Aekkanopan-. Tanaman kelapa sawit saat ini menjadi idola para petani di tanah air khususnya di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura). Terbukti dengan tingginya alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan ke kelapa sawit atau dari komoditas perkebunan lainnya seperti karet dan kakao ke kelapa sawit
Seperti yang dikatakan B Doloksaribu (52), warga Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Kualuh Selatan di Kabupaten Labura, tanaman kelapa sawit lebih menjanjikan ketimbang menanam padi atau tanaman pangan lainnya. Ia sendiri sekarang telah memiliki kebun kelapa sawit seluas 10 hektare dan 70% telah menghasilkan. “Sebelumnya banyak tanaman saya yang mati karena terkena banjir luapan Sungai Kualuh,” kata bapak dua anak ini saat ditemui MedanBisnis, di teras rumahnya, Desa Tanjung Pasir, Kamis (1/12).
Dikatakannya, dirinya mulai menanam kelapa sawit sejak tahun 1992 dan baru memperoleh hasil sejak tahun 2004. Dan, dari hasil kebun itu dirinya sudah bisa membangun rumah, sepeda motor dan membiayai anaknya sekolah bahkan juga bisa memasukkan salah seorang anaknya menjadi anggota Polri.
Dari 70% tanaman yang baru menghasilkan, Doloksaribu mengaku bisa memperoleh hasil sekitar Rp 5 juta setiap panen, yang dilakukan sekali dalam dua minggu. Tetapi diakuinya juga, dari hasil tersebut, belum dihitung ongkos tenaga pemanennya serta biaya perawatannya.
Menurutnya, untuk perawatan kebun kelapa sawit harus dilakukan sebanyak tiga kali pemupukan yang terdiri dari pupuk urea dan pupuk buah seperti pupuk NPK. Untuk lahannya yang 10 hektar tersebut, sekali pemupukan membutuhkan biaya sekitar Rp 15 juta, belum lagi untuk biaya herbisida. “Biaya perawatannya memang tinggi. Tetapi untuk memperoleh buah yang bagus, harus dilakukan perawatan,” jelasnya.
Dikatakannya, untuk kebun petani tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang bisa dihasilkan rata-rata satu ton per hektare dalam sekali penen (per dua minggu). “Tanaman kelapa sawit ini mengalami dua musim yaitu musim trek (produksi menurun) yang berlangsung selama lebih kurang enam bulan dan musim panen raya atau istilah sehari-harinya banjir buah yang biasanya selama enam bulan juga,” ujarnya.
Doloksaribu ini juga menjelaskan, awalnya ia menanam kelapa sawit menggunakan bibit yang diusahakannya sendiri, tidak menggunakan bibit yang telah uji seperti yang dipakai oleh perusahaan perkebunan. Sekarang ini lagi musim trek. Sedangkan harga TBS di lapangan atau menjual ke agen (toke sawit) di sekitaran kebunnya yang berjarak sekitar 20 km dari Aek Kanopan Rp 1.250 per kg atau naik dibanding sebulan lalu yang hanya Rp 1.050 per kg.
Tambahnya, masalah harga TBS juga dipengaruhi oleh masalah infrastruktur jalan. Jika infrastruktur jalannya rusak parah harga jualnya sangat rendah. Seperti yang terjadi di Kualuh Hilir dan Kualuh Leidong. Akibat rusaknya jalan di dua kecamatan tersebut harga TBS di dua kecamatan itu hanya Rp 500 per kg. Itupun membutuhkan tiga hari agar TBS dari daerah tersebut sampai di pabrik kelapa sawit yang dituju.
Sekjend Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Labura, Maruli Sitorus berpendapat, produksi kebun para petani kelapa sawit masih sangat rendah. Ini diakibatkan masih minimnya pemahaman para petani terkait teknologi perkelapa sawitan, mulai dari pengelolaan lahan, penyediaan bibit yang sembarangan (asal ada) perawatan yang sangat minim hingga masa replanting.
Selain itu, petani juga kewalahan masalah permodalan bahkan sering terjebak dengan permainan para tengkulak yang mengakibatkan semakin ditekannya harga TBS petani. Sekarang ini petani kelapa sawit juga masih menjadi korban penetapan harga, salah satunya penetapan harga “k” yang dilakukan pemerintah sesuai peraturan yang berlaku, yang masih belum berpihak bahkan merugikan petani. ( ricardo simanjuntak)/MB
No comments:
Post a Comment