Medan. Untuk meningkatkan mutu biji kakao Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) berencana melakukan standarisasi. biji
kakao yang beredar harus sudah difermentasikan. Namun untuk
realisasinya, khususnya di tingkat petani, hal itu dianggap sulit,
pasalnya petani dinilai masih belum siap melaksanakannya.
"Tahun 2015, biji kakao yang diekspor sudah harus
difermentasikan. Tetapi, jika dilihat dari kondisi petani saat ini,
mereka belumlah siap," ungkap Kepala Bidang Usaha Tani Dinas Perkebunan
Sumatera Utara, Sahrida Khairani, kepada MedanBisnis, Senin (10/3) di
Medan.
Dijelaskannya, penilaian itu berdasarkan dari pola
keseharian transaksi yang terjadi antara para petani dan para pengumpul
di lapangan. Di situ, para pengumpul selalu menjadikan satu tempat kakao
yang telah difermentasi dan yang nonfermentasi. "Kalau sudah seperti
itu, sulit untuk membedakan antara biji kakao yang telah difermentasikan
dengan yang belum," sebutnya.
Padahal, lanjut dia, dengan
kebijakan standarisasi dapat berfungsi untuk memangkas sirkulasi
produksi hingga sampai pada tingkatan ekspor nantinya.
"Jadi,
jika para petani sudah melakukan fermentasi maka akan lebih mudah untuk
dilakukan ekspor tanpa harus pihak pabrik melakukan pemilahan terlebih
dahulu. Dan, harganya juga dipastikan lebih baik," jelasnya.
Begitu
pun tambah Sahrida, selisih jual dari harga biji kakao yang telah
difermentasikan tidaklah begitu jauh. Sehingga, walaupun banyak petani
yang telah melakukan fermentasi pada biji kakaonya, namun minatnya untuk
ke sana masih minim.
"Kalau untuk harga biji kakao nonfermentasi
ditingkatan petani sekitar Rp 19.000 per kg nya. Sementara yang
fermentasi berkisar Rp 23.000 hingga Rp 24.000," paparnya.
Selain
itu, kata Sahrida, ditingkatan petani juga terjadi kesulitan untuk
bermitra dengan pihak lain, khususnya yang dari luar negeri. Sebab,
petani masih belum mampu menjalankan ketepatan waktu, kuantitas serta
kualitas hasil perkebunan kakaonya.
"Ada sebagian petani yang
hasil fermentasi biji kakaonya sangat bagus. Sehingga mendapatkan
tawaran dari luar negeri untuk dapat bekerja sama. Tetapi, petani tidak
bisa menyanggupinya, karena produksi kakao mereka masih sedikit,"
pungkasnya.( rozie winata)
http://mdn.biz.id/n/83795/