Dengan kehadiran presiden dalam
konferensi tahunan yang dilaksanakan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (Gapki) ini, para pelaku usaha hulu kelapa sawit
berharap bisa semakin erat bekerjasama dengan seluruh pemangku
kepentingan dalam rangka membangun industri kelapa sawit yang
berkelanjutan (sustainable palm oil).
Produk minyak kelapa sawit dan turunannya tetap memiliki prospek yang baik di pasar domestik maupun internasional, mengingat pertumbuhan permintaan di beberapa negara akibat pertumbuhan penduduk, khususnya di China dan India. Di Indonesia sendiri, pada tahun 2030 nanti akan ada 135 juta kelas menengah (consuming class) baru yang membutuhkan peningkatan konsumsi pangan maupun energi.
Oleh karena itu, industri kelapa sawit Indonesia perlu berbenah diri, dan dalam waktu 5-10 tahun mendatang harus mampu menjadi industri sawit yang berjaya, strong, sustainable and competitive. Demikian inti pernyataan yang disampaikan oleh Presiden SBY pada pembukaan “9th IPOC and 2014 Price Outlook” yang dihadiri oleh lebih 1.350 peserta dari 30 negara.
Indonesia, dan khususnya industri kelapa sawit masih menghadapi dampak dari krisis ekonomi global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi di China dan India, dua negara konsumen terbesar produk minyak kelapa sawit Indonesia.
Walaupun, industri kelapa sawit Indonesia tetap membukukan surplus neraca perdagangan yang sangat membantu mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia yang sudah berlangsung tujuh bulan berturutturut. Sebagai gambaran, tahun 2012 industri kelapa sawit menyumbang surplus USD22 miliar. Dalam tahun 2013 hingga Oktober, nilai ekspor minyak kelapa sawit dan turunannya telah mencapai sekitar USD15 miliar.
Dalam rangka mencapai industri kelapa sawit yang berjaya-strong, sustainable, dan competitive, Presiden SBY mengidentifikasi beberapa masalah yang dihadapi dan harus diselesaikan bersama dalam waktu singkat. Presiden SBY memformulasikannya sebagai “3 plus 1 isu kelapa sawit”.
Yang pertama, adalah harga minyak kelapa sawit yang fluktuatif dan cenderung tidak bisa dikendalikan. Solusi yang ditawarkan Presiden adalah memperkuat pasar domestik dengan meningkatkan serapan dalam negeri khususnya biofuels sebagai bagian dari program Bahan Bakar Nabati Nasional (BBN). Sebagaimana diketahui bahwa minyak kelapa sawit merupakan sumber bahan baku biodiesel yang sangat efisien karena produktifitasnya yang tinggi, sekitar 5 ton per ha per tahun.
Jauh lebih produktif dibanding minyak kedele (0,4 ton per ha per tahun), minyak bunga matahari (0,6 ton per ha per tahun) maupun minyak rapeseed (0,8 ton per ha per tahun). Konsumsi solar dalam negeri diperkirakan 35 juta kiloliter per tahun, yang jika kewajiban pencampuran 20 persen dengan biodiesel bisa dijalankan maka kurang lebih 5 juta ton minyak kelapa sawit bisa diserap sebagai tambahan serapan pasar domestik, di luar kebutuhan minyak goreng yang berkisar 6 juta ton dan kebutuhan untuk oleochemical.
Artinya, dengan pasar domestik sebesar 12 juta ton dalam waktu dekat ini, akan mengurangi ketergantungan pada pasar global yang cenderung fluktuatif. Di samping itu, Presiden mendorong untuk terus dilakukan kerjasama dengan Malaysia sebagai sesama produsen terbesar minyak kelapa sawit.
Dengan penguasaan pangsa pasar 85 persen minyak kelapa sawit global harusnya Indonesia dan Malaysia memiliki posisi tawar yang kuat dalam mempengaruhi harga. Sejalan dengan rencana mewujudkan Asean Economic Community 2015, harusnya sektor industri kelapa sawit menjadi kekuatan terbesar dari kawasan Asean ini.
Yang kedua, adalah masalah hambatan perdagangan (trade barrier), Presiden menekankan perlunya dilakukan negosiasi dan diplomasi yang ‘tough’ dengan negara pembeli. Kalau perlu, mengatasi perang dagang di sektor industri minyak nabati inikita harus berani ‘balas membalas’. Forum-forum international perlu dimanfaatkan untuk melakukan negosiasi atas kepentingan ekonomi Indonesia, misalnya APEC, G 20, maupun forum WTO. Yang ketiga, adalah masalah lingkungan.
