Jakarta -Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai standar pelestarian lingkungan pada industri kelapa sawit nasional harus diterapkan sepenuhnya secara konsisten dan serempak.
Hal itu sebagai upaya agar ISPO dapat meningkatkan posisi tawar CPO Indonesia di pasar internasional. “Dibutuhkan waktu dan kerja keras untuk membuat ISPO ini benar-benar diakui dunia. Dan kerja keras itu harus dimulai saat ini. Keluarnya Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dari keanggotan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) harus menjadi momentum besar untuk penerapan ISPO sepenuhnya,” kata Ketua Pelaksana Harian Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI), Rosediana Soeharto di Jakarta, Rabu (12/10) kemarin, saat menanggapi keputusan Gapki yang keluar dari RSPO belum lama ini.
Menurut Rosediana, kerja keras disertai konsistensi itu sangat diperlukan mengingat ISPO baru saja diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia. Karena itu, diperlukan kesadaran dan upaya bersama dari seluruh pemangku kepentingan industri kelapa sawit Indonesia untuk mewujudkan ISPO sebagai platform sustainability yang berdampak pada meningkatnya bargaining position CPO Indonesia di mata internasional.Hal itu sebagai upaya agar ISPO dapat meningkatkan posisi tawar CPO Indonesia di pasar internasional. “Dibutuhkan waktu dan kerja keras untuk membuat ISPO ini benar-benar diakui dunia. Dan kerja keras itu harus dimulai saat ini. Keluarnya Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dari keanggotan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) harus menjadi momentum besar untuk penerapan ISPO sepenuhnya,” kata Ketua Pelaksana Harian Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI), Rosediana Soeharto di Jakarta, Rabu (12/10) kemarin, saat menanggapi keputusan Gapki yang keluar dari RSPO belum lama ini.
“ISPO itu kan masih tergolong baru, dan baru diperkenalkan oleh Indonesia. Karena itu, ISPO juga harus harus diterapkan segera agar terjadi keserempakan di dalam negeri dan mendapat pengakuan negara-negara di luar, khususnya negara tujuan ekspor CPO Indonesia,” ujarnya.
Di sisi lain, menurut Rosediana, ISPO tidak memuat larangan bagi perusahaan-perusahaan sawit nasional secara individual untuk mengikuti standar lain mengenai praktek-praktek menjaga kelestarian lingkungan. Pasalnya, negara-negara tujuan ekspor juga masih belum dapat mengakui ISPO sebagai standar internasional mengenai kelestarian lingkungan.
“Karena itulah seharusnya ISPO ini diterapkan secara penuh, dimulai dari perusahaan-perusahaan di dalam negeri terlebih dahulu untuk mendapat pengakuan tersebut,” terang Rosediana.
Menanggapi klaim dari Sekjen RSPO Darrel Webber bahwa terjadi peningkatan penyerapan pasar terhadap minyak sawit bersertifikat lestari hingga 70%, Rosediana menyatakan klaim itu tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan Rosediana justru meyakini keputusan Gapki keluar dari RSPO tidak akan mempengaruhi kinerja ekspor CPO Indonesia, termasuk ke Eropa dan Amerika Serikat.
“Meskipun banyak perusahaan di Eropa dan Amerika Serikat mengakui RSPO, tetapi ekspor CPO Indonesia tidak hanya ke Eropa dan Amerika Serikat. Ekspor CPO kita ke dua zona ekonomi itu juga tidak banyak, jadi tidak akan berpengaruh. Untuk kebutuhan sertifikasi, justru yang saat ini diperlukan adalah sertifikasi dari ISCC untuk penggunaan biofuel,” ujarnya.
Lebih jauh Rosediana mengingatkan bahwa, keputusan Gapki keluar dari RSPO memang didasari oleh ketidakpuasan seluruh anggota Gapki terhadap management dan kinerja RSPO selama ini. “Jadi, keputusan itu merupakan 100 persen hak GAPKI dan para anggotanya,” tegasnya.
Pada kesempatan yang berbeda, Anggota Komisi IV DPR RI dari FPDIP, I Made Urip mengatakan, keluarnya Gapki dari RSPO karena terdapat berbagai kebijakan dan regulasi yang tidak berimbang dan kurang aspiratif terhadap kepentingan produsen. “Sebelum keluar, pasti sudah dihitung untung ruginya keluar dari RSPO. Misalnya ada boikot dari Eropa, apakah tanpa menjadi anggota RSPO kita mampu menghadapi itu?” kata Made.
Made menyatakan, dalam memasuki pasar global, pengusaha sawit tidak bisa bermain sendiri. Harus ada komunikasi dan kerjasama yang terjalin dengan negara lain, serta dukungan dari regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Dia yakin, jika posisi Indonesia sudah kuat, maka keluarnya Gapki dari kenggotaan RSPO sama sekali tidak bermasalah.
“Karena itu, Gapki juga harus memperkuat kerjasama dengan para produsen minyak sawit dari negara-negara lain, terutama dari Malaysia untuk bersama-sama menghadapi tekanan-tekanan para pembeli maupun pemerintah dari negara industri maju,” ujarnya.
Lebih lanjut Made mendukung komitmen asosiasi tersebut untuk mendorong terwujudnya ISPO sebagai platform sustainability di Indonesia yang bersifat wajib diikuti. Komitmen itu sangat penting karena masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera dikerjaan agar ISPO dapat diakui dan diterima secara internasional.
Sebelumnya, Ketua Umum Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP-2SB) Achmad Mangga Barani memandang keputusan Gapki keluar dari keanggotaan RSPO sudah tepat. Sebab, Indonesia selama dua tahun memperjuangkan nasib negara-negara produsen kelapa sawit yang tergabung di dalam RSPO.
“Namun, selama itu pula Indonesia selalu menghadapi ketimpangan dalam setiap pengambilan keputusan. Hal itu akibat pengambilan keputusan di dalam keanggotaan RSPO melalui voting. Sedangkan keanggotaan RSPO didominasi oleh perusahaan-perusahaan industri dan konsumen,” urai Mangga Barani.
Jadi, lanjut Mangga Barani, sebagai organisasi, RSPO sudah tidak mampu lagi mengakomodasi kepentingan Indonesia. Karena itu, manfaat RSPO bagi Indonesia pun layak dipertanyakan, terlebih saat ini Indonesia juga sudah memiliki standar kelestarian lingkungan sendiri yaitu ISPO. "Jika sudah ada ISPO, mengapa kita butuh RSPO?" ujarnya.
Menurutnya, ISPO dinilai lebih tepat mengingat Indonesia merupakan negara pemiliki lahan sawit terbesar di dunia sekaligus penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Sudah sewajarnya Indonesia berani menentukan standarnya sendiri.(In.C)
No comments:
Post a Comment