuala Tanjung, Sumatera Utara.
Pabrik oleokimia berkapasitas produksi 50.000 ton fatty acid per tahun di Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara, sudah beroperasi penuh sejak April 2011. Pabrik alkohol berkapasitas 35.000 ton alkohol per tahun juga segera berjalan. Perseroan pun terus bersiap mengoperasikan pabrik alkohol unit 2, fatty acid unit 2, dan pengolahan CPO.
Hampir 90 persen produk turunan BSP sudah memiliki pembeli di pasar internasional. Perseroan sudah mengikat kontrak penjualan produk turunan, terutama alkohol, selama lima tahun dengan salah satu produsen produk konsumen terkemuka dunia, Procter and Gambler (PG).
“Kami percaya di Indonesia belum banyak pengusaha yang menangkap peluang potensi total penambahan nilai produk dalam rantai bisnis CPO. Integrasi upstream dan downstream (hulu dan hilir) masih sangat jarang dalam bisnis kelapa sawit,” ujar Ambono.
Kebutuhan konsumsi pangan dan energi yang terus meningkat memang membuat kelapa sawit menjadi salah satu komoditas unggulan di pasar internasional. Permintaan terhadap CPO terus meningkat dan semakin tinggi karena sejumlah industri di Eropa dan Amerika Serikat masih melirik CPO untuk dijadikan bahan bakar nabati saat harga minyak bumi terus meroket.
Saat ini, harga CPO di pelabuhan semenanjung Malaysia sudah melebihi 1.100 dollar AS per ton. Kondisi ini diperkirakan masih akan terus berlanjut seiring instabilitas politik dan keamanan di sejumlah negara penghasil minyak bumi.
Perkembangan harga pasar yang menggembirakan ditambah kenaikan volume produksi dengan pabrik oleokimia yang mulai menghasilkan membuat perseroan mampu mencetak laba bersih kuartal I tahun 2011 dengan jumlah hampir dua kali lipat dibandingkan kuartal I tahun 2010. Namun, Ambono menolak memaparkan angka tersebut dengan alasan, belum melaporkan kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Bursa Efek Indonesia.
Akan tetapi, menurut informasi yang belum bisa dikonfirmasi, laba bersih kuartal I tahun 2011 BSP bisa melampaui Rp 200 miliar. Hal ini bisa terjadi karena hampir sepanjang empat bulan ini harga rata-rata CPO sudah berkisar 900 dollar AS hingga 1.000 dollar AS per ton.
Kenaikan harga karet alam di pasar internasional juga turut menjadi berkah bagi kinerja perseroan. Direktur BSP Bambang Aria Wisena menjelaskan, pertumbuhan ekonomi China dan pengembangan industri otomotif Eropa di Turki membuat permintaan terhadap karet alam tetap tinggi.
Bencana alam di Jepang yang semula diperkirakan bakal menekan permintaan karet juga tak terbukti. Hal ini membuat harga karet alam terus berada di atas 5 dollar AS per kilogram.
“Harga karet masih akan tinggi karena mengikuti harga minyak bumi (bahan baku utama karet sintetis). Begitu perekonomian Jepang pulih (dari bencana), harga karet akan semakin tinggi,” ujar Bambang.
Kebun tertua
Kebun Bunut adalah kebun tertua BSP yang diakuisisi tahun 1986. Perkebunan karet yang didirikan dengan nama Naamlooze Vennootschap Hollandsch Amerikaansche Plantage Maatschappij itu berdiri tahun 1911, termasuk generasi pertama komersialisasi perkebunan pada masa kolonial Belanda.
Perkebunan ini kemudian berganti nama menjadi PT United States Rubber Sumatra Plantations (USRSP) tahun 1957 setelah diakuisisi Uniroyal Inc. Uniroyal Inc adalah salah satu perusahaan terkemuka di dunia yang sudah mulai mengembangkan kakao dan kelapa sawit dengan karet sebagai komoditas utama.
Pada tahun 1965-1967, Pemerintah Indonesia menasionalisasi USRSP. Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi PT Uniroyal Sumatra Plantations tahun 1985. Setahun kemudian, perusahaan tersebut berganti nama menjadi PT United Sumatera Plantations (UNSP) dan PT Bakrie Brothers mengambil alih 75 persen saham.
Kebun Bunut, yang pada masa awal perkembangannya berada di tengah hutan karet, kini sudah berada di pusat Kota Kisaran, ibu kota Kabupaten Asahan, yang berjarak 152 kilometer selatan Kota Medan.
Kondisi itu membuat pertumbuhan perekonomian Kabupaten Asahan, yang sebagian besar mengandalkan komoditas perkebunan kelapa sawit dan karet, juga tak bisa dipisahkan dari keberadaan Kebun Bunut milik BSP tersebut.
Oleh karena itu, BSP merayakan 100 tahun operasional perkebunan di Kisaran itu secara besar-besaran pada Kamis (19/5/2011). Pemilik saham terbesar BSP, Aburizal Bakrie dan keluarga, turut hadir menyaksikan perayaan ini bersama para pemangku kepentingan.sumber:KISARAN, KOMPAS.com — Perusahaan perkebunan nasional PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk semakin fokus mengembangkan industri kelapa sawit yang terintegrasi dari hulu sampai hilir.
Pemilik lahan seluas 200.000 hektar itu kini mengembangkan industri pengolahan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil atau CPO) menjadi beragam produk turunan bernilai tinggi di pasar internasional.
