Perubahan Struktur EPA di Amerika Serikat Membuat Ketidakpastian Mengenai Sawit Indonesia
JAKARTA: Menteri Perdagangan Gita
Wirjawan mengatakan perubahan struktur Badan Perlindungan Lingkungan
(EPA) Amerika Serikat yang melakukan peninjauan kembali status produk
kelapa sawit Indonesia, mengakibatkan tidak adanya penegasan mengenai
status produk tersebut."Setelah dinyatakan tidak memenuhi
standar ramah lingkungan, saya protes, dan EPA mengirimkan tim ke
Indonesia kemudian mendapatkan laporan yang berbeda, namun hal ini tidak
dilanjuti karena terjadi perubahan struktur organisasi setelah itu,"
kata Gita di Jakarta, Sabtu 18 Mei 2013.
Seharusnya, menurut Gita pada Pelepasan Alumni Magister dan Doktor Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB), EPA yang melakukan struktur perubahan organisasi, menunjuk delegasi khusus karena hal ini menyangkut kepentingan negara lain.
"Saya katakan, tidak bisa masalah internal mereka mengganggu kepentingan negara-negara lain," ucapnya.
EPA pada 27 Januari 2012 merilis "Notice of Data Availability Environmental Protection Agency" (NODA), yang menyebutkan bahwa kelapa sawit hanya mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 17 persen.
"Dari hasil itu kelapa sawit hanya bisa mereduksi karbon di tahun 2020 sebesar 17%, di bawah 20%. Penelitian empiris harus ada bahwa sawit bisa mereduksi karbon hingga 30%," katanya.
Gita mengaku sudah secara tegas menyatakan kepada Amerika Serikat bahwa produk kelapa sawit ini termasuk kategori ramah lingkungan dengan daya reduksi karbon yang sesuai standar, ditambah dengan penerapan teknologi untuk asumsi beberapa tahun mendatang.
Mendag mengatakan pemerintah akan terus mengemukakan isu ini di forum internasional, di antaranya pada pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Desember 2013.
Dengan tidak masuknya produk kelapa sawit ke dalam produk yang ramah lingkungan, komoditi andalan Indonesia ini gagal mendapatkan keringanan tarif hingga lima persen. Produk kelapa sawit Indonesia juga dikhawatirkan kurang kompetitif secara global dan dikhawatirkan ekspornya menurun.(ant)
Seharusnya, menurut Gita pada Pelepasan Alumni Magister dan Doktor Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB), EPA yang melakukan struktur perubahan organisasi, menunjuk delegasi khusus karena hal ini menyangkut kepentingan negara lain.
"Saya katakan, tidak bisa masalah internal mereka mengganggu kepentingan negara-negara lain," ucapnya.
EPA pada 27 Januari 2012 merilis "Notice of Data Availability Environmental Protection Agency" (NODA), yang menyebutkan bahwa kelapa sawit hanya mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 17 persen.
"Dari hasil itu kelapa sawit hanya bisa mereduksi karbon di tahun 2020 sebesar 17%, di bawah 20%. Penelitian empiris harus ada bahwa sawit bisa mereduksi karbon hingga 30%," katanya.
Gita mengaku sudah secara tegas menyatakan kepada Amerika Serikat bahwa produk kelapa sawit ini termasuk kategori ramah lingkungan dengan daya reduksi karbon yang sesuai standar, ditambah dengan penerapan teknologi untuk asumsi beberapa tahun mendatang.
Mendag mengatakan pemerintah akan terus mengemukakan isu ini di forum internasional, di antaranya pada pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Desember 2013.
Dengan tidak masuknya produk kelapa sawit ke dalam produk yang ramah lingkungan, komoditi andalan Indonesia ini gagal mendapatkan keringanan tarif hingga lima persen. Produk kelapa sawit Indonesia juga dikhawatirkan kurang kompetitif secara global dan dikhawatirkan ekspornya menurun.(ant)