"Kalau persoalan ini terus berlanjut, selain mengancam produksi gula pasir nasional, aktivitas perekonomian masyarakat pada mata rantai produksi gula pasir juga menjadi terancam," kata Sekretaris Perusahaan PTPN VII (Persero), Sonny Soediastanto, dalam penjelasan atas dampak aksi warga itu, di Bandarlampung, Sabtu.
Menurut Sonny, akibat kondisi itu, banyak pihak yang dapat kehilangan pendapatan dengan penghentian aktivitas pabrik, seperti pekerja tebang, muat, usaha angkutan, dan ikutannya yang melibatkan ribuan orang.
Dia menjelaskan, unjuk rasa menuntut pengembalian lahan yang dimulai pada 20 Mei dan berlanjut hingga sepekan ini, bukan hanya dilakukan oleh warga Desa Sribandung, Kecamatan Tanjungbatu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, melainkan juga oleh warga 13 desa di sekitarnya.
Mereka terus melakukan pematokan lahan dan memblokir jalan, sehingga aktivitas tebang, muat, dan angkut tebu untuk dipasok ke Pabrik Gula (PG) Cinta Manis di sana tak bisa dilakukan, kata dia.
Menurut Sonny, dengan berhenti giling tebu, bukan hanya perusahaan yang dirugikan, melainkan juga masyarakat dan pekerja yang pendapatannya bergantung dari proses produksi gula pasir di PG Cinta Manis.
Pada musim giling saat ini saja, terdapat sekitar 2.500 orang tenaga borong tebang dan muat, serta sekitar 250 tenaga sopir angkutan yang menggantungkan hidupnya dari proses produksi gula tersebut.
"Kalau pabrik berhenti beroperasi, mereka kehilangan mata pencaharian yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerawanan sosial," ujar dia lagi.
Kondisi banyak warga yang kehilangan mata pencaharian itu, juga akan menimbulkan keresahan dan kegalauan yang bisa memicu konflik horizontal antara petani, pekerja, dan masyarakat yang akan merugikan banyak pihak di daerah itu, kata Sonny pula.
Pulihkan Situasi Kondusif Karena itu, manajemen PTPN VII berharap semua pihak, terutama aparat pemerintah dan aparat keamanan serta para tokoh masyarakat setempat dapat membantu memulihkan situasi dan kondisi itu, agar menjadi kondusif.
Diharapkan, dengan peran serta semua pihak itu, sehingga aktivitas produksi gula pasir di PG Cinta Manis Sumsel bisa kembali dilakukan secepatnya.
"Kami berharap pula agar aksi tersebut tidak anarkis dan berkelanjutan, karena bisa mengancam perekonomian masyarakat dan perekonomian daerah," kata dia.
Sonny Soediastanto juga menegaskan bahwa berkaitan tuntutan warga terhadap lahan perusahaan, bisa dimusyawarahkan, meskipun sebenarnya lahan yang dituntut warga tersebut sudah dinyatakan "clear", dan perolehannya melalui prosedur yang benar.
Dia menjelaskan bahwa perolehan lahan itu berdasarkan SK Gubernur Sumsel No: 379/Kpts/I/1981 tanggal 16 November 1981, perihal Pencadangan Tanah Negara Seluas 20.000 ha untuk Proyek Pabrik Gula di Kecamatan Tanjungraja, Muarakuang, Inderalaya, dan Tanjungbatu, Kabupaten Dati II Ogan Komering Ilir.
Hal itu berdasarkan surat tugas Bupati Kdh. Tingkat II OKI No: AG.210-243/1981 tanggal 10 April 1981, untuk mengadakan inventarisasi tanah, tanam tumbuh, dan bangunan rakyat terhadap lokasi yang akan dibebaskan oleh PTP XXI-XXII (Persero) di Marga Tanjungbatu, Meranjat, Lubukkeliat, dan Marga Rambang IV Suku di Kecamatan Tanjungbatu dan Muarakuang.
Berdasarkan hasil inventarisasi itu, tanah rakyat di Rayon III, di Ketiau seluas 374 ha, dengan ganti ruginya diberikan kepada 133 warga; di Sribandung, Sritanjung, dan Tanjungatap seluas 1.479 ha, dan ganti ruginya diberikan kepada 894 warga.
"Jadi lahan milik rakyat yang diganti rugi seluas 1.853 ha dengan jumlah pemilik sebanyak 1.027 orang," kata Sonny pula.
Sedangkan sisanya merupakan tanah negara eks tanah marga, ujar dia.
Berdasarkan kronologis tersebut, jelas PTPN VII telah melalui prosedur dalam memperoleh lahan tersebut, demikian Sonny atas nama Direksi PTPN VII yang memiliki lahan kebun di Sumsel, Lampung, dan Bengkulu.
(wsh/WSH/bd - ant)