Perusahaan perkebunan karet terancam bangkrut akibat harga jual karet
 di pasaran semakin mengalami penurunan dikarenakan permintaan yang 
rendah.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet 
Indonesia (Gapkindo) Sumut, Edy Irwansyah, bahwa perusahaan perkebunan 
karet di tingkat harga  kini merugi karena harga jual sudah di bawah 
harga modal.
"Memang saat ini harga karet kering per kilogram kurang dari 
Rp18.000, sedangkan harga modal perusahaan justru mencapai angka 
Rp19.000 per kilogram," ungkapnya kepada Analisa di Medan, Jumat (11/7).
Dijelaskannya, jika keadaan ini semakin berkepanjangan, maka 
perkebunan terancam bangkrut. Apalagi, sejak medio tahun lalu, harga 
karet di pasar internasional terus tertekan karena dampak krisis global 
yang masih terasa di belahan bumi Amerika dan Eropa.
Bahkan, dua kawasan itu merupakan pangsa pasar karet terbesar ditambah Jepang dan Tiongkok dari kawasan Asia.
"Hingga kini, harga karet belum mampu menyentuh angka psikologis 
sebesar US$2,5 per kilogram yang dapat membawa untung bagi petani maupun
 pengusaha," jelasnya.
Lebih lanjut, harga karet justru terus anjlok dan hanya bermain 
dikisaran harga US$1,6 hingga US$1,9 per kilogram. Hal itu akan membuat 
produsen karet di Sumut terpaksa memangkas produksi guna menggenjot 
harga karet di pasar dunia. Namun, langkah itu belum sepenuhnya berhasil
 mendongkrak harga karena kenyataannya harga karet dunia semakin anjlok.
Berhenti Menyadap
Apabila dilihat dari perkebunan karet rakyat, saat ini banyak petani 
yang berhenti menyadap pohon karet karena penghasilan per harinya tak 
lagi dapat menutupi kehidupan sehari-hari. Keadaan itu mengakibatkan 
produksi karet semakin merosot.
Edy mengatakan, ketika produksi dan ekspor menurun, permintaan dari 
negara konsumen utama juga mengalami penurunan. Bahkan, volume ekspor 
karet Sumut di Mei 2014 mengalami penurunan sebesar 6,1 persen (year on 
year). Permintaan yang melemah itu dari Jepang, Tiongkok, dan Amerika 
Serikat dan mengakibatkan harga pasar di internasional juga tertekan.
"Keadaan itu membawa dampak negatif terhadap perkembangan ekspor serta pendapatan dari karet," katanya.
Dia menambahkan, perusahaan perkebunan yang merugi dan berkurangnya 
produksi karet rakyat mengancam keberlangsungan industri pengolahan 
karet Sumut yang kini mengalami defisit bahan baku sekitar 50 persen 
dari kapasitas pabrik.
"Menurunnya kapasitas produksi petani dan perusahaan karet, maka stok
 bahan baku untuk industri pengolahan otomatis berkurang. Apalagi dengan
 bahan baku yang berkurang hingga 50 persen itu, kapasitas produksi 
industri pengolahan menjadi tertekan dan mengancam terjadinya kelangkaan
 produk-produk karet dari pasaran. (ik) 
Hr (Analisa)

 sudah lihat yang ini (klik aja)?
 sudah lihat yang ini (klik aja)? 
 
 
 
 
No comments:
Post a Comment