“Pemerintah akan membatasi luas areal maksimum per perusahaan sebesar 100.000 hektare untuk komoditas selain tebu. Diharapkan revisi Permentan tersebut juga menetapkan soal kepemilikan asing dan keterlibatan petani di dalamnya baik di kebun maupun pabrik kelapa sawit (PKS),”
SEKRETARIS Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Mukti Sarjono menjelaskan bahwa sebesar 80% perkebunan adalah milik rakyat. Paling besar di Provinsi Kalimantan dan Aceh yang dimiliki oleh pihak asing.
“Luas lahan perkebunan 20 juta hektar, tapi 80% milik perkebunan rakyat,” ujar Mukti dalam Bedah Buku Indonesia dan Perkebunan Kelapa Sawit terhadap isu Lingkungan Global yang diselenggarakan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) di Jakarta, akhir pekan kemarin.
Ia menjelaskan bahwa di perkebunan kelapa sawit, Indonesia memiliki sekitar 9 juta hektar. Milik rakyat ada sekitar 4 juta hektar. Meskipun demikian, Indonesia masih terkendala pembibitan sehingga mempengaruhi produktifitas kelapa sawit.
“Masalah adalah produktifitas perkebunan. Karena bibit tidak menggunakan bibit unggul. Infrastruktur mempengaruhi dan cara bercocok tanam mempengaruhi,” katanya.
Produksi Sawit untuk tahun ini diperkirakan mencapai 28 juta ton dengan konsumsi sebesar 9,2 juta ton maka sisa 19 juta ton akan diekspor ke berbagai negara terutama India, China dan Uni Eropa.
Jika perkebunan sebagian besar dimiliki oleh rakyat, namun tidak bagi Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Ketua Apkasindo Anizar Simanjuntak menilai lahan sawit yang ada di Indonesia telah didominasi oleh pihak asing. Di satu sisi, pengelolaan lahan menjadi lebih profesional namun di sisi lain lahan yang dimiliki asing diperjualbelikan di bawah tangan.
Atas dasar itu, ia meminta pemerintah membatasi kepemilikan lahan sawit oleh pihak asing.
“Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, kepemilikan lahan sawit oleh pihak asing meningkat 20%. Saat ini, kepemilikan lahan sawit asing sudah mencapai 40% dari total lahan sawit nasional,” kata Anizar.
Pemerintah, menurut Anizar, harus membatasi kepemilikan lahan sawit oleh pihak asing dan pembatasan tersebut dapat dimasukkan dalam revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007.
“Kepemilikan lahan sawit oleh asing yang terbesar di Kalimantan dan Aceh diharapkan dapat ditekan dengan adanya revisi aturan tersebut,” ucapnya lagi.
“Banyaknya kepemilikan asing di dua provinsi tersebut karena masih banyaknya lahan sehingga lebih memudahkan untuk pengembangan sawit. Di Sumatera Utara dan Riau, kepemilikan asing dilakukan dengan membeli perusahaan yang sudah jadi,” paparnya.
Kepemilkan asing, lanjut Anizar, semakin membahayakan karena banyak yang diperjualbelikan di bawah tangan, nama perusahaan masih menggunakan pemilik nama lama atau swasta nasional tetapi manajemen sudah asing.
“Kami berharap dalam revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 tahun 2007 diatur soal kepemilikan lahan sawit oleh pihak asing. Peraturan tersebut sangat penting karena dalam revisi Permentan ada yang mengatur pembatasan kepemilikan luas kebun sawit untuk holding company atau perusahaan induk,” ujarnya.
Anizar menambahkan, Kementerian Pertanian (Kementan) akan membatasi lahan perkebunan milik holding perusahaan besar melalui revisi Permentan No 26 tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
“Pemerintah akan membatasi luas areal maksimum per perusahaan sebesar 100.000 hektare untuk komoditas selain tebu. Diharapkan revisi Permentan tersebut juga menetapkan soal kepemilikan asing dan keterlibatan petani di dalamnya baik di kebun maupun pabrik kelapa sawit (PKS),” ucapnya.(acehterkini/neraca)