Foto: medanbisnis/gom tobing |
"Untuk memenuhi
operasional produksinya, pabrik karet harus mengambil dari Aceh dan
Lampung. Kondisi ini masih terjadi terutama pada saat musim hujan,
karena pada saat itu produksi akan mengalami penurunan drastis," terang
Sekretaris Gabungan Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia
(Gapkindo) Sumut, Edy Irwansyah, kepada wartawan, di Medan, Selasa
(15/5).Kapasitas produksi karet yang dibutuhkan untuk pabrik
pengolahan sekitar 800.000 ton per tahun, sedangkan produksi kebun
karet di Sumut hanya sekitar 400.000 ton per tahun. Meski Sumut termasuk
produsen karet, namun intensitas hujan yang masih tinggi membuat petani
tidak bisa menderen. Sebab, jika itu tetap dilakukan, maka pada saat
menderen akan terbawa air hujan.
Dia mengatakan, menurunnya jumlah produksi ini juga membuat volume ekspor karet Sumut triwulan I-2011 hanya sebanyak 144.763 ton. Tercatat, pada Januari sebanyak 47.902 ton, Februari 2011 sebanyak 41.958 ton, dan Maret sebanyak 54.902 ton. Volume tersebut menurun 18%, karena pada triwulan I-2012 ekspor hanya 118.996 ton, di mana pada Januari volume ekspor sebanyak 37.996 ton, Februari sebanyak 41.842 ton dan Maret 2012 sebanyak 39.158 ton.
Diakui Edy, ekspor memang sangat perlu. Namun sebaiknya, kebutuhan dalam negeri harus didahulukan. Karena jika pabrik pengolahan karet saja harus memasok bahan baku dari Aceh dan Lampung, maka industri hilir tidak akan berkembang. "Bagimana di Sumut tercukupi dulu.
Maka ada kemungkinan juga investor datang dan mendirikan perusahaan karet yang baru. Namun jika kondisinya seperti ini akan sulit untuk membangun industri hilir," ungkap Edy.
Dalam hal ini, katanya, harusnya semua stakeholder membantu kebun rakyat karena kepemilikan yang terbesar adalah punya rakyat. Jadi dalam hal ini pengusaha dan stake holder lainnya, harus punya kepedulian mengembangkan karet rakyat, semisal menyiapkan lembaga atau institusi penelitian dan menyiapkan bibit yang unggul. Kemudian dari perusahaan-perusahaan, bisa juga membantu melalui Corporate Sosial Responsibility (CSR). Pemerintah punbisa memberikan dana bantuan untuk petani.
Kalau pabrik asing bertambah ke Sumut, kata Edy,tentu akan mengakibatkan kekurangan pasokan semakin parah. Selain itu, tambahnya, akan mengancam tutupnya pabrik-pabrik yang berkapasitas kecil. Karena kalau pabrik asing masuk tentunya datang ke Indonesia menggunakan modal bukan modal dalam negeri (Indonesia), di mana interest rate-nya (bunga) dari modal yang mereka bawa lebih rendah. Kemudian dari sisi peralatan mereka membawa dan memasang yang sudah high efisiensi.
"Gapkindo meminta kepada pemerintah untuk lebih fokus dulu bagaimana mengembangkan tanaman karet di Sumut supaya produksinya bisa meningkat. Dengan begitu, kapasitas untuk produksi lokal bisa terpenuhi. Nah, baru memikirkan untuk menambah perusahaan asing di Sumut ataupun di daerah-daerah," ucapnya. Karena hingga kini, kemampuan produksi kebun karet di Sumut masih kecil. (elvidaris simamora)/MB
Dia mengatakan, menurunnya jumlah produksi ini juga membuat volume ekspor karet Sumut triwulan I-2011 hanya sebanyak 144.763 ton. Tercatat, pada Januari sebanyak 47.902 ton, Februari 2011 sebanyak 41.958 ton, dan Maret sebanyak 54.902 ton. Volume tersebut menurun 18%, karena pada triwulan I-2012 ekspor hanya 118.996 ton, di mana pada Januari volume ekspor sebanyak 37.996 ton, Februari sebanyak 41.842 ton dan Maret 2012 sebanyak 39.158 ton.
Diakui Edy, ekspor memang sangat perlu. Namun sebaiknya, kebutuhan dalam negeri harus didahulukan. Karena jika pabrik pengolahan karet saja harus memasok bahan baku dari Aceh dan Lampung, maka industri hilir tidak akan berkembang. "Bagimana di Sumut tercukupi dulu.
Maka ada kemungkinan juga investor datang dan mendirikan perusahaan karet yang baru. Namun jika kondisinya seperti ini akan sulit untuk membangun industri hilir," ungkap Edy.
Dalam hal ini, katanya, harusnya semua stakeholder membantu kebun rakyat karena kepemilikan yang terbesar adalah punya rakyat. Jadi dalam hal ini pengusaha dan stake holder lainnya, harus punya kepedulian mengembangkan karet rakyat, semisal menyiapkan lembaga atau institusi penelitian dan menyiapkan bibit yang unggul. Kemudian dari perusahaan-perusahaan, bisa juga membantu melalui Corporate Sosial Responsibility (CSR). Pemerintah punbisa memberikan dana bantuan untuk petani.
Kalau pabrik asing bertambah ke Sumut, kata Edy,tentu akan mengakibatkan kekurangan pasokan semakin parah. Selain itu, tambahnya, akan mengancam tutupnya pabrik-pabrik yang berkapasitas kecil. Karena kalau pabrik asing masuk tentunya datang ke Indonesia menggunakan modal bukan modal dalam negeri (Indonesia), di mana interest rate-nya (bunga) dari modal yang mereka bawa lebih rendah. Kemudian dari sisi peralatan mereka membawa dan memasang yang sudah high efisiensi.
"Gapkindo meminta kepada pemerintah untuk lebih fokus dulu bagaimana mengembangkan tanaman karet di Sumut supaya produksinya bisa meningkat. Dengan begitu, kapasitas untuk produksi lokal bisa terpenuhi. Nah, baru memikirkan untuk menambah perusahaan asing di Sumut ataupun di daerah-daerah," ucapnya. Karena hingga kini, kemampuan produksi kebun karet di Sumut masih kecil. (elvidaris simamora)/MB