Direktur Utama PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (BSP) Ambono Januarianto mengemukakan itu di sela-sela persiapan perayaan 100 tahun Kebun Bunut di Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Rabu (18/5/2011).
BSP kini merupakan perusahaan perkebunan dengan lahan tertanam seluas 144.000 hektar, yang memiliki industri hilir terintegrasi terbesar di Indonesia, berlokasi di Kuala Tanjung, Sumatera Utara.
Pabrik oleokimia berkapasitas produksi 50.000 ton fatty acid per tahun di Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara, sudah beroperasi penuh sejak April 2011. Pabrik alkohol berkapasitas 35.000 ton alkohol per tahun juga segera berjalan. Perseroan pun terus bersiap mengoperasikan pabrik alkohol unit 2, fatty acid unit 2, dan pengolahan CPO.
Hampir 90 persen produk turunan BSP sudah memiliki pembeli di pasar internasional. Perseroan sudah mengikat kontrak penjualan produk turunan, terutama alkohol, selama lima tahun dengan salah satu produsen produk konsumen terkemuka dunia, Procter and Gambler (PG).
“Kami percaya di Indonesia belum banyak pengusaha yang menangkap peluang potensi total penambahan nilai produk dalam rantai bisnis CPO. Integrasi upstream dan downstream (hulu dan hilir) masih sangat jarang dalam bisnis kelapa sawit,” ujar Ambono.
Kebutuhan konsumsi pangan dan energi yang terus meningkat memang membuat kelapa sawit menjadi salah satu komoditas unggulan di pasar internasional. Permintaan terhadap CPO terus meningkat dan semakin tinggi karena sejumlah industri di Eropa dan Amerika Serikat masih melirik CPO untuk dijadikan bahan bakar nabati saat harga minyak bumi terus meroket.
Saat ini, harga CPO di pelabuhan semenanjung Malaysia sudah melebihi 1.100 dollar AS per ton. Kondisi ini diperkirakan masih akan terus berlanjut seiring instabilitas politik dan keamanan di sejumlah negara penghasil minyak bumi.
Perkembangan harga pasar yang menggembirakan ditambah kenaikan volume produksi dengan pabrik oleokimia yang mulai menghasilkan membuat perseroan mampu mencetak laba bersih kuartal I tahun 2011 dengan jumlah hampir dua kali lipat dibandingkan kuartal I tahun 2010. Namun, Ambono menolak memaparkan angka tersebut dengan alasan, belum melaporkan kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Bursa Efek Indonesia.
Akan tetapi, menurut informasi yang belum bisa dikonfirmasi, laba bersih kuartal I tahun 2011 BSP bisa melampaui Rp 200 miliar. Hal ini bisa terjadi karena hampir sepanjang empat bulan ini harga rata-rata CPO sudah berkisar 900 dollar AS hingga 1.000 dollar AS per ton.
Kenaikan harga karet alam di pasar internasional juga turut menjadi berkah bagi kinerja perseroan. Direktur BSP Bambang Aria Wisena menjelaskan, pertumbuhan ekonomi China dan pengembangan industri otomotif Eropa di Turki membuat permintaan terhadap karet alam tetap tinggi.
Bencana alam di Jepang yang semula diperkirakan bakal menekan permintaan karet juga tak terbukti. Hal ini membuat harga karet alam terus berada di atas 5 dollar AS per kilogram.
“Harga karet masih akan tinggi karena mengikuti harga minyak bumi (bahan baku utama karet sintetis). Begitu perekonomian Jepang pulih (dari bencana), harga karet akan semakin tinggi,” ujar Bambang.
Kebun tertua
Kebun Bunut adalah kebun tertua BSP yang diakuisisi tahun 1986. Perkebunan karet yang didirikan dengan nama Naamlooze Vennootschap Hollandsch Amerikaansche Plantage Maatschappij itu berdiri tahun 1911, termasuk generasi pertama komersialisasi perkebunan pada masa kolonial Belanda.
Perkebunan ini kemudian berganti nama menjadi PT United States Rubber Sumatra Plantations (USRSP) tahun 1957 setelah diakuisisi Uniroyal Inc. Uniroyal Inc adalah salah satu perusahaan terkemuka di dunia yang sudah mulai mengembangkan kakao dan kelapa sawit dengan karet sebagai komoditas utama.
Pada tahun 1965-1967, Pemerintah Indonesia menasionalisasi USRSP. Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi PT Uniroyal Sumatra Plantations tahun 1985. Setahun kemudian, perusahaan tersebut berganti nama menjadi PT United Sumatera Plantations (UNSP) dan PT Bakrie Brothers mengambil alih 75 persen saham.
Kebun Bunut, yang pada masa awal perkembangannya berada di tengah hutan karet, kini sudah berada di pusat Kota Kisaran, ibu kota Kabupaten Asahan, yang berjarak 152 kilometer selatan Kota Medan.
Kondisi itu membuat pertumbuhan perekonomian Kabupaten Asahan, yang sebagian besar mengandalkan komoditas perkebunan kelapa sawit dan karet, juga tak bisa dipisahkan dari keberadaan Kebun Bunut milik BSP tersebut.
Oleh karena itu, BSP merayakan 100 tahun operasional perkebunan di Kisaran itu secara besar-besaran pada Kamis (19/5/2011). Pemilik saham terbesar BSP, Aburizal Bakrie dan keluarga, turut hadir menyaksikan perayaan ini bersama para pemangku kepentingan.
(sumber :kompas.com)
No comments:
Post a Comment