Presiden menegaskan perlunya pelaku industri kelapa sawit benar-benar memedomani dan melakukan praktik terbaik (best practices) pengelolaan prinsip-prinsip keberlanjutan. Mengingat Indonesia sudah menetapkan regulasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), maka pada tahun 2014 semua perusahaan perkebunan sudah harus sertifikasi ISPO. Dalam menghadapi masalah lingkungan ini, Presiden SBY menganjurkan agar baik pemerintah maupun pengusaha menjadikan LSM sebagai mitra.
Media massa, baik cetak maupun elektronik juga diharapkan berperan, dan pemerintah maupun pengusaha dapat memanfaatkan media untuk melakukan pembangunan opini. Yang ‘plus 1’ adalah masalah sosial. Presiden SBY meminta agar perusahaan perkebunan mampu mencegah konflik sosial. Cara yang paling baik dalam mencegah konflik adalah melibatkan masyarakat dalam proses pengelolaan usaha perkebunan, dalam bentuk kemitraan lokal maupun pembangunan kebun plasma.
Konsep pembangunan kebun plasma, jika direncanakan, dikelola dan diawasi dengan baik, akan merupakan bentuk program CSR (corporate social responsibility) yang sangat baik, karena seharusnya perusahaan tidak saja membangun kebunnya tapi juga harus membangun manusianya, melalui pelatihan dan pendampingan yang memadai. Inilah yang disebut Presiden sebagai pembangunan inklusif, pembangunan yang harus berorientasi membangun modal social dimana perusahaan beroperasi.
Menyelesaikan ‘3 plus 1’ masalah sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Presiden mengajak untuk melakukannya dengan pembagian tugas dan tanggung jawab yang disebut dengan “kontrak tanggung jawab”. Yang pertama Pemerintah, bertanggung jawab untuk membuat UU, kebijakan dan peraturan yang baik.
Peraturan yang baik, tentunya adalah yang sinergis satu dengan lainnya dan tidak bersifat kontraproduktif bagi pelaksanaan investasi. Pemerintah juga harus menjamin perijinan yang mudah, menciptakan iklim investasi yang kondusif dan menjamin adanya kepastian hukum. Infrastruktur juga menjadi tanggung jawab Pemerintah, walaupun Pemerintah akan mengajak swasta untuk berpartisipasi mengingat anggaran yang besar.
Melalui MP3EI (Masterplan untuk Percepatan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia), Pemerintah dalam waktu dua tahun ini sudah membelanjakan sekitar Rp 737 triliun, dimana sebesar Rp 235 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Yang kedua, sektor usaha. Sektor usaha bertanggung jawab untuk meningkatkan produktifitas dan daya saing.
Untuk itu sektor usaha harus mau membangun riset dan pengembangan, tidak menggantungkan diri pada Pemerintah. Presiden SBY juga meminta agar pelaku industri kelapa sawit masuk dan mengembangkan industri hilir, termasuk sektor energi khususnya bahan bakar nabati (biofuels). Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat rantai industri dari hulu hingga ke hilir dan memaksimalkan nilai tambah di dalam negeri.
Yang ketiga, masyarakat sipil (civil society) dan media massa juga dibebani tanggung jawab. Masyarakat sipil dan LSM silahkan mengkritisi apa yang dilakukan pemerintah maupun swasta, namun di lain pihak masyarakat sipil dan LSM harus membantu menjelaskan kepada pihak lain (misalnya luar negeri) bahwa banyak perusahaan telah melakukan perubahan dan perbaikan yang signifikan.
Media massa mempunyai peran sangat penting dalam mengedukasi dan membangun opini publik. Justru, media massa nasional seharusnya mampu menyaring berita-berita dari media global sebelum dijadikan berita bagi konsumsi dalam negeri. Inilah saatnya, media massa sebagai salah satu pilar pembangunan Indonesia dituntut membantu memperjuangkan kepentingan nasional.
Inilah yang diusulkan kepada industri kelapa sawit, yang intinya adalah sangat pentingnya kerja sama antar pemangku kepentingan, sinergi kebijakan dan regulasi, baik antar sektor maupun antara pusat dan daerah. Masalahnya ada di kita, di dalam negeri, seyogyanya diselesaikan oleh kita semua, di dalam negeri.
JOKO SUPRIYONO
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
(Koran SINDO//wdi)
http://economy.okezone.com/read/2013/12/10/279/909927/sby-dan-solusi-industri-sawit