Medan.- Pemerintah harus dapat membuat peraturan dalam pemetaan berdirinya Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Indonesia yang saat ini persaingannya sudah tidak sehat.
Hal ini dikatakan Komisioner Komisi Pangawas Persaingan USaha (KPPU) Benny Pasaribu kepada wartawan usai acara Forum Diskusi KPPU dan Pemangku Kepentingan dalam Industri Sawit di Medan, Kamis (6/10).
Menurutnya, keberadaan PKS yang semakin banyak dapat membawa dampak positif bagi petani karena memudahkan menjual Tandan Buah Segar (TBS) yang dihasilkan. Bahkan secara nasional PKS masih kurang atau sekitar lima ribuan ton perjam TBS membutuhkan PKS.
Namun yang sangat disayangkan, tambah Benny, keberadaan PKS tidak ada pemetaan yang diawasi sehingga banyak yang salah posisi dan terjadi persaingan sangat keras bahkan saling mematikan.Hal ini dikatakan Komisioner Komisi Pangawas Persaingan USaha (KPPU) Benny Pasaribu kepada wartawan usai acara Forum Diskusi KPPU dan Pemangku Kepentingan dalam Industri Sawit di Medan, Kamis (6/10).
Menurutnya, keberadaan PKS yang semakin banyak dapat membawa dampak positif bagi petani karena memudahkan menjual Tandan Buah Segar (TBS) yang dihasilkan. Bahkan secara nasional PKS masih kurang atau sekitar lima ribuan ton perjam TBS membutuhkan PKS.
Contohnya saja di Kabupaten Langkat ada 50 PKS sedangkan daerah lain petani sulit mendapatkan PKS. Ini sangat merugikan petani dan perusahaan PKS itu sendiri. Kondisi ini, kata Benny, seharusnya pemerintah dapat mengatur pemetaan berdirinya PKS dan peraturan ini juga harus diawasi baik dari pihak independen seperti asosiasi perkebunan atau membentuk pengawas baru. "Pemerintah jangan asal beri izin. Harus melihat potensi daerah masing-masing dimana PKS mau didirikan," katanya.
Selain itu juga, lanjut Benny, pemerintah harus menambah lagi aturan tentang penentuan harga minimum TBS yang pasti kepada petani. Hal ini dapat menghindari adanya hadirnya tengkulak yang menekan petani sehingga merugikan.
Sedangkan adanya isu negatif terhadap kelapa sawit yang dapat merusak lingkungan, Benny menyatakan ini hanya politik ekonomi global yang memang syirik dengan perkembangan komoditas perkebunan unggulan dari Indonesia.
"Kalau dibilang merusak lingkungan, ini harus dikaji terlebih dahulu. Kelapa sawit komoditas unggulan kita, jadi seharusnya semua pihak harus menjaga dan meningkatkan produktivitas yang pasti membawa keuntungan tidak hanya bagi pemerintah tapi juga masyarakat," tuturnya.
Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asmar Arsjad mengatakan, pemerintah memang belum pro kepada petani kelapa sawit dalam penerapan penetapan harga TBS yang belum sepenuhnya berpihak dan menguntungkan.
"Penetapan harga TBS yang diatur Permentan No 17 2010 untuk petani plasma bukan petani merdeka. Padahal dari luas tanaman kelapa sawit di Indonesia, milik rakyat mencapai 3,6 juta hektare dari total luas 7,8 juta hektare, dengan tingkat produktivitas hanya 2,4 ton CPO per hektare per tahun atau jauh di bawah produksi perusahaan besar dengan produktivitas 3,8 ton CPO per hektare per tahun," rincinya.
Belum lagi, lanjut Asmar, tidak ada sanksi bagi PKS yang tidak membeli sesuai harga tim penetapan harga, timbangan di pabrik banyak belum ditera ulang, biaya administrasi 5% dibebankan kepada petani serta insentif sebesar 4% belum diberikan oleh pabrik.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Sumut, Balaman Tarigan yang hadir dalam acara mengatakan, dengan kondisi harga CPO yang lagi jatuh karena permintaan menurun seharusnya jangan ada pihak yang saling menyalahkan. Dari luas tanaman kelapa sawit 1,3 juta hektare, pengusaha dan petani harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan.
"Harus saling mendukung antara keduanya, karena banyak peraturan pemerintah yang memberatkan seperti Bea Keluar (BK). Mau berkembangpun sulit seperti terkendala dengan lahan yang katanya merambah kawasan hutan, sertifikasi sukit keluar dan kini bahkan perbankan mau memberi kredit asal perusahaan memiliki Analisis Mutu Dampak Lingkungan (Amdal) yang bagus," pungkasnya. (yuni naibaho)/MB
No comments:
Post a Comment