Akan tetapi saat ini, khususnya di
Sumatera Utara (Sumut), petani kakao cenderung kurang meminati proses
fermentasi tersebut. "Memang pemerintah berencana melakukan standarisasi
pada biji kakao supaya biji kakao yang beredar itu harus telah
difermentasi," kata Kepala Dinas Perkebunan Sumut, Aspan Sofyan kepada
MedanBisnis, Jumat (26/7) di Medan.
Padahal, lanjut Aspan, biji kakao yang telah difermentasi harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang hanya dijemur saja. “Yang jelas jika petani melakukan fermentasi pada biji kakaonya, harga jualnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hanya dijemur saja. Tetapi sayangnya petani kita tetap kurang meminati," ungkapnya.
Menurut Aspan, petani dalam memproduksi biji kakaonya tidak ingin direpotkan. Petani hanya ingin langsung menjualnya apabila tanaman telah panen."Petani kita maunya setelah panen biji kakaonya langsung dijual, sehingga mereka hanya melakukan penjemuran saja. Sementara jika mereka melakukan proses fermentasi membutuhkan waktu yang cukup lama sekitar 4-5 hari,” jelasnya.
Mengenai hasil penjemuran, Aspan mengatakan, hasilnya tidak sebagus apabila biji kakao itu difermentasi. Sebab dengan dilakukan penjemuran biji kakao akan didapati jamur sehingga kualitasnya rendah. Sementara bila difermentasi, kualitasnya jauh lebih baik dan harganya juga lebih tinggi.
"Padahal kita telah melakukan penyuluhan kepada petani. Tetapi petani memang maunya yang mudah dan normatif saja. Jadi, kita mengimbau kepada petani jika ingin mendapatkan harga yang lebih tinggi pada biji kakaonya lakukanlah fermentasi," ujarnya.
Mengenai rencana standarisasi yang melarang peredaran pada biji kakao ditahun mendatang, Aspan beranggapan pelarangan peredaran biji kakao non fermentasi hanyalah untuk ekspor saja, sedangkan peredaran dalam negeri tetap diperbolehkan seperti biasa.
"Ya setahu saya kalau untuk ekspor rencananya ada pelarangan pada biji kakao non fermentasi, tetapi kalau untuk di dalam negeri tetap tidak ada permasalahan, boleh-boleh saja. Untuk ekspor kan memang harus yang berkualitas," sebutnya.(cw 02)/MB Sabtu, 27 Jul 2013 07:38 WIB
Padahal, lanjut Aspan, biji kakao yang telah difermentasi harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang hanya dijemur saja. “Yang jelas jika petani melakukan fermentasi pada biji kakaonya, harga jualnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hanya dijemur saja. Tetapi sayangnya petani kita tetap kurang meminati," ungkapnya.
Menurut Aspan, petani dalam memproduksi biji kakaonya tidak ingin direpotkan. Petani hanya ingin langsung menjualnya apabila tanaman telah panen."Petani kita maunya setelah panen biji kakaonya langsung dijual, sehingga mereka hanya melakukan penjemuran saja. Sementara jika mereka melakukan proses fermentasi membutuhkan waktu yang cukup lama sekitar 4-5 hari,” jelasnya.
Mengenai hasil penjemuran, Aspan mengatakan, hasilnya tidak sebagus apabila biji kakao itu difermentasi. Sebab dengan dilakukan penjemuran biji kakao akan didapati jamur sehingga kualitasnya rendah. Sementara bila difermentasi, kualitasnya jauh lebih baik dan harganya juga lebih tinggi.
"Padahal kita telah melakukan penyuluhan kepada petani. Tetapi petani memang maunya yang mudah dan normatif saja. Jadi, kita mengimbau kepada petani jika ingin mendapatkan harga yang lebih tinggi pada biji kakaonya lakukanlah fermentasi," ujarnya.
Mengenai rencana standarisasi yang melarang peredaran pada biji kakao ditahun mendatang, Aspan beranggapan pelarangan peredaran biji kakao non fermentasi hanyalah untuk ekspor saja, sedangkan peredaran dalam negeri tetap diperbolehkan seperti biasa.
"Ya setahu saya kalau untuk ekspor rencananya ada pelarangan pada biji kakao non fermentasi, tetapi kalau untuk di dalam negeri tetap tidak ada permasalahan, boleh-boleh saja. Untuk ekspor kan memang harus yang berkualitas," sebutnya.(cw 02)/MB Sabtu, 27 Jul 2013 07:38 WIB