Medan-Bendahara Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Sumatera Utara Muslim Simbolon meminta Pemerintah Daerah
Kabupaten Padang Lawas menghentikan operasional PT Permata Hijau Sawit
(PHS) karena perusahaan itu terlibat sejumlah persoalan.
"Pemkab Padang Lawas harus segera menghentikan operasional PT PHS karena perusahaan itu menyimpan banyak persoalan termasuk kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum," katanya di Medan, Kamis, 2 Juni 2011.
Anggota Komisi C DPRD Sumut itu menyebutkan, permintaan serupa telah ia sampaikan pada pembukaan Musyawarah Daerah PAN Kabupaten Padang Lawas yang juga dihadiri bupati dan para tokoh masyarakat dan OKP di daerah itu, Jumat (27/5) pekan lalu.
Salah satu persoalan di perusahaan perkebunan kelapa sawit itu, menurut Muslim Simbolon, adalah kasus penggelapan pajak yang berdasarkan penelusuran Kejaksaan Agung dan kasusnya kini juga tengah ditangani Direktorat Jenderal Pajak merugikan negara hingga Rp1,6 triliun.
Ia mengaku tengah mengumpulkan bukti-bukti tambahan karena diyakini besaran pajak yang digelapkan PT PHS jauh lebih besar lagi.
"Pada saat Kanwil Pajak turun ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan, data-data pajak tahun 2005 dan 2006 ternyata hilang dan diganti data-data baru dari Medan. Saat ini kami tengah menginput data-data lama itu," jelasnya.
Alasan lain kenapa operasional perusahaan itu harus dihentikan, menurut Muslim Simbolon, karena selama ini PT PHS justru memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Desa Menanti, Kecamatan Hutaraja, Kabupaten Padang Lawas.
Sekitar 60 persen kebutuhan BBM perusahaan dipasok SPBU dengan harga subsidi karena perusahaan itu tidak memiliki tangki penyimpanan BBM yang memadai. "Seharusnya, sebagai sebuah industri PT PHS menggunakan BBM non subsidi. Ini jelas merugikan keuangan negara," katanya.
Selain itu, listrik yang digunakan juga tidak menggunakan tarif industri, melainkan tarif rumah tangga dengan menggunakan nama-nama karyawan perusahaan.
Persoalan lain di perusahaan itu adalah terkait luasan kebun inti yang tidak sesuai hak guna usaha (HGU). Lahan yang dikelola PT PHS antara lain kebun Bukit Udang dan Papaso masing-masing seluas 3.500 hektare, Aliaga (5.000 ha), Sosa Indah (3.000 ha), Mondang (900 ha), dan Nagargar (2.000 ha).
"Luasan kebun yang dikelola PT PHS tidak sesuai HGU. Karenanya di hadapan Bupati Padang Lawas kami juga sudah meminta agar dilakukan pengukuran ulang terhadap seluruh kebun itu dengan anggaran yang disiapkan pemerintah daerah," katanya.
Tidak hanya kebun inti, kebun plasma PT PHS juga bermasalah di 11 desa, karena ada lahan-lahan warga yang juga dikuasai perusahaan. Dalam waktu dekat, Muslim Simbolon berencana bertemu tokoh-tokoh masyarakat dari 11 desa tersebut.
"Belum lagi masalah tenaga kerja yang digaji di bawah UMR (upah minimum regional) serta Jamsostek yang bermasalah. Karenanya Komisi C DPRD Sumut bulan ini juga akan memanggil manajemen PT PHS untuk mempertanyakan semua persoalan itu," katanya.
Komisi C DPRD Sumut juga meminta Kapolda Sumut segera menangkap bos PT PHS, Robert, yang sudah sejak lama masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) namun hingga kini belum juga tertangkap.
"Pimpinan perusahaan telah ditetapkan sebagai DPO sejak lama, tapi PT PHS tetap beroperasi seolah-olah tidak terjadi apa-apa," katanya.
Bersamaan dengan PT PHS, Komisi C DPRD Sumut juga akan memanggil manajemen PT Nubika Jaya yang memiliki lahan perkebunan sawit seluas 3.000 ha di Tanjung Medan, Kabupaten Labuhan Batu Selatan berikut pabrik minyak kelapa sawit di Blok Songo berkapasitas 100 ton.
