Jakarta. Sampai saat ini, produk kelapa sawit Indonesia masih dikecam oleh negara mau seperti Eropa dan Amerika Serikat (AS) karena alasan perkebunan sawit yang tak ramah lingkungan. Pemerintah Indonesia tak terima.
"Akhir-akhir ini negara maju seperti Amerika bersikap seperti tidak
mulia dengan adanya agenda-agenda sangat lekat kepada kepentingan mereka
(negara maju). Ada kata-kata human rights (hak asasi manusia) dan
kenapa produk kelapa sawit tetap dinilai tidak ramah lingkungan," kata
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan saat memberikan sambutan di acara
pelepasan alumni Magister dan Doktor IPB di Hotel Grand Hyatt Jakarta,
Sabtu (18/5).
Alasan kelapa sawit tidak masuk dalam produk ramah lingkungan oleh negara-negara maju adalah karena penyerapan karbon yang cukup rendah. Padahal menurut Gita, pernyataan ini tidak benar dan akal-akalan negara maju.
"Mereka hanya mengatakan kelapa sawit hanya bisa mereduksi karbon di tahun 2020 hanya 17%, di bawah 20%. Memang penelitian empiris penting dan harus dilakukan bahwa sawit bisa mereduksi karbon hingga 30%. Yang tidak logis lagi adalah Amerika mengatakan produk ini tidak ramah lingkungan," katanya.
Gita sendiri sempat berdebat dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat kala itu adalah Hillary Clinton. Sampai akhirnya pihak AS mengirimkan tim, namun sampai saat ini tidak ada kejelasan nasib produk kelapa sawit Indonesia.
"Saya sampai berdebat dengan Hillary Clinton, hingga mereka mengirimkan tim dan mendapatkan laporan yang berbeda. Namun ini tidak dilanjuti karena keterbatasan anggaran pada saat Presiden Obama berkuasa saat itu, dan EPA (Environmental Protection Agency) tidak ada pemimpin. Karena kejadian ini sehingga tidak ada penegasan. Di WTO saya angkat dan saya nggak peduli ini harus ada pendelegasian. Jika tidak petani sawit kita yang menderita kerugian," jelasnya. (dtf)MB
Alasan kelapa sawit tidak masuk dalam produk ramah lingkungan oleh negara-negara maju adalah karena penyerapan karbon yang cukup rendah. Padahal menurut Gita, pernyataan ini tidak benar dan akal-akalan negara maju.
"Mereka hanya mengatakan kelapa sawit hanya bisa mereduksi karbon di tahun 2020 hanya 17%, di bawah 20%. Memang penelitian empiris penting dan harus dilakukan bahwa sawit bisa mereduksi karbon hingga 30%. Yang tidak logis lagi adalah Amerika mengatakan produk ini tidak ramah lingkungan," katanya.
Gita sendiri sempat berdebat dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat kala itu adalah Hillary Clinton. Sampai akhirnya pihak AS mengirimkan tim, namun sampai saat ini tidak ada kejelasan nasib produk kelapa sawit Indonesia.
"Saya sampai berdebat dengan Hillary Clinton, hingga mereka mengirimkan tim dan mendapatkan laporan yang berbeda. Namun ini tidak dilanjuti karena keterbatasan anggaran pada saat Presiden Obama berkuasa saat itu, dan EPA (Environmental Protection Agency) tidak ada pemimpin. Karena kejadian ini sehingga tidak ada penegasan. Di WTO saya angkat dan saya nggak peduli ini harus ada pendelegasian. Jika tidak petani sawit kita yang menderita kerugian," jelasnya. (dtf)MB