"Kita sudah berupaya dengan berbagai pertimbangan dan argumen kuat bagaimana CPO dari Indonesia memiliki skala tertentu untuk menjadi produk ekkspor yang ramah lingkungan. Tapi tetap ada penolakan. Karena itulah, negosiasi akan kembali dilakukan hingga bisa "menggolkan" CPO sebagai satu dari 54 produk ramah lingkungan. Mudah-mudahan, kali ini berhasil," ujar Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP) Kementerian Perdagangan RI, Bachrul Chairi, usai membuka acara Diseminasi Hasil-hasil Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, di Hotel Arya Duta Medan, Kamis (13/9).
Meski
negosiasi ini tidak dilakukan secara langsung, namun sudah ada
perencanaan serius sampai CPO bisa diakui sebagi produk ramah
lingkungan. Dikatakannya, dari 21 negara anggota APEC, kepentingannya
sangat banyak. Misalnya perlu beli LNG dan mineral dari Indonesia.
"Kita tinggal mendatangi mereka untuk mendukung Indonesia. Selain itu, masih ada kesempatan besar karena hingga kini belum ada kriteria yang jelas soal produk ramah lingkungan ini," katanya.
Bachrul mengemukakan, APEC adalah kumpulan dari negara-negara yang membuat satu keputusan yang tidak memiliki keterikatan anggota, yang artinya, boleh menaati dan boleh tidak. Tetapi, contohnya di WTO sendiri, kriteria list 54 produk ramah lingkungan ini belum fix. Padahal WTO-lah yang lebih mengikat.
Karena kesulitan menentukan kriteria tersebut, sekarang di dalam APEC selalu ada kemajuan membuat list yang lebih banyak sebagai produk yang ramah lingkungan. "Ini yang menjadi poin yang membuat pemerintah terus mengupayakan supaya CPO bisa masuk sebagai produk ramah lingkungan. Karena ke depannya, akan turut mempengaruhi nilai dan volume ekspornya," kata Bachrul.
Apalagi, tambahnya, Indonesia tahun depan akan memimpin APEC. Ini menjadi salah satu agenda yang ingin "digolkan". Meski bukan sebagai agenda utama.
Sebelumnya, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) M Fadhil Hasan mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan penolakan APEC terhadap CPO Indonesia sebagai produk ramah lingkungan. Sebab, CPO dalam negeri layak dikategorikan sebagai produk ramah lingkungan karena dalam implementasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia diwajibkan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam produksinya.
ISPO merupakan sistem verifikasi untuk meningkatkan daya saing CPO Indonesia di tataran lokal dan internasional. Menurut Fadhil, isu emisi gas rumah kaca yang membuat CPO Indonesia diboikot Amerika Serikat pun masih bisa diperdebatkan meski membutuhkan penelitian ilmiah lebih lanjut. "Kalau sejumlah perusahaan Indonesia menerapkan ISPO, CPO bisa dikategorikan sebagai produk hijau ramah lingkungan," katanya.
Begitupun, Gapki tetap yakin permintaan CPO Indonesia akan tetap tinggi. Bahkan, masih ada peluang pembayaran bea masuk CPO ke suatu negara akan rendah seiring penjanjian perdagangan bilateral. (elvidaris simamora)/MB
"Kita tinggal mendatangi mereka untuk mendukung Indonesia. Selain itu, masih ada kesempatan besar karena hingga kini belum ada kriteria yang jelas soal produk ramah lingkungan ini," katanya.
Bachrul mengemukakan, APEC adalah kumpulan dari negara-negara yang membuat satu keputusan yang tidak memiliki keterikatan anggota, yang artinya, boleh menaati dan boleh tidak. Tetapi, contohnya di WTO sendiri, kriteria list 54 produk ramah lingkungan ini belum fix. Padahal WTO-lah yang lebih mengikat.
Karena kesulitan menentukan kriteria tersebut, sekarang di dalam APEC selalu ada kemajuan membuat list yang lebih banyak sebagai produk yang ramah lingkungan. "Ini yang menjadi poin yang membuat pemerintah terus mengupayakan supaya CPO bisa masuk sebagai produk ramah lingkungan. Karena ke depannya, akan turut mempengaruhi nilai dan volume ekspornya," kata Bachrul.
Apalagi, tambahnya, Indonesia tahun depan akan memimpin APEC. Ini menjadi salah satu agenda yang ingin "digolkan". Meski bukan sebagai agenda utama.
Sebelumnya, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) M Fadhil Hasan mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan penolakan APEC terhadap CPO Indonesia sebagai produk ramah lingkungan. Sebab, CPO dalam negeri layak dikategorikan sebagai produk ramah lingkungan karena dalam implementasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia diwajibkan menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam produksinya.
ISPO merupakan sistem verifikasi untuk meningkatkan daya saing CPO Indonesia di tataran lokal dan internasional. Menurut Fadhil, isu emisi gas rumah kaca yang membuat CPO Indonesia diboikot Amerika Serikat pun masih bisa diperdebatkan meski membutuhkan penelitian ilmiah lebih lanjut. "Kalau sejumlah perusahaan Indonesia menerapkan ISPO, CPO bisa dikategorikan sebagai produk hijau ramah lingkungan," katanya.
Begitupun, Gapki tetap yakin permintaan CPO Indonesia akan tetap tinggi. Bahkan, masih ada peluang pembayaran bea masuk CPO ke suatu negara akan rendah seiring penjanjian perdagangan bilateral. (elvidaris simamora)/MB