JAKARTA. Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) memperkirakan
peredaran bubuk kakao palsu di Indonesia mencapai 5.000 ton dalam
setahun. Selain merugikan industri, bubuk kakao palsu juga berbahaya
bagi kesehatan konsumen.
Ketua Umum AIKI Piter Jasman mengatakan keberadaan bubuk kakao palsu
sangat meresahkan. Bagi industri, bubuk kakao palsu tersebut bisa memicu
persaingan yang tidak sehat karena konsumen tidak mampu membedakan yang
asli dan palsu. "Harganya juga 50% lebih murah dari bubuk kakao asli,"
kata Piter, Jumat (3/6).
Piter mengatakan yang paling berbahaya justru orang yang mengkonsumsi bubuk kakao palsu itu. Maklum, bubuk kakao palsu yang beredar itu diolah dari kulit biji kakao yang seharusnya dibuang. WHO juga sudah menyatakan produk bubuk coklat palsu itu berbahaya untuk dikonsumsi.
Kulit biji kakao sebenarnya sampah dalam proses pengolahan kakao. Kulit biji kakao juga tidak steril karena biasanya dijemur oleh petani di tempat terbuka. Selain kotor, kulit kakao juga seringkali berjamur. Biasanya dalam proses pengolahan biji kakao, dilakukan fumigasi dengan obat kimia.
Piter mengatakan, sampah berupa kulit biji kakao itu masih mengandung obat kimia yang dipergunakan menghilangkan bakteri. "Biasanya kulit biji kakao dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti sapi," imbuhnya. Karena itu dia sudah meminta BPOM dan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) untuk memperketat pengawasan peredaran bubuk kakao palsu ini.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menambahkan, beredarnya bubuk kakao palsu ini karena pengawasan penerapan SNI Wajib yang kurang ketat. "Peran Kementerian Perdagangan dan BPOM dalam pengawasan barang beredar harus ditingkatkan," kata Adhi.
Menanggapi hal ini, Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI) Kementerian Perindustrian Arryanto Sagala mengaku akan bersikap tegas jika menemukan produsen yang memproduksi bubuk kakao dari kulit biji kakao. "Sanksinya bisa berupa penghentian produksi untuk pembinaan selama 6 bulan hingga pencabutan izin produksi," kata Arryanto.
Catatan saja, total produksi industri pengolahan kakao dalam negeri mencapai 280.000 ton per tahun. Dari jumlah itu, yang dikonsumsi di dalam negeri hanya mencapai 40.000 ton, sisanya diekspor. Konsumsi bubuk kakao di dalam negeri masih terbilang kecil dengan hanya 0,06 kilogram per kapita. Angka itu sangat jauh dari konsumsi di Eropa yang mencapai 10 kilogram per kapita.
Piter mengatakan yang paling berbahaya justru orang yang mengkonsumsi bubuk kakao palsu itu. Maklum, bubuk kakao palsu yang beredar itu diolah dari kulit biji kakao yang seharusnya dibuang. WHO juga sudah menyatakan produk bubuk coklat palsu itu berbahaya untuk dikonsumsi.
Kulit biji kakao sebenarnya sampah dalam proses pengolahan kakao. Kulit biji kakao juga tidak steril karena biasanya dijemur oleh petani di tempat terbuka. Selain kotor, kulit kakao juga seringkali berjamur. Biasanya dalam proses pengolahan biji kakao, dilakukan fumigasi dengan obat kimia.
Piter mengatakan, sampah berupa kulit biji kakao itu masih mengandung obat kimia yang dipergunakan menghilangkan bakteri. "Biasanya kulit biji kakao dimanfaatkan untuk pakan ternak seperti sapi," imbuhnya. Karena itu dia sudah meminta BPOM dan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) untuk memperketat pengawasan peredaran bubuk kakao palsu ini.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menambahkan, beredarnya bubuk kakao palsu ini karena pengawasan penerapan SNI Wajib yang kurang ketat. "Peran Kementerian Perdagangan dan BPOM dalam pengawasan barang beredar harus ditingkatkan," kata Adhi.
Menanggapi hal ini, Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI) Kementerian Perindustrian Arryanto Sagala mengaku akan bersikap tegas jika menemukan produsen yang memproduksi bubuk kakao dari kulit biji kakao. "Sanksinya bisa berupa penghentian produksi untuk pembinaan selama 6 bulan hingga pencabutan izin produksi," kata Arryanto.
Catatan saja, total produksi industri pengolahan kakao dalam negeri mencapai 280.000 ton per tahun. Dari jumlah itu, yang dikonsumsi di dalam negeri hanya mencapai 40.000 ton, sisanya diekspor. Konsumsi bubuk kakao di dalam negeri masih terbilang kecil dengan hanya 0,06 kilogram per kapita. Angka itu sangat jauh dari konsumsi di Eropa yang mencapai 10 kilogram per kapita.
No comments:
Post a Comment