Sekjen GAPKI Joko Supriyono mengatakan,
ada beberapa hal yang harus diperbaiki untuk membenahi industri sawit
nasioal. "kepastian hukum, infrasruktur dan moratorium izin baru itu
adalah salah satunya, "kata Joko dikantor GAPKI Jakarta, selasa (8/1).
Joko menjerlaskan, masalah kepastisan hukujm mengenai tata ruang dan lahan yang mernjadi kendala yang penuh ketidakpastian. Seperti di beberapa Provinsi, banyak lahan sawit yang masih berada di kawasan hutanp pada hal sudah beroperasi puluhan/ratusan tahun. "Ini menjadi masalah serius terutama menyangkut hutan. Tetapi pemerintah tidak mempunyai penyelesaian ini, katanya"
Belum lagi masalah infrastruktur, menurut Joko pemerintah memangmempunyai program Masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) tetapi yang berhubungan dengansawit tidak ada. pelabuhan juga terbatas sehingga biaya produksi industri sawit meningkat.
Masal\ah lain yang dihadapi industri sawit Indonesia adalah kebijakan moratorium pemberian izin lahan baru untuk sawit yang tidak sesuai dengan penerapan di lapangan. Bagi Joko kebijakan moratorium harus segera diselesaikan dan berfungsi dengan baik sehingga tidak mengakibatkan potensial loss yang seharusnya bisa menjadi sumber pendapatan peningkatan ekonomi Indonesia.
"Infrastruktur minim sehingga biaya produksi juga meningkat. Kita jauh lebih mahal bila dibandingkan Malaysia. Sebagai contoh ongkos angkut CPO di Malaysia hanya 0,3 ringgit/kg/km ini di Malaysia atau seetara dengan Rp 0,8/kg/km, sedangkan di Indonesia Rp 1,2-1,4 /kg/km.
Sedangkan potential loss yang didapat dari kebijakan moratorium yang tidak sesuai penerapan di lapangan adalah sekitar 120 ribu tenaga kerja kehilangan kesempatan untuk bekerja dan PDB hilang sebesar US$ 4 miliar," tandas Joko.
Pajak Ekspor CPO
Joko mengemukakan pula bahwa Malaysia resmi melakukan pemangkasan pajak ekspor produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Januari 2013. Saat ini pajak ekspor baru CPO di Malaysia hanya 4,5-8%, jauh di bawah ketentuan pajak atau bea keluar sawit Indonesia."Ini mesti dicermati. Indonesia pajak ekspor masih 7-22,5%. Kita bisa kalah dan kehilangan pasar," ungkapnya.
Dia menyatakan dengan kejadian seperti ini maka Indonesia bisa saja kehilangan pasar produk CPO sebut saja negara India dan Pakistan. Kedua negara tersebut adalah importir terbesar produk CPO asal Indonesia."Di India dan Pakistan itu adalah importir terbesar CPO Indonesia. Kita cermati dan kita beri masukan ke pemerintah," katanya.
Menurut data GAPKI tahun 2012 ekspor produk sawit Indonesia dalam bentuk CPO sebesar 42% sedangkan 58% itu produk turunannya. Indonesia biasanya ekspor 5,5-7 juta ton/tahun dalam bentuk CPO ke India sedangkan untuk Pakistan 600.000 ton. Joko menilai harus ada upaya signifikan yang harus dilakukan pemerintah dalam mencermati kejadian ini."Pasar kita paling besar India dan Pakistan untuk CPO. Kita khawatir dimakan Malaysia. Selain itu kita harus antisipasi untuk mendorong pemakaian di dalam negeri.
Biodiesel adalah peluang terbaik dan potensial di dalam negeri. Ini bisa menyerap konsumsi domestik," jelas Joko. ldtf MB
Joko menjerlaskan, masalah kepastisan hukujm mengenai tata ruang dan lahan yang mernjadi kendala yang penuh ketidakpastian. Seperti di beberapa Provinsi, banyak lahan sawit yang masih berada di kawasan hutanp pada hal sudah beroperasi puluhan/ratusan tahun. "Ini menjadi masalah serius terutama menyangkut hutan. Tetapi pemerintah tidak mempunyai penyelesaian ini, katanya"
Belum lagi masalah infrastruktur, menurut Joko pemerintah memangmempunyai program Masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) tetapi yang berhubungan dengansawit tidak ada. pelabuhan juga terbatas sehingga biaya produksi industri sawit meningkat.
Masal\ah lain yang dihadapi industri sawit Indonesia adalah kebijakan moratorium pemberian izin lahan baru untuk sawit yang tidak sesuai dengan penerapan di lapangan. Bagi Joko kebijakan moratorium harus segera diselesaikan dan berfungsi dengan baik sehingga tidak mengakibatkan potensial loss yang seharusnya bisa menjadi sumber pendapatan peningkatan ekonomi Indonesia.
"Infrastruktur minim sehingga biaya produksi juga meningkat. Kita jauh lebih mahal bila dibandingkan Malaysia. Sebagai contoh ongkos angkut CPO di Malaysia hanya 0,3 ringgit/kg/km ini di Malaysia atau seetara dengan Rp 0,8/kg/km, sedangkan di Indonesia Rp 1,2-1,4 /kg/km.
Sedangkan potential loss yang didapat dari kebijakan moratorium yang tidak sesuai penerapan di lapangan adalah sekitar 120 ribu tenaga kerja kehilangan kesempatan untuk bekerja dan PDB hilang sebesar US$ 4 miliar," tandas Joko.
Pajak Ekspor CPO
Joko mengemukakan pula bahwa Malaysia resmi melakukan pemangkasan pajak ekspor produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Januari 2013. Saat ini pajak ekspor baru CPO di Malaysia hanya 4,5-8%, jauh di bawah ketentuan pajak atau bea keluar sawit Indonesia."Ini mesti dicermati. Indonesia pajak ekspor masih 7-22,5%. Kita bisa kalah dan kehilangan pasar," ungkapnya.
Dia menyatakan dengan kejadian seperti ini maka Indonesia bisa saja kehilangan pasar produk CPO sebut saja negara India dan Pakistan. Kedua negara tersebut adalah importir terbesar produk CPO asal Indonesia."Di India dan Pakistan itu adalah importir terbesar CPO Indonesia. Kita cermati dan kita beri masukan ke pemerintah," katanya.
Menurut data GAPKI tahun 2012 ekspor produk sawit Indonesia dalam bentuk CPO sebesar 42% sedangkan 58% itu produk turunannya. Indonesia biasanya ekspor 5,5-7 juta ton/tahun dalam bentuk CPO ke India sedangkan untuk Pakistan 600.000 ton. Joko menilai harus ada upaya signifikan yang harus dilakukan pemerintah dalam mencermati kejadian ini."Pasar kita paling besar India dan Pakistan untuk CPO. Kita khawatir dimakan Malaysia. Selain itu kita harus antisipasi untuk mendorong pemakaian di dalam negeri.
Biodiesel adalah peluang terbaik dan potensial di dalam negeri. Ini bisa menyerap konsumsi domestik," jelas Joko. ldtf MB