Oleh: Gary Paoli
KOMPAS.com - Industri kelapa sawit Indonesia sedang mengalami perubahan yang mendasar dalam pandangannya terhadap konsep keberlanjutan, yang tadinya dianggap biaya tambahan menjadi sumber inovasi dan bernilai untuk citra perusahaan. Untuk mempercepat dan memperluas transformasi ini, beberapa halangan dan hambatan perlu diatasi.
Kampanye di tingkat
nasional dan internasional menciptakan tuntutan yang luar biasa bagi
produsen kelapa sawit untuk menangani dampak sosial dan lingkungan yang
sering menimbulkan konflik antara perusahaan, komunitas setempat, dan
masyarakat luas. Perusahaan merespon tuntutan ini, seperti terlihat dari
semakin banyaknya pelaku usaha yang menjadikan mitigasi dampak sebagai
inti strategi investasi dan perencanaan operasional mereka. Sebagian
inovasi ini disoroti dalam studi Daemeter Consulting berjudul Praktik
Pengelolaan Terbaik di Industri Kelapa Sawit Indonesia: Studi Kasus dan
topik ini akan dibahas di Forests Asia Summit 2014 yang diadakan tanggal
5-6 Mei di Hotel Shangri-La di Jakarta.
Ada beberapa hambatan besar yang harus diatasi untuk meningkatkan penerapan praktik-praktik ini di seluruh industri.
Hambatan pertama adalah lambatnya laju informasi mengenai praktik-praktik inovatif di sektor ini, yang menciptakan kesenjangan di antara pihak-pihak yang memiliki sumber daya untuk berinovasi dan perusahaan-perusahaan lain. Hambatan ini muncul karena adanya kompetisi di dunia usaha dan keengganan perusahaan untuk menggembar-gemborkan kesuksesan karena takut dijadikan target oleh pihak-pihak lain. Jaringan pembelajaran yang terstruktur baik yang dapat mempercepat penyebaran informasi di semua tingkat pelaku industri sangat diperlukan untuk menjembatani kesenjangan ini.
Tantangan terkait lainnya adalah kurangnya sumber daya manusia untuk menerapkan praktik-praktik baru di perkebunan karena perusahaan sulit menarik dan mempertahankan pegawai dengan keahlian yang diperlukan. Diperlukan upaya bersama untuk melatih kembali staf yang ada dan mendidik tenaga kerja baru dengan keahlian pengelolaan lingkungan dan pelibatan masyarakat. Pusat pelatihan keberlanjutan, seperti Cargill Tropical Palm Learning Academy di Kalimantan Barat, mulai berkembang dan perlu diperluas lagi dengan dukungan dari semua pemangku kepentingan.
Halangan lain adalah bagaimana perusahaan kelapa sawit di Indonesia memiliki kebebasan untuk mendefinisikan visi keberlanjutan mereka dan cara mencapainya. Hal ini merupakan tantangan ketika pemimpin perusahaan hanya menjadikan aturan hukum sebagai target keberlanjutan, namun bisa menjadi kesempatan untuk membentuk kebijakan dengan mempengaruhi sejumlah kecil orang di tampuk kepemimpinan. Jika para pembuat keputusan dapat diyakinkan bahwa diperlukan lebih banyak upaya untuk memenuhi tuntutan publik terkait isu keberlanjutan daripada sekedar memenuhi aturan hukum, maka pintu menuju target yang cukup ambisius akan terbuka. Para pemangku kepentingan perlu mengembangkan program-program untuk memberanikan para pimpinan perusahaan untuk mengadopsi keberlanjutan sebagai prinsip utama dan membuat perubahan di operasi mereka.
Halangan ketiga terkait dengan tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam menjaga keseimbangan antara peran mereka sebagai pembuat aturan di satu sisi dan pendorong pembangunan dan pendapatan pajak di sisi lain. Dalam kondisi seperti ini, pelaku usaha yang buruk mungkin akan ditoleransi karena membawa investasi, sementara pelaku yang bertanggung jawab menghadapi kesulitan memenuhi komitmen keberlanjutan yang dipandang menghambat pertumbuhan, seperti menyisihkan hutan untuk konservasi dan tidak membukanya menjadi perkebunan.
Tantangan tata kelola semacam ini di daerah perlu ditangani sebelum inovasi konservasi dapat ditingkatkan dengan signifikan. Pendekatan berdasarkan daerah yurisdiksi, dan bukan melalui perusahaan semata, berpotensi menjadi solusi, tetapi hanya akan berhasil jika pemerintah daerah mendapatkan insentif yang tepat untuk mendukung keberlanjutan.
Hambatan terakhir yang merupakan penghalang utama transformasi industri secara keseluruhan adalah peraturan dan rencana tata ruang yang bertentangan yang sangat membatasi pengembangan kelapa sawit di lahan kritis. Banyak lahan rendah karbon tersebar di Indonesia, tetapi sebagian besar tidak dapat dikembangkan sebagai perkebunan kelapa sawit karena terhambat batasan rencana tata ruang. Peraturan yang berlaku saat ini juga sangat menyulitkan perusahaan untuk mempertahankan wewenang mereka di lahan-lahan yang tidak dikembangkan dalam wilayah ijin mereka, walaupun lahan-lahan tersebut sengaja disisihkan untuk mengurangi deforestasi dan melindungi habitat penting. Peraturan semacam ini diakui sebagai hambatan besar pengembangan kelapa sawit berdampak rendah oleh banyak pihak, bahkan dalam pemerintah, dan perlu menjadi prioritas untuk direformasi.
