MEDAN- Industri kelapa sawit dan produk turunannya diyakini masih
akan terus berkembang. Namun, dari 7,5 juta hektare (ha) kebun sawit di
Indonesia, ketersediaan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) hanya 700 unit.
Idealnya, ada satu PKS untuk 7.500 ha. Di Sumut, dengan luas kebun sawit
1,2 juta ha, sedikitnya dibutuhkan 160 PKS.
Untuk itu, diperlukan inovasi teknologi dan kemampuan manajerial
untuk terus meningkatkan efisiensi industri dan menghasilkan
produk-produk turunan minyak sawit (CPO) dan minyak inti (PKO). Asisten
Ekonomi Pembangunan Provinsi Sumatera Utara (Provsu) Sabrina menegaskan,
industri kelapa sawit merupakan penopang pertumbuhan ekonomi yang utama
di Sumut dan Indonesia.
Mestinya, sumbangan kelapa sawit untuk perkembangan ekonomi Sumut dan
Indonesia bisa berlipat dibanding kondisi sekarang. Caranya, dengan
meningkatkan nilai ekonomi melalui pengurangan ekspor CPO dan PKO dan
memperbanyak industri untuk menghasilkan produk turunannya.
Sumut sebagai sentra utama penghasil kelapa sawit dan produk
olahannya masih sangat perlu menumbuhkan sektor hilir. Pasalnya, peran
sektor ini masih rendah.
“Produk turunan minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO) akan
memberikan nilai tambah cukup tinggi,” kata Sabrina saat membuka Palmex
Indonesia, pameran terbesar industri kelapa sawit di Indonesia dan
kawasan Asia Tenggara di Santika Premiere Dyanda Hotel dan Convention,
Selasa (10/10).
Sabrina yang didampingi Wali Kota Medan Rahudman berharap, Even
menjadi momentum bangkitnya industri kelapa sawit di Sumut. “Melalui
even ini, selain memberikan informasi tentang teknologi baru, bisa juga
mendorong pertumbuhan industri kelapa sawit,” harapnya.
Data Palmex memperlihatkan, saat ini jumlah pabrik sawit di Indonesia
hanya sekitar 700 unit dengan luas lahan 7,5 juta hektare (ha).
Kebanyakan pabrik kelapa sawit yang mengolah tandan buah segar (TBS)
menjadi minyak sawit (crude palm oil, CPO) dan minyak inti sawit (palm
kernel oil, PKO). Padahal, idealnya jumlah pabrik kelapa sawit minimal
1.000 unit dengan perkiraan setiap 7.500 ha lahan sawit harus terdapat
satu pabrik.
Sabrina mengatakan, pemerintah provinsi sedang mengupayakan mendorong
peningkatan industri sawit di daerah ini dengan membatasi pembukaan
lahan sawit baru namun memberikan rekomendasi terhadap perusahaan yang
ingin membangun industri hilir. “Kalau mau bangun industri hilir,
pemerintah sangat terbuka tapi jika cari lahan, kami tidak
merekomendasikan karena lahannya sudah tidak ada lagi,” ucapnya.
600 Ha di Seimangke untuk Industri Sawit
Selain itu, pemerintah provinsi juga terus mendorong percepatan
realisasi kawasan industri Seimangke yang disiapkan sebagai pusat
industrialisasi kelapa sawit. Saat ini sudah ada infrastruktur jalan,
industri oleochemical dengan tenaga listrik dari limbah kelapa sawit
sebesar 2×3,5 MW dan lainnya. Seluruhnya berdiri pada lahan seluas 140
ha. “Selanjutnya pada 2013 disiapkan lahan seluas 600 ha sebagai lokasi
pembangunan industri sawit lainnya. Master plan sudah siap, selanjutnya
tinggal pengerjaan sarana dan prasarana,” jelasnya.
Karenanya, dia berharap even ini bisa memberikan informasi jelas
mengenai perkembangan teknologi baru dan terbarukan kepada stakeholder
kelapa sawit untuk meningkatkan produksi turunan kelapa sawit.
“Peningkatan produksi tidak terlepas dari teknologi tinggi,” ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Gabungan Pengusaha Kepala Sawit (Gapki) Sumut Ir
Balaman Tarigan membeberkan, saat ini luas areal perkebunan kepala sawit
di Sumut mencapai 1,2 juta hektar.
Rinciannya 200 ribu hektar lahan perkebunan negara, 500 ribu lahan
perkebunan swasta dan 500 ribu lagi lahan perkebunan rakyat. Balaman
mengakui, saat ini pengusahaan industry sawit di Sumut umumnya masih
berkutat di pengolahan TBS menjadi CPO dan PKO.
