JAKARTA: Stakeholder komoditas karet meminta pasar berjangka di 
Indonesia agar menyelenggarakan transaksi kontrak perdagangan karet 
sebagai sarana lindung nilai dari gejolak harga dan untuk memudahkan 
akses industri hilir terhadap komoditas.
Aziz Pane, Ketua Dewan Karet Nasional, mengatakan selama ini industri 
hilir karet, terutama golongan kecil – menengah dan pelaku industri 
baru, kerap kesulitan mendapatkan akses terhadap bahan baku berupa karet
 alam.
Pelaku industri, lanjutnya, harus terjun langsung kepada 
petani. Dia menilai perdagangan karet di pasar berjangka dapat menjawab 
kesulitan tersebut. Di sisi lain, lanjutnya, perdagangan pasar berjangka
 karet dapat memutuskan pemain tengah distribusi atau tengkulak dan 
menciptakan harga yang lebih transparan.
“Jika [karet] ada di bursa, 
pembeli cukup mencari karet di pasar, tidak perlu lari ke petani. Jika 
pembeli lari ke petani, justru memunculkan pemain perdagangan tengah 
yang disebut tengkulak. Mereka yang mendapatkan untung besar dari harga.
 Bukan petani,” ujarnya kepada Bisnis, hari ini.
Aziz mengaku telah 
bertemu dengan kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi 
(Bappebti) untuk membicarakan peluang tersebut. Dia berharap Bappebti 
dan pemerintah dapat mendukung keinginan tersebut.
“Ketika kami 
bertemu, tanggapan Bappebti positif. Ke depan, kami akan menindaklanjuti
 kemungkinan perdagangan berjangka karet dengan permerintah, bursa 
berjangka di dalam negeri, dan stakeholder lainnya,” ujarnya.
Aziz 
mengakui masih ada kendala berupa kesiapan dunia usaha dan industri 
untuk menyelenggarakan perdagangan karet. Namun begitu, lanjutnya, 
kebutuhan pasar berjangka karet sudah mendesak. “Kalau menunggu siap, 
kapan dapat terselenggara, Harus disiapkan dari sekarang,” katanya.
Soeharto
 Honggokusumo, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Karet Indonesia 
(Gapkindo), menambahkan tantangan datang terutama dari para calon pemain
 perdagangan berjangka karet. “Kita [Indonesia] belum punya pasar 
berjangka karet. Pemainnya belum ada,” ujarnya.
Namun, dia setuju 
bahwa karet sebaiknya memiliki pasar di salam negeri. Apalagi Indonesia 
termasuk salah satu negara produsen karet dunia. “Seharusnya begitu [ada
 pasar] supaya daya tawar lebih baik. Pasar juga yang menentukan harga,”
 katanya.
Pada pasar berjangka, lanjutnya, ada faktor pembeli, pedagang, dan spekulan yang kemudian dapat menentukan harga.
Suharto
 mengatakan selama ini harga karet di tingkat pabrik di dalam negeri 
mengacu pada harga di bursa komoditas Singapura (Singapore Commodity 
Exchange/SICOM). “Pertimbangannya bukan sekedar jarak geografis. Akan 
tetapi bursa SICOM  memperdagangkan jenis karet yang paling mendekati 
kategori di dalam negeri, yaitu TSR20, RSS3, RSS1. Tapi SICOM hanya 
sebagai rujukan,” katanya.
Pada prakteknya, lanjutnya, harga karet di
 lapangan dapat sedikit di atas atau sedikit di bawah harga acuan 
tergantung pada keadaan penawaran (suplai). 
Berdasarkan data Balai 
Penelitian Sembawa, prakiraan harga karet kering 100% pada hari ini 
mencapai Rp35.800 – Rp36.300 per kg. Angka tersebut sedikit melemah 
dibandingkan dengan awal pekan ini yaitu Rp36.100 – Rp36.600 per kg. 
Balai Penelitian Sembawa melaporkan harga perdagangan karet di Palembang
 Sumatera Selatan.(mmh) (BI) Oleh Anggi Oktarinda

 sudah lihat yang ini (klik aja)?
 sudah lihat yang ini (klik aja)? 
 
 
 
 
No comments:
Post a Comment