"Selain untuk menekan ketergantungan Sumut akan pasokan karet dari daerah lain, juga untuk mendapatkan peluang devisa yang lebih besar lagi pada tahun-tahun mendatang," kata Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Edy Irwansyah, di Medan, Minggu.
Menurut dia, ada prakiraan beberapa tahun lagi harga karet akan melonjak tajam karena terjadi "booming" permintaan di pasar internasional di tengah ketatnya pasokan.
Harga dan permintaan karet itu juga dipastikan tren menguat sejalan dengan semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi dunia dan jumlah penduduk.
"Jangan biarkan tanaman karet terus-terusan dikonversi atau tidak ada bantuan peremajaan tanaman karet petani yang sudah tua, karena itu akan merugikan Sumut,"katanya.
Dia menyebutkan dewasa ini setiap tahun Sumut membutuhkan sekitar 20-30 persen bahan baku dari daerah lain seperti Jambi, Riau, Aceh dan Sumatera Barat.
Ia memberi contoh pada 2010 dari ekspor Sumut yang sebanyak 513.811, 852 ton, sebanyak 26,5 persen atau sebesar 133,8112 ton dipasok dari daerah lain.
"Jangan lagi kalau berbicara soal kapasitas produksi pabrik karet Sumut yang 800.000 ton per tahun, sudah pasti Sumut butuh sekitar 50 persen dari kapasitas, karena produksi semakin turun atau hanya sekitar 380.000 ton,"katanya.
Menurut dia, dewasa ini, sebagian besar tanaman karet di Sumut dimiliki oleh petani, menyusul perusahaan perkebunan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengkonversi ke tanaman sawit.
Ironisnya, kata dia, tanaman karet petani sebagian besar atau hampir 50 persen berusia tua sehingga produktivitasnya sangat rendah.
Sekretaris Asosasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut Laksamana Adiyakasa mengatakan sawit dan karet merupakan komoditas unggulan di Sumut.
Dia mengakui, dewasa ini petani dan perusahaan lebih cenderung bertanam sawit karena permintaan tinggi.
Tetapi memang harus ada perhatian pada tanaman karet karena permintaan pasar dunia juga semakin meningkat, katanya.
(wsh/WSH/bd - ant)