PONTIANAK—Potensi pajak ekspor
CPO (minyak sawit mentah /crude palm oil) Kalimantan Barat diperkirakan
mencapai ratusan miliar per tahun. Hal ini mengingat produk CPO asal
Kalbar yang diekspor mencapai sekitar satu juta ton per tahun.
Sayangnya, potensi pajak tersebut terpaksa menguap lantaran ekspor
dilakukan melalui pelabuhan dari daerah lain.
“Potensi ini yang harus dikejar oleh pemprov. Selama ini kita kesulitan
karena tidak punya pelabuhan samudera sehingga ekspor CPO dilakukan
dari pelabuhan daerah lain seperti Surabaya dan Medan,” kata Ketua
Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalbar, Ilham Sanusi,
kemarin. Menurutnya, nilai total dari satu juta ton ekspor CPO Kalbar
per tahun dapat mencapai Rp8 triliun (asumsi harga CPO Rp8000 per kg). Dengan pajak ekspor sebesar 20 persen, maka total nilai pajaknya
mencapai sekitar Rp1,6 triliun. Apabila pemerintah daerah mendapat
porsi 20 persen dari pajak ekspor tersebut maka mestinya Kalbar
memperoleh sekitar Rp300 miliar per tahun. “Itu sudah berapa persen
dari APBD kita,” ujar Ilham.
Perjuangan untuk memperoleh pajak ekspor CPO ini dinilai lebih penting dan realistis ketimbang memperjuangkan adanya dana bagi hasil (DBH) pajak perkebunan sebagaimana yang telah diwacanakan. Upaya memperoleh pajak ekspor ini memerlukan adanya komitmen dari pihak-pihak terkait, baik pemerintah maupun perusahaan perkebunan. Di samping itu, perlu ada pendekatan kepada Menteri Keuangan, Dirjen Pajak, Bea Cukai, pihak pelabuhan dan Kementerian Perdagangan.
Seperti diketahui, sejumlah pemda mendesak agar pemerintah pusat mengkaji adanya DBH dari sektor perkebunan. Dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, DBH dari sektor perkebunan memang belum diakomodir. Sumber DBH hanya berasal dari pajak yang terdiri dari PBB, BPHTB dan PPh. Untuk DBH dari sumber daya alam (SDA), sektor perkebunan juga belum termasuk. SDA yang dibagihasilkan hanya berasal dari kehutanan, pertambangan dan perikanan.
Namun, kata Ilham, sebetulnya sektor perkebunan sudah memberikan kontribusi untuk DBH yaitu melalui jenis-jenis pajak seperti PBB, BPHTB, PPh dan lain-lain. “Pajak-pajak itulah yang kemudian dibagi-bagi ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan lain-lain. Jadi, sebaiknya yang dikejar jangan dana bagi hasil, tetapi pajak ekspor,” jelasnya.
Sebelumnya, Panitia Khusus DPRD Kalbar tentang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur 2011 menyarankan agar pemprov memperjuangkan DBH dari sektor perkebunan. Ketua Pansus, Fatahillah Abrar mengatakan, pemprov perlu mengambil inisiatif sekaligus mengkoordinasikan langkah bersama dengan daerah lain serta DPR-RI dan DPD-RI agar sektor perkebunan menjadi salah satu komponen SDA yang dibagihasilkan. Selain itu, DPRD juga memandang perlu perjuangan agar porsi DBH SDA untuk pemprov dapat lebih ditingkatkan melalui revisi Undang-Undang No 33 Tahun 2004. Bahkan, DPRD menyarankan agar dilakukan upaya hukum berupa judicial review terhadap undang-undang tersebut.(ron)/PP
Perjuangan untuk memperoleh pajak ekspor CPO ini dinilai lebih penting dan realistis ketimbang memperjuangkan adanya dana bagi hasil (DBH) pajak perkebunan sebagaimana yang telah diwacanakan. Upaya memperoleh pajak ekspor ini memerlukan adanya komitmen dari pihak-pihak terkait, baik pemerintah maupun perusahaan perkebunan. Di samping itu, perlu ada pendekatan kepada Menteri Keuangan, Dirjen Pajak, Bea Cukai, pihak pelabuhan dan Kementerian Perdagangan.
Seperti diketahui, sejumlah pemda mendesak agar pemerintah pusat mengkaji adanya DBH dari sektor perkebunan. Dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, DBH dari sektor perkebunan memang belum diakomodir. Sumber DBH hanya berasal dari pajak yang terdiri dari PBB, BPHTB dan PPh. Untuk DBH dari sumber daya alam (SDA), sektor perkebunan juga belum termasuk. SDA yang dibagihasilkan hanya berasal dari kehutanan, pertambangan dan perikanan.
Namun, kata Ilham, sebetulnya sektor perkebunan sudah memberikan kontribusi untuk DBH yaitu melalui jenis-jenis pajak seperti PBB, BPHTB, PPh dan lain-lain. “Pajak-pajak itulah yang kemudian dibagi-bagi ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan lain-lain. Jadi, sebaiknya yang dikejar jangan dana bagi hasil, tetapi pajak ekspor,” jelasnya.
Sebelumnya, Panitia Khusus DPRD Kalbar tentang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur 2011 menyarankan agar pemprov memperjuangkan DBH dari sektor perkebunan. Ketua Pansus, Fatahillah Abrar mengatakan, pemprov perlu mengambil inisiatif sekaligus mengkoordinasikan langkah bersama dengan daerah lain serta DPR-RI dan DPD-RI agar sektor perkebunan menjadi salah satu komponen SDA yang dibagihasilkan. Selain itu, DPRD juga memandang perlu perjuangan agar porsi DBH SDA untuk pemprov dapat lebih ditingkatkan melalui revisi Undang-Undang No 33 Tahun 2004. Bahkan, DPRD menyarankan agar dilakukan upaya hukum berupa judicial review terhadap undang-undang tersebut.(ron)/PP