PRODUSEN KARET DUNIA: Posisi Indonesia Terancam Vietnam
JAKARTA – Indonesia harus mulai mewaspadai perkembangan perkebunan karet di beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Laos, dan Myanmar.
Saat ini Vietnam berada di peringkat ketiga sebagai negara produsen karet terbesar dunia.
Ketua Dewan Karet Indonesia Aziz Pane mengatakan perkebunan karet di Indonesia harus segera berbenah diri agar mampu menghadapi tantangan ke depan yang diprediksi akan semakin sengit mengingat akan ada pesaing baru di sektor ini.
“Saat ini Vietnam sudah diperingkat tiga produsen karet dunia, sementara itu Laos dan Myanmar, berkat pesatnya investasi China di kedua negara tersebut, membuat sektor perkebunan karet mereka perlahan-lahan mulai bangkit. Tentu hal ini harus diwaspadai para stakeholder yang ada di Indonesia,” jelasnya, Senin (24/6)..
Untuk itu, pihaknya berharap agar Indonesia segera berbenah diri. Hal yang sangat perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas produk, meningkatkan produktifitasnya dan juga adanya peraturan atau regulasi yang jelas dari pemerintah, yang mampu menaungi seluruh pihak yang terlibat disektor karet.
“Maka dari itu, mau tidak mau kita harus meningkatkan kualitas produk dari petani karet kita. Saat ini kualitas karet rakyat masih sangat rendah,” ujarnya.
Rendahnya mutu karet ini tidak lepas dari adanya beberapa kebiasaan buruk dari petani karet, yang dengan sengaja mencampur hasil sadapan karetnya untuk mendapatkan bobot yang lebih besar. Tindakan ini jelas keliru, meskipun bobotnya bertambah, tetapi kualitas yang dihasilkan akibatnya harga jualnya juga turun.
“Adanya perlakuan salah yang dilakukan beberapa petani karet yang dengan sengaja mencampur hasil sadapan karetnya dengan bahan lain. Hal ini sudah pasti keliru, karena mutu karet menjadi jelek. Untuk itu, kita harus meluruskan ini,” paparnya.
Efek lain yang ditimbulkan dari tindakan ini adalah bertambahnya biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan pengolahan karet, karena harus memilah atau mensterilkan terlebih dahulu karet yang dibelinya dari petani.
“Efeknya di Industri ini akan meningkatkan cost [biaya] produksi dan pada ujungnya akan menaikkan harga jual karet di pasaran, kalau ini dibiarkan, bisa-bisa karet Indonesia kalah bersaing dengan negara lain,” lanjutnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Daud Husni Bastari pernah mengatakan bahwa produktifitas karet terutama perkebunan rakyat masih sangat rendah dibandingkan dengan produktiftas negara Asia tenggara lainnya.
Produktivitas karet Indonesia masih berkisar 1,1 ton per hektare, sedangkan India mencapai 1,8 ton per hektare, Thailand sudah 1,8 ton per hektaer, Malaysia 1, 5 ton per hektare, dan Sri Lanka sudah 1,2 ton per hektare.
Rendahnya kualitas benih yang digunakan petani dituding sebagai penyebab rendahnya produktifitas ini. Selan itu, masih sedikitnya riset yang dilakukan untuk meningkatkan menghasilkan bibit yang unggul.
“Sejak penanamannya petani tidak menggunakan bibt unggul, akibatnya produktifitas yang dihasilkan juga rendah. Untuk menghasilkan benih yang bagus tidak melalui biji, tetapi melalui proses okulasi, nah disinilah kita kalah dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, penelitian mengenai ini [bibit unggul] sudah sangat maju,” jelasnya. (Ant/esu)/BS