MEDAN – Pelemahan nilai tukar rupiah yang semakin terpuruk mendekati
level Rp11.500 per dolar Amerika Serikat mendorong harga minyak kelapa
sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) meroket ke level tertinggi dalam dua
bulan terakhir hingga US$741 atau RM2.473 per metric ton.
Berdasarkan catatan Bursa Malaysiia Derivaties, Rabu (28/8/2013) pada
pukul 13.25 WIB harga CPO diperdagangkan menguat 0,86% atau 21 poin
menjadi RM2.473 atau US$741 per metric ton. Sehari sebelumnya harga CPO
tercatat RM2.456 atau US$737 per metric ton.
Timbas P. Ginting, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (Gapki) Sumatra Utara, mengatakan peningkatan harga CPO di
Bursa Derivatives Malaysia diakibatkan oleh pengaruh kurs rupiah yang
terus melemah. Hari ini, berdasarkan data kurs valas Bloomberg, rupiah
terpuruk 0,67% ke level Rp11.413 per dolar AS pada pukul 11.47 WIB.
“Kenaikan harga CPO lebih disebabkan oleh kenaikan kurs mata uang,
rupiah tidak hanya melemah kepada dolar AS, tetapi juga terhadap ringgit
Malaysia. Kalau dari sisi permintaan CPO masih belum ada perubahan,”
ujarnya kepada Bisnis, Rabu (28/8/2013).
Sementara itu, katanya, harga kontrak berjangka CPO hari ini di bursa
Rotterdam justru mengalami penurunan sekitar US$10 per metric ton dari
hari kemarin, Selasa (27/8/2013). Pada perdagangan hari ini CPO
diperdagangkan pada level US$870 dari sebelumnya senilai US$880 per
metric ton.
Menurutnya, nilai tukar mata uang Asia sedang mengalami pelemahan
secara keseluruhan. Na
mun, diantara mata uang Asia tersebut, rupiah
mencatatkan pelemahan terburuk.
Jika pondasi ekonomi Indonesia kuat, sambungnya, dipastikan pelemahan
nilait tukar rupiah tidak akan seburuk saat ini. Pelemahan nilai tukar
ini terjadi pada waktu yang tidak tepat terutama ditengah mulainya
peningkatan produksi CPO dalam negeri.
Produksi CPO di dalam negeri diperkirakan cenderung mengalami
kenaikan sejak awal Mei hingga akhir Desember 2013 karena memasuki masa
panen. Pada pertengahan Desember mendatang diperkirakan produksi CPO
akan mulai menurun.
Berdasarkan data Gapki, protas Tandan Buah Segar (TBS) pada 2012
mencapai 22 ton/hektare, protas CPO mencapai 4,4 ton/ha, dan tingkat
rendemen 20%. Adapun produksi CPO pada 2013 diestimasi 27 juta-28 juta
ton.
Dia menuturkan penguatan harga CPO tidak dapat diprediksi akan
terjadi hingga berapa lama. Peningkatan ini memang lebih banyak
dipengaruhi oleh kurs rupiah seperti yang terjadi pada 1998.
Pada masa krisis 1998, kata dia, perekonomian Indonesia diselamatkan
oleh sektor perkebunan. Untuk itu, saat pemerintah sekarang mendorong
produksi biodiesel merupakan langkah yang tepat. Saat ini, kapasitas
produksi biodiesel sebanyak 6 juta ton dan baru diolah sebesar 4,5 juta
ton.
Di sisi lain, ucapnya, pemerintah justru menerapkan moratorium dengan
melakukan revisi tata ruang perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut
dinilai kontraproduktif dengan dorongan agar meningkatkan produksi
biodiesel.
“Ini kesempatan pemerintah untuk berkaca, Terbukti dengan pelemahan
rupiah, CPO menjadi andalan, tapi di hulu justru dipangkas dengan revisi
tata ruang, padahal eksisting sudah sawit, oke kalau di hutan lindung
dan konservasi ya kita dukung untuk direvisi,” jelasnya.
Timbas menambahkan dalam 10 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan kebun
petani lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan lahan milik
perusahaan. Dari 9 juta kebun sawit di Indonesia, kebun milik petani
diestimasi mencapai 42%.
Kendati demikian, penguatan harga CPO dinilai tidak dirasakan oleh
petani. Selisih penjualan rata-rata dari petani dan pabrik diperkirakan
dapat mencapai Rp500/Kg, biasanya selisih rata-rata hanya mencapai
Rp300-Rp400/Kg.
Kenaikan harga CPO dinilai hanya dinikmati oleh eksportir dan
pedagang perantara. Hal itu dikarenakan hancurnya infrastruktur membuat
harga jual TBS di tingkat petani tidak ikut meningkat.
“Seharusnya petani juga menikmati kenaikan harga CPO, tetapi sekarang
karena infrastrukturnya tidak bagus jadi tidak berdampak langsung.
Kalau bagus, petani bisa menjual langsung ke pabrik,” tegasnya.(28/msi)/B-S