Gary Paoli adalah Direktur Penelitian dan Pengembangan Usaha di Daemeter Consulting, yang menjadi mitra pendukung Forests Asia Summit 2014 yang diadakan pada tanggal 5-6 Mei di Jakarta.
Ada beberapa hambatan besar yang harus diatasi untuk meningkatkan penerapan praktik-praktik ini di seluruh industri.
Hambatan pertama adalah lambatnya laju informasi mengenai praktik-praktik inovatif di sektor ini, yang menciptakan kesenjangan di antara pihak-pihak yang memiliki sumber daya untuk berinovasi dan perusahaan-perusahaan lain. Hambatan ini muncul karena adanya kompetisi di dunia usaha dan keengganan perusahaan untuk menggembar-gemborkan kesuksesan karena takut dijadikan target oleh pihak-pihak lain. Jaringan pembelajaran yang terstruktur baik yang dapat mempercepat penyebaran informasi di semua tingkat pelaku industri sangat diperlukan untuk menjembatani kesenjangan ini.
Tantangan terkait lainnya adalah kurangnya sumber daya manusia untuk menerapkan praktik-praktik baru di perkebunan karena perusahaan sulit menarik dan mempertahankan pegawai dengan keahlian yang diperlukan. Diperlukan upaya bersama untuk melatih kembali staf yang ada dan mendidik tenaga kerja baru dengan keahlian pengelolaan lingkungan dan pelibatan masyarakat. Pusat pelatihan keberlanjutan, seperti Cargill Tropical Palm Learning Academy di Kalimantan Barat, mulai berkembang dan perlu diperluas lagi dengan dukungan dari semua pemangku kepentingan.
Halangan lain adalah bagaimana perusahaan kelapa sawit di Indonesia memiliki kebebasan untuk mendefinisikan visi keberlanjutan mereka dan cara mencapainya. Hal ini merupakan tantangan ketika pemimpin perusahaan hanya menjadikan aturan hukum sebagai target keberlanjutan, namun bisa menjadi kesempatan untuk membentuk kebijakan dengan mempengaruhi sejumlah kecil orang di tampuk kepemimpinan. Jika para pembuat keputusan dapat diyakinkan bahwa diperlukan lebih banyak upaya untuk memenuhi tuntutan publik terkait isu keberlanjutan daripada sekedar memenuhi aturan hukum, maka pintu menuju target yang cukup ambisius akan terbuka. Para pemangku kepentingan perlu mengembangkan program-program untuk memberanikan para pimpinan perusahaan untuk mengadopsi keberlanjutan sebagai prinsip utama dan membuat perubahan di operasi mereka.
Halangan ketiga terkait dengan tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam menjaga keseimbangan antara peran mereka sebagai pembuat aturan di satu sisi dan pendorong pembangunan dan pendapatan pajak di sisi lain. Dalam kondisi seperti ini, pelaku usaha yang buruk mungkin akan ditoleransi karena membawa investasi, sementara pelaku yang bertanggung jawab menghadapi kesulitan memenuhi komitmen keberlanjutan yang dipandang menghambat pertumbuhan, seperti menyisihkan hutan untuk konservasi dan tidak membukanya menjadi perkebunan.
Tantangan tata kelola semacam ini di daerah perlu ditangani sebelum inovasi konservasi dapat ditingkatkan dengan signifikan. Pendekatan berdasarkan daerah yurisdiksi, dan bukan melalui perusahaan semata, berpotensi menjadi solusi, tetapi hanya akan berhasil jika pemerintah daerah mendapatkan insentif yang tepat untuk mendukung keberlanjutan.
Hambatan terakhir yang merupakan penghalang utama transformasi industri secara keseluruhan adalah peraturan dan rencana tata ruang yang bertentangan yang sangat membatasi pengembangan kelapa sawit di lahan kritis. Banyak lahan rendah karbon tersebar di Indonesia, tetapi sebagian besar tidak dapat dikembangkan sebagai perkebunan kelapa sawit karena terhambat batasan rencana tata ruang. Peraturan yang berlaku saat ini juga sangat menyulitkan perusahaan untuk mempertahankan wewenang mereka di lahan-lahan yang tidak dikembangkan dalam wilayah ijin mereka, walaupun lahan-lahan tersebut sengaja disisihkan untuk mengurangi deforestasi dan melindungi habitat penting. Peraturan semacam ini diakui sebagai hambatan besar pengembangan kelapa sawit berdampak rendah oleh banyak pihak, bahkan dalam pemerintah, dan perlu menjadi prioritas untuk direformasi.
Gary Paoli adalah Direktur Penelitian dan Pengembangan Usaha di Daemeter Consulting, yang menjadi mitra pendukung Forests Asia Summit 2014 yang diadakan pada tanggal 5-6 Mei di Jakarta.
Sumber :
http://sains.kompas.com/read/2014/05/02/1204517/Bagaimana.Meningkatkan.Praktik.Manajemen.Inovatif.di.Sektor.Kelapa.Sawit.Indonesia.
No comments:
Post a Comment