“Kita kan tidak tahu bagaimana perkembangan teknologi di PKS saat
ini. Jika ada mesin yang canggih, dapat mengolah TBS dengan jumlah yang
besar dan bisa menghasilkan rendeman yang bagus. Ini kan sebuah
teknologi yang sedang ditunggu-tunggu,” sebut Balaman.
Intinya sebut Balaman inovasi-inovasi terutama dalam hal teknologi
pengolahan TBS serta produk turunannya masih sangat dibutuhkan semua
pihak. “Secara bisnis jika ada teknologi yang canggih bisa diterapkan
tentunya dapat mengurangi biaya pengolahan sehingga harga beli TBS pun
akan semakin membaik,” ujarnya.
Hal yang sama juga dikatakan Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit
Indonesia (Apkasindo) Anizar Simanjuntak. Menurut dia, teknologi di PKS
sangat dibutuhkan, terutama di kalangan petani kelapa sawit (kebun
rakyat).
“Ya kalau ada teknologi canggih dan ada investor yang mau menanamkan
modalnya untuk membangun PKS, tentunya kami akan terbantu dan harganya
akan bersaing,” sebut Anizar.
Dia menjelaskan selama ini petani-petani kelapa sawit menjual TBS nya ke
PKS swasta dan pemerintah. “Jadi kalau ada investor lain dengan
teknologi PKS yang lebih maju lagi kenapa tidak,” kata Anizar.
Saat ini saja rata-rata produksi TBS kebun rakyat 21 ton per hektar
per tahun, sementara kebun swasta dan pemerintah bisa mencapai 24 ton
per hektar per tahun. Dengan demikian kata Anizar produksi TBS masih
melimpah dan dibutuhkan teknologi yang canggih untuk mengolahnya.
Lalu, berapa jumlah PKS yang ada di Sumut? Ditanya begitu Anizar
menjawab tidak tahu persis. Tapi lanjut dia, berapakah itu pastilah
membutuhkan teknologi-teknologi yang canggih.
Industri Minyak Sawit Indonesia dan Dunia Pameran di Medan
Sementara itu, Direktur Utama Fireworks Indonesia selaku penyelenggara
Palmex Indonesia, Susan Tricia mengatakan prospek industri kelapa sawit
Indonesia yang diprediksi semakin cerah di masa mendatang. Itu pula alas
an pihaknya menggelar even tahunan ini kembali.
Melalui even ini diharapkan ada transformasi informasi teknologi yang
meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja pabrik kelapa sawit untuk
menambah produksi dalam waktu bersamaan serta ramah lingkungan.
“Sejumlah nama besar di industri minyak sawit di Indonesia maupun
mancanegara hadir memamerkan produk dan teknologi masing-masing kepada
stakeholder sawit khususnya. Jumlah perusahaan yang ikut ini ada 100
perusahaan, naik 25 persen dari tahun lalu,” katanya.
Selain jumlah perusahaan, transaksi penjualan juga meningkat terus.
Pada 2010 transaksi tercatat USD100 juta, kemudian pada 2011 naik
menjadi USD150 juta dan pada tahun ini ditargetkan bisa mencapai USD250
juta. “Even ini tepat bagi purchaser dan engineer untuk mengupdate
teknologi terbaru yang mampu meningkatkan kinerja serta menjalin
hubungan bisnis diantara pelaku industri sawit,” ucapnya.
Branch Manager Northern Sumatera Schneider Electric Indonesia, Wahyu
Permadi menilai even ini penting untuk memamerkan teknologi-teknologi
terbaru produk yang dihasilkan perusahaan ini. “Tahun ini merupakan
tahun kedua kami berpartisipasi pada even ini. Kami berharap industri
sawit dapat memaksimalkan produksi menggunakan solusi dan sistem
automasi dari Schneider Electric,” katanya.
Schneider Electric bergerak dalam pengelolaan energi dengan
menghadirkan solusi HMI, VSD dan sistem automasi. Solusi tersebut
memberikan perlindungan terhadap mesin motor dan membantu mempermudah
sistem kerja sehingga tercipta efisiensi dan efektifitas untuk produksi
maksimal.
Diakuinya, untuk saat ini belum banyak pengusaha yang memiliki
industri pengolahan sawit dan produk turunannya yang baik karena alat
teknologinya terus berkembang. “Teknologi (pengolahan) sawit juga tahan
lama. Jadi tidak semua dalam jangka waktu tertentu mereka dapat
melakukan transformasi alat teknologi,” ungkapnya. (ram/dra)