"PT Berdikari saat ini telah mampu
memproduksi biji kakao menjadi bahan setengah jadi. Sebelumnya PT.
Berdikari hanya mengekspor biji kakao dalam bentuk bahan mentah," ungkap
Direktur Keuangan PT. Berdikari (Persero) Siti Marwah saat berdiskusi
dengan media di Kantor Pusat PT Berdikari (Persero) Jakarta, Selasa
(20/8).
Biji kakao didapat perseroan dari para petani kakao di Sulawesi seperti Palu, Kendari, Kloaka dan Kombana. Biji-biji tersebut kemudian diolah oleh 2 pabrik swasta yang melakukan kerjasama dengan PT Berdikari.
"Kita nggak investasi di pabrik pengolahan kakaonya namun melakukan kontrak kerjasama yaitu dengan PT MDKI dan PT Unicom lokal di Makassar. Jadi ada cost produksi pengolahan yang kita bayar ke sana," imbuhnya.
Setiap minggunya, PT Berdikari mampu menghasilkan 120 hingga 160 ton produk olahan kakao setengah jadi seperti cocoa butter, cocoa cake dan cocoa liquor. Semua produk tersebut diekspor ke luar negeri seperti ke Eropa dan Asia. Dari bisnis baru ini, perseroan menargetkan omzet hingga akhir tahun bisa mencapai Rp 240 miliar.
"Kenapa nggak kita jual ke pasar domestik? Pasar domestik sudah ada pemasoknya. Pasar ekspor kita yang terbesar adalah Belanda, Inggris dan Spanyol juga negara Asia. Semester I/2013 totalnya sekitar baru 1.500 ton hingga akhir Juli. Target pendapatan omzet bisnis kakao tahun ini Rp 240 miliar," cetusnya.
Siti Marwah mengungkapkan ada beberapa alasannya pihaknya mengembangkan bisnis kakao olahan. "Pada prinsipnya adanya regulasi pajak ekspor bahan mentah yang dikeluarkan tahun 2010 sebesar 10% pada biji kakao (belum diolah). Dampaknya harga kakao terus mengalami penurunan karena harganya jatuh dan tidak kompetitif di tingkat buyer," ungkap Marwah.
Alasan ini yang menjadi titik balik perseroan untuk mengembangkan bisnis baru olahan produk kakao setengah jadi. Kerjasama dilakukan perseroan dengan dua pabrik olahan kakao di Makassar yang kondisinya mengalami mati suri.
"Akhir tahun 2012 kita mencoba terobosan baru bagaimana caranya bisa memproduksi barang setengah jadi. Kita menggandeng pabrikan peengolahan kakao yaitu PT Unicom dan PT MDKI yang mati suri. Kita gandeng lagi dengan pengumpul biji kakao. Kemudian lari ke devisa negara yang meningkat," imbuhnya.
Hasilnya setiap minggu perseroan rutin memproduksi dan mengekspor 160 ton kakao olahan setengah jadi. Jumlah pendapatan yang diterima perseroan juga jauh lebih besar ketimbang mengekspor biji kakao mentah.
"Rasionya harganya untuk produk cocoa butter itu per ton US$ 5400 sedangkan untuk cocoa cake US$ 1638/ton," katanya. (dtf)/MB
Biji kakao didapat perseroan dari para petani kakao di Sulawesi seperti Palu, Kendari, Kloaka dan Kombana. Biji-biji tersebut kemudian diolah oleh 2 pabrik swasta yang melakukan kerjasama dengan PT Berdikari.
"Kita nggak investasi di pabrik pengolahan kakaonya namun melakukan kontrak kerjasama yaitu dengan PT MDKI dan PT Unicom lokal di Makassar. Jadi ada cost produksi pengolahan yang kita bayar ke sana," imbuhnya.
Setiap minggunya, PT Berdikari mampu menghasilkan 120 hingga 160 ton produk olahan kakao setengah jadi seperti cocoa butter, cocoa cake dan cocoa liquor. Semua produk tersebut diekspor ke luar negeri seperti ke Eropa dan Asia. Dari bisnis baru ini, perseroan menargetkan omzet hingga akhir tahun bisa mencapai Rp 240 miliar.
"Kenapa nggak kita jual ke pasar domestik? Pasar domestik sudah ada pemasoknya. Pasar ekspor kita yang terbesar adalah Belanda, Inggris dan Spanyol juga negara Asia. Semester I/2013 totalnya sekitar baru 1.500 ton hingga akhir Juli. Target pendapatan omzet bisnis kakao tahun ini Rp 240 miliar," cetusnya.
Siti Marwah mengungkapkan ada beberapa alasannya pihaknya mengembangkan bisnis kakao olahan. "Pada prinsipnya adanya regulasi pajak ekspor bahan mentah yang dikeluarkan tahun 2010 sebesar 10% pada biji kakao (belum diolah). Dampaknya harga kakao terus mengalami penurunan karena harganya jatuh dan tidak kompetitif di tingkat buyer," ungkap Marwah.
Alasan ini yang menjadi titik balik perseroan untuk mengembangkan bisnis baru olahan produk kakao setengah jadi. Kerjasama dilakukan perseroan dengan dua pabrik olahan kakao di Makassar yang kondisinya mengalami mati suri.
"Akhir tahun 2012 kita mencoba terobosan baru bagaimana caranya bisa memproduksi barang setengah jadi. Kita menggandeng pabrikan peengolahan kakao yaitu PT Unicom dan PT MDKI yang mati suri. Kita gandeng lagi dengan pengumpul biji kakao. Kemudian lari ke devisa negara yang meningkat," imbuhnya.
Hasilnya setiap minggu perseroan rutin memproduksi dan mengekspor 160 ton kakao olahan setengah jadi. Jumlah pendapatan yang diterima perseroan juga jauh lebih besar ketimbang mengekspor biji kakao mentah.
"Rasionya harganya untuk produk cocoa butter itu per ton US$ 5400 sedangkan untuk cocoa cake US$ 1638/ton," katanya. (dtf)/MB