JAKARTA  - Menteri
 Perdagangan RI, Gita Wirjawan, telah menyampaikan secara resmi 
tanggapan terhadap Notice of Data Availability (NODA) yang dikeluarkan 
oleh Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat terkait 
produk crude palm oil (CPO). Dalam tanggapannya, Mendag menyampaikan 
bahwa EPA, dalam analisanya, telah mengabaikan komitmen Pemerintah 
Indonesia dalam melindungi lingkungan dan mengurangi emisi gas rumah 
kaca. 
"Pada Copenhagen Meeting tahun 2009, Presiden RI telah 
menyampaikan komitmennya untuk mengurangi gas rumah kaca sebesar 26% 
pada 2020, dan menargetkan penurunan emisi sebesar 41% melalui kerjasama
 internasional," jelas Dirjen Perdagangan Luar Negeri Deddy Saleh.
Dirjen
 Perdagangan Luar Negeri menambahkan, terkait perlindungan lingkungan 
dan pelestarian hutan, Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan 
Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan 
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Kemudian,
 dalam tanggapan resminya, Mendag juga menyampaikan bahwa dalam 
menghitung emisi gas rumah kaca, EPA banyak menggunakan data-data yang 
bersifat asumsi, bukan data riil, sehingga hasilnya tidak menggambarkan 
kondisi yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Indonesia mengusulkan agar EPA
 menggunakan metode lain dalam penghitungan gas rumah kaca.
Poin 
ketiga yang disampaikan oleh Mendag adalah CPO merupakan tanaman paling 
efisien dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. 
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Food Policy Research Institute 
tahun 2010, CPO hanya membutuhkan 0,26 hektar lahan untuk menghasilkan 1
 ton minyak sawit. "Jika dihitung secara ilmiah, CPO jauh lebih efisien 
dibandingkan tanaman lain seperti misalnya kedelai, biji bunga matahari 
dan rape seed," imbuh Deddy Saleh.
Selanjutnya, Mendag juga 
menyampaikan bahwa NODA tidak konsisten dengan beberapa pasal di dalam 
ketentuan WTO, antara lain mengenai prinsip Most Favored Nation, dan 
National Treatment karena membedakan CPO dengan komoditas seperti 
kedelai yang diproduksi di dalam negeri AS.
Tanggapan resmi 
Menteri Perdagangan tersebut diserahkan ke pemerintah AS pada 26 April 
2012 sebelum batas akhir penyampaian tanggapan yang telah ditetapkan, 
yaitu tanggal 27 April 2012. EPA mengeluarkan NODA pada Desember 2011 
dan secara resmi didaftarkan kepada US Federal Register pada 27 Januari 
2012.
NODA merupakan analisa terhadap emisi gas rumah kaca dari 
minyak kelapa sawit (CPO). Berdasarkan program Renewable Fuel Standard 
(RFS) yang diterapkan di AS, bahan baku untuk produk biodiesel dan 
renewable diesel harus memenuhi ketentuan minimum 20% ambang batas 
pengurangan emisi gas kaca.
Melalui analisisnya, EPA menyatakan 
bahwa CPO hanya berada pada level 11-17%, sehingga tidak memenuhi 
ketentuan RFS untuk dapat dikategorikan sebagai bahan bakar terbarukan 
(renewable fuel) yang efisien.
Atas dikeluarkannya NODA tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menangani isu ini. 
KBRI
 Washington secara aktif telah melakukan berbagai pertemuan dengan 
beberapa pihak terkait di AS, termasuk dengan United States Trade 
Representative (USTR), EPA, Department of Commerce, US Chamber of 
Commerce, Staffer Congress, serta para pemangku kepentingan CPO di AS 
dalam rangka menyampaikan concern pemerintah Indonesia dan melakukan 
lobbying.(DNA/kmdg)

 sudah lihat yang ini (klik aja)?
 sudah lihat yang ini (klik aja)? 
 
 
 
