Pontianak –Para petani di Kalbar boleh bernapas lega. Mahkamah Konstitusi
(MK) telah membatalkan beberapa pasal yang terdapat dalam UU Nomor 8
Tahun 2004 tentang Perkebunan.
“Putusan MK ini sekaligus menegaskan pengakuan terhadap hak asasi
manusia dan hak-hak masyarakat adat dalam UUD 1945, yang menyatakan
pengakuan terhadap hak asasi manusia dan keberadaan masyarakat adat
merupakan pengakuan eksistensialis,” kata Hendrikus Adam, aktivis Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar, kepada wartawan, Senin (26/9),.
Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat
(1) dan ayat (2) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Senin (19/9)
2011. Ketentuan Pasal 21 UU Perkebunan pada pokoknya berisi larangan
bagi setiap orang yang melakukan segala tindakan, yang dianggap dapat
mengganggu jalannya usaha perkebunan. Sementara Pasal 47 berisi mengenai
sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada para pelaku yang dianggap
melanggar Pasal 21.
Dibatalkannya ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan ini,
berarti telah memberikan angin segar bagi setiap petani dan masyarakat
untuk memperjuangkan kembali lahan-lahan dan tanahnya yang selama ini
dirampas dan digunakan perusahaan perkebunan.
Menurut Adam, hak asasi manusia dan keragaman, keunikan yang ada pada
masyarakat adat diakui dan dilindungi oleh negara. Pengakuan yang
diberikan oleh negara terhadap keberadaan masyarakat adat tidak lagi
bersifat simbolik semata.
Artinya, kata Adam, pengakuan negara yang didasarkan pada sifat dan
hakikat masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam golongan
yang salah satunya adalah masyarakat adat, dan ini merupakan kenyataan
atau kebenaran umum (noteire feiten) yang jelas, terang dan tidak
membutuhkan bukti lagi akan kebenaran dan keberadaannya.
Adam menegaskan, Walhi Kalbar menuntut pemerintah pusat untuk
memerhatikan dan menjalankan UU tersebut ke dalam bentuk peraturan
termasuk persidangan perkebunan yang selama ini banyak terjadi,
khususnya di Kalbar.
“Salah satu tuntutan kami adalah Presiden harus memerhatikan putusan
tersebut, khususnya dalam kerangka penyusunan kebijakan baru, yang
terkait dengan langkah penyelesaian konflik-konflik perkebunan, yang
melibatkan petani Masyarakat Adat, dengan perusahaan-perusahaan
perkebunan,” tegas dia.
Menurut dia, Presiden harus melakukan perubahan pola kebijakan dalam
menyelesaikan setiap sengketa perkebunan, tidak lagi menggunakan
pendekatan hukum pidana para petani dan masyarakat adat.
Presiden juga harus memerintahkan Menteri Pertanian cq Dirjen
Perkebunan, Kepala Badan Pertanahan Nasional maupun instansi terkait
lainnya yang memiliki kewenangan untuk menghentikan ekspansi perkebunan
kelapa sawit.
Selanjutnya, pihaknya meminta Presiden memerintahkan Kepala
Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung untuk menghentikan proses
penyidikan dan penuntutan terhadap petani-petani dan masyarakat adat
yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan.
Walhi Kalbar juga meminta Presiden memerintahkan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia dan Jaksa Agung untuk menghentikan praktik-praktik
korupsi yang selama ini menyertai dalam setiap pengambilalihan
lahan-lahan milik petani dan masyarakat adat dan pembangunan perkebunan.
Terutama, lanjut dia, yang berkaitan dengan suap untuk memperoleh
izin, pemberian izin untuk keluarga atau kroni kepala daerah, pembiaran
beroperasi tanpa izin, mark up dalam pengadaan bibit sawit, usaha
perkebunan sawit fiktif, dan penghindaran atau manipulasi pajak dari
sektor perkebunan.
Mahkamah Agung dan seluruh lembaga Peradilan di bawahnya khususnya di
Kalbar, Adam menegaskan, agar memerhatikan Putusan Pengujian UU
Perkebunan ini, dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang saat
ini tengah diproses hukum, dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 21
dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan, yang telah dibatalkan
tersebut.
“Pengadilan juga harus pula memerhatikan putusan tersebut, dalam
memeriksa setiap langkah hukum, dalam rangka upaya pembebasan setiap
warga negara, para petani, yang telah dijerat dengan menggunakan kedua
ketentuan dimaksud,” tuntasnya. (jul)/EQ
No comments:
Post a Comment