Medan. Buruh/pekerja Sumatera Utara 
(Sumut) yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia 
(KSPI) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menegaskan, 
pemerintah tidak seharusnya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) 
saat tingkat korupsi dan pemborosan APBN masih terus berlangsung. 
        Jika pemerintah tetap menaikkan BBM, 
masyarakat terutama kelas menengah ke bawah akan semakin tertekan dan 
tidak mampu menutupi kenaikan biaya hidup. 
"Pemerintah harus 
tetap komit terhadap subsidi selama kesejahteraan rakyat belum tercapai 
di mana upah pekerja masih rendah dan masih puluhan juta rakyat hidup di
 bawah garis kemiskinan. Jadi, kenaikan BBM ini hanya akan semakin 
"memiskinkan" masyarakat miskin," kata Ketua KSPI-FSPMI Sumut, Minggu 
Saragih, Rabu (15/5) di Medan.
Sebelumnya, Menteri PPN/Kepala 
Bappenas Armida Alishjabana, mengungkapkan, pemerintah akan menaikkan 
harga BBM subsidi jenis premium sebesar Rp 2.000 menjadi Rp 6.500 per 
liter dan solar menjadi Rp 5.500 dari sebelumnya Rp 4.500 per liter. 
Rencananya, kenaikan BBM ini mulai berlaku pada Juni mendatang.
Dikatakan
 Minggu, dampak kenaikan BBM akan membuat harga barang atau jasa lainnya
 semakin mahal. Sebab, kebutuhan BBM sudah menyentuh semua aspek 
kehidupan. 
Buruh/pekerja juga menyatakan, rencana kenaikan harga
 BBM menjelang Idul Fitri sebagai ketidakpekaan kebijakan dari 
pemerintah. "Seharusnya kalau mau dinaikkan pada saat tahun lalu atau 
Maret kemarin, dimana besaran inflasi sedang rendah,” ungkap Minggu.
Kenaikan
 harga BBM yang disertai dengan peningkatan harga barang, berimplikasi 
terhadap menurunnya daya beli masyarakat. Kenaikan harga BBM subsidi 
juga membuat perjuangan buruh/pekerja terkait peningkatan UMP menjadi 
sia-sia. ”Kenaikan UMP kemarin menjadi tak berarti karena uang lebih 
yang didapat oleh buruh, akan setara dengan kenaikan harga barang," 
katanya.
Dia menegaskan, kenaikan UMP/UMK, tidak akan menaikan 
daya beli pekerja karena kenaikan harga BBM. Artinya, upah ril buruh 
sebenarnya memang tidak ada kenaikan bila pemerintah tetap menaikkan 
BBM. Sedangkan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) senilai Rp 
150.000, tidak dapat dijadikan solusi. Bahkan itu adalah bentuk 
pembodohan dan tidak mendidik bagi rakyat dan hanya menjadikan rakyat 
lebih konsumtif. 
Dia mengungkapkan, Indonesia menjadi negara 
penting di G20 dengan pertumbuhan ekonomi ke-2 di dunia setelah China. 
Sedangkan GDP-nya nomor 16 di dunia (US$ 800 miliar) dan invesmentgrade 
AAA min, dan rating hutang turun. Sementara sumber alam Indonesia 
seperti minyak, gas, emas, pangan, hutan, dan lainnya ada dan bahkan 
berlimpah.
Namun kondisi tersebut, kata Minggu, sangat bertolak 
belakang dengan kondisi buruh/pekerja dimana tata-rata upah minimum 
nasional tahun 2012 hanya US$ 120 perbulan. Upah buruh di Indonesia 
nomor 69 dari 169 negara. Di Jakarta ibukota Indonesia, pada 2012 upah 
buruhnya US $ 160 per bulan, dengan perkiraan ongkos transportasi dan 
sewa rumah US$ 90, sisanya US$ 70 per bulan untuk biaya makan, biaya 
pendidikan, beli baju dan lain-lain.
"Hal tersebut irasional. 
Untuk menutupi biaya hidup, buruh mencari tambahan dengan jadi tukang 
ojek, bahkan ada buruh perempuan yang menjual kue setelah pulang kerja. 
Makanya kita dengan tegas menolak kenaikan harga BBM subsidi," kata 
Minggu.
Sementara dampak terhadap dunia usaha, akan terimbas juga
 karena kenaikan harga transportasi hingga beban biaya kian membengkak. 
"Buruh juga terancam menjadi pengangguran karena kenaikan harga BBM 
bersubsidi akan membuat biaya produksi usaha bertambah. Hal ini membuat 
pengusaha mengurangi beban usaha diantaranya dengan PHK,” ucapnya.
Semua
 rencana ini, kata Minggu, akan membuat gerak ekonomi terganggu. Jika 
pemerintah ingin menurunkan beban subsidi, sebaiknya menggunakan cara 
konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG). Pemerintah sebaiknya konsentrasi 
pada pengembangan infrastruktur gas yang mana komoditas ini masih 
melimpah di bumi Indonesia. (elvidaris simamora)/MB

 sudah lihat yang ini (klik aja)?
 sudah lihat yang ini (klik aja)? 
 
 
 
