Malang. Menteri Pertanian (Mentan) Suswono menyatakan perlu ada revitalisasi pabrik gula di Tanah Air karena usia bangunannya sudah banyak yang cukup tua, bahkan ada yang dibangun sekitar tahun 1800-an.
"Revitalisasi bangunan pabrik gula ini yang berjalan
hanya sekitar 10 persen saja.
Kalau (revitalisasi) tidak dilakukan pasti
menimbulkan masalah, termasuk rendemen tebu petani yang akan digiling
di pabrik gula tersebut," kata Suswono di sela-sela Rembug Utama
Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) menjelang pelaksanaan Pekan nasional (Penas) XIV KTNA di Pendopo Agung Pemkab Malang di Kepanjen, Kamis (5/6).
Masalah
yang seringkali muncul akibat bangunan pabrik gula yang sudah tua, kata
Mentan, adalah rendemen karena tanaman tebu sudah terukur.
Kalau
rendemen tebu petani rendah, ada kemungkinan karena kondisi pabrik gula
yang memang sudah tua, ada yang "main" atau karena kondisi tebu itu
sendiri.
Selain melakukan revitalisasi, lanjutnya, juga perlu
adanya tambahan pendirian pabrik gula baru, paling tidak sekitar 15
sampai 20 lagi guna mencukupi kebutuhan gula masyarakat.
Menyinggung
produksi bahan pangan pokok, seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan
daging, Suswono mengatakan ada peningkatan, meski persentasenya tidak
terlalu signifikan.
Produksi gabah kering giling (GKG) misalnya, pada tahun 2009 hanya mencapai 64,3 juta ton naik menjadi 71,2 juta ton pada 2013.
Produktivitas
per hektare juga meningkat, dari 49 kuintal menjadi 51,52 kuintal. Dan,
luas lahan panen masih stagnan karena dari 12,8 juta hektare hanya
menjadi 12,84 juta hektare.
Namun demikian, ketersediaan beras di
Tanah Air masih surplus, meski tidak sebesar yang diharapkan, yakni
sebanyak 10 juta ton pada tahun 2013.
Mentan mengakui kondisi
surplus beras tersebut seringkali menjadi pertanyaan di kalangan
masyarakat, sebab kalau surplus kenapa masih impor. Beras yang diimpor
tersebut untuk stok pangan di Bulog, kondisi tersebut yang tidak dipahami masyarakat luas.
Sementara
produksi jagung mencapai 18 juta ton, sedangkan kebutuhan hanya 7 juta
ton, namun lagi-lagi kenapa masih tetap impor. "Persoalan yang muncul
ini karena kondisi infrastruktur, terutama transportasi yang cukup sulit aksesnya, sehingga terpaksa harus impor untuk menjangkau daerah yang sulit," ujarnya.
Sedangkan
produksi tanaman kedelai juga masih jauh dari harapan, sehingga harus
impor karena selain petani yang enggan menanam kedelai, lahannya juga
semakin berkurang. Dari seluas 1,6 juta hektare, sekarang hanya tinggal
600 ribu hektare.
Lahan pertanian secara keseluruhan, katanya,
setiap tahunnya mengalami defisit sekitar 60 ribu hektare, sementara
pencetakan sawah hanya sekitar 40 ribu hektare. "Oleh karena itu,
sekarang kita harus mencegah konversi lahan dan jangan sampai terjadi
pengalihan lahan produktif," tegasnya.
Dengan berbagai upaya,
termasuk membatasi pengalihan lahan, diversifikasi pangan maupun
meningkatkan produktivitas sejumlah komoditas pokok, lanjutnya,
diharapkan 2014 ini swasembada pangan bisa terus dilanjutkan, meski
tantangannya cukup berat.
Tantangan berat itu meliputi lahan
produktif di Indonesia sejauh ini terus mengalami penyusutan, perubahan
iklim yang cukup signifikan, sehingga menjadi tantangan bagi iklim
pertanian di Indonesia. (ant)/Medanbisnis
No comments:
Post a Comment