KEBIJAKAN USAHA PERKEBUNAN
JAKARTA : Wacana kebijakan pembatasan kepemilikan lahan perkebunan
untuk perusahaan induk (holding company) mencederai semangat daerah
yang sedang gencar menggandeng investor untuk pembangunan.
Selain itu, kebijakan pembatasan ini juga dikhawatirkan akan merugikan
perusahaan yang sudah lama berkecimpung di bisnis perkebunan. Tentunya
masalah ini hanya menambah masalah ketidakpastian hukum dan mengganggu
iklim investasi di Indonesia.
Penegasan ini dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten/Kota
Seluruh Indonesia (Apkasi) Isran Noor, Ketua Asosiasi Petani Kelapa
Sawit-Perkebunan Inti Rakyat (Aspek-PIR) Setiono, Wakil Ketua Komisi IV
DPR Firman Subagyo serta Ketua Umum Forum Pengembangan Perkebunan
Strategis Berkelanjutan (FP2SB) Ahmad Manggabarani, secara terpisah, di
Jakarta, kemarin.
Menurut Ketua Umum Apkasi Isran Noor, wacana pembatasan lahan
perkebunan untuk perusahaan induk maksimal 100.000 hektare tergolong
mengada-ada. Padahal, pemerintah pusat dan daerah sedang gencar menarik
investasi dari swasta di berbagai sektor, sehingga bisa membangun
daerah.
"Bagi pemda, makin banyak investasi, maka makin membawa berkah bagi
rakyat. Jadi, apa yang salah kalau ada perusahaan yang mampu mengelola
lahan perkebunan atau usaha lainnya di atas 100.000 hektare. Dasar
peraturannya apa?," katanya.
Sementara itu, Ketua Aspek PIR Setiono menambahkan, realisasi investasi
bisa mengurangi pengangguran dan kemiskinan, namun di sisi lain juga
mendorong meningkatkan pertumbuhan ekonomi. "Saya pikir tidak ada
masalah perusahaan memiliki lahan di atas 100.000 hektare. Untuk itu,
rencana revisi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan harus lebih berpihak kepada
kepentingan rakyat banyak.
Sementara Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo mengatakan, jika
aturan pembatasan kepemilikan lahan perkebunan ini diberlakukan,
nantinya akan banyak menimbulkan permasalahan, terutama terkait dengan
perusahaan-perusahaan yang saat ini memiliki perkebunan di atas 100.000
hektare.
"Harus ada kepastian, apa hanya untuk izin baru atau yang sudah eksis.
Untuk yang sudah eksis, apakah dikembalikan ke negara atau seperti apa
lahannya nanti. Lalu bagaimana dengan investasi yang selama ini sudah
dikucurkan untuk usaha perkebunan," tuturnya.
Pada kesempatan ini, Ketua Umum FP2SB Ahmad Manggabarani mengatakan,
pembatasan kepemilikan lahan perkebunan untuk grup usaha atau perusahaan
induk maksimal 100.000 hektare pasti menimbulkan permasalahan, terutama
dalam pengaturan kembali usaha perkebunan.
"Bagaimana kegiatan pembangunan di wilayah baru, seperti Papua, bisa
dilakukan jika ada pembatasan tersebut. Padahal hanya perusahaan skala
besar atau induk yang bisa membangun perkebunan di daerah yang tidak
memiliki infrastruktur yang memadai," katanya. (Joko Sriyono)
(SK)