"Kasus PT Nubika Jaya tidak jauh berbeda dengan PT PHS. Kami dari Komisi C akan melakukan pemanggilan pada Juni ini yang dilanjutkan dengan rapat gabungan bersama Komisi A dan dinas terkait pada Juli 2011," demikian Muslim Simbolon.(an)sumber :(Exp)
"Pemkab Padang Lawas harus segera menghentikan operasional PT PHS karena perusahaan itu menyimpan banyak persoalan termasuk kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum," katanya di Medan, Kamis, 2 Juni 2011.
Anggota Komisi C DPRD Sumut itu menyebutkan, permintaan serupa telah ia sampaikan pada pembukaan Musyawarah Daerah PAN Kabupaten Padang Lawas yang juga dihadiri bupati dan para tokoh masyarakat dan OKP di daerah itu, Jumat (27/5) pekan lalu.
Salah satu persoalan di perusahaan perkebunan kelapa sawit itu, menurut Muslim Simbolon, adalah kasus penggelapan pajak yang berdasarkan penelusuran Kejaksaan Agung dan kasusnya kini juga tengah ditangani Direktorat Jenderal Pajak merugikan negara hingga Rp1,6 triliun.
Ia mengaku tengah mengumpulkan bukti-bukti tambahan karena diyakini besaran pajak yang digelapkan PT PHS jauh lebih besar lagi.
"Pada saat Kanwil Pajak turun ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan, data-data pajak tahun 2005 dan 2006 ternyata hilang dan diganti data-data baru dari Medan. Saat ini kami tengah menginput data-data lama itu," jelasnya.
Alasan lain kenapa operasional perusahaan itu harus dihentikan, menurut Muslim Simbolon, karena selama ini PT PHS justru memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Desa Menanti, Kecamatan Hutaraja, Kabupaten Padang Lawas.
Sekitar 60 persen kebutuhan BBM perusahaan dipasok SPBU dengan harga subsidi karena perusahaan itu tidak memiliki tangki penyimpanan BBM yang memadai. "Seharusnya, sebagai sebuah industri PT PHS menggunakan BBM non subsidi. Ini jelas merugikan keuangan negara," katanya.
Selain itu, listrik yang digunakan juga tidak menggunakan tarif industri, melainkan tarif rumah tangga dengan menggunakan nama-nama karyawan perusahaan.
Persoalan lain di perusahaan itu adalah terkait luasan kebun inti yang tidak sesuai hak guna usaha (HGU). Lahan yang dikelola PT PHS antara lain kebun Bukit Udang dan Papaso masing-masing seluas 3.500 hektare, Aliaga (5.000 ha), Sosa Indah (3.000 ha), Mondang (900 ha), dan Nagargar (2.000 ha).
"Luasan kebun yang dikelola PT PHS tidak sesuai HGU. Karenanya di hadapan Bupati Padang Lawas kami juga sudah meminta agar dilakukan pengukuran ulang terhadap seluruh kebun itu dengan anggaran yang disiapkan pemerintah daerah," katanya.
Tidak hanya kebun inti, kebun plasma PT PHS juga bermasalah di 11 desa, karena ada lahan-lahan warga yang juga dikuasai perusahaan. Dalam waktu dekat, Muslim Simbolon berencana bertemu tokoh-tokoh masyarakat dari 11 desa tersebut.
"Belum lagi masalah tenaga kerja yang digaji di bawah UMR (upah minimum regional) serta Jamsostek yang bermasalah. Karenanya Komisi C DPRD Sumut bulan ini juga akan memanggil manajemen PT PHS untuk mempertanyakan semua persoalan itu," katanya.
Komisi C DPRD Sumut juga meminta Kapolda Sumut segera menangkap bos PT PHS, Robert, yang sudah sejak lama masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) namun hingga kini belum juga tertangkap.
"Pimpinan perusahaan telah ditetapkan sebagai DPO sejak lama, tapi PT PHS tetap beroperasi seolah-olah tidak terjadi apa-apa," katanya.
Bersamaan dengan PT PHS, Komisi C DPRD Sumut juga akan memanggil manajemen PT Nubika Jaya yang memiliki lahan perkebunan sawit seluas 3.000 ha di Tanjung Medan, Kabupaten Labuhan Batu Selatan berikut pabrik minyak kelapa sawit di Blok Songo berkapasitas 100 ton.
"Kasus PT Nubika Jaya tidak jauh berbeda dengan PT PHS. Kami dari Komisi C akan melakukan pemanggilan pada Juni ini yang dilanjutkan dengan rapat gabungan bersama Komisi A dan dinas terkait pada Juli 2011," demikian Muslim Simbolon.(an)sumber :(Exp)
No comments:
Post a Comment