JAKARTA - Meskipun produksi kelapa sawit diperkirakan akan mengalami peningkatan menjadi 25 juta ton di 2012, namun masih banyak persoalan yang dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan industri kelapa sawit nasional yaitu di antaranya permasalahan bea keluar (BK).
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menuturkan, pada Agustus 2011 pemerintah mengeluarkan PMK No 28/2011, dimana dalam skema BK yang baru tarif BK CPO berkisar antara 7,5 persen hingga 22,5 persen pada kisaran harga USD750-USD1.250. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam BK CPO dan produk hilirnya dengan margin sebesar lima persen hingga 15 persen.
Sebagaimana dinyatakan pemerintah, skema BK seperti ini bertujuan selain sebagai stabilisasi juga sebagai instrumen untuk mendorong pengembangan industri hilir CPO.
"Kami menilai skema yang belaku saat itu (BK lama) tidak adil dan proporsional sehingga banyak memberikan kerugian untuk industri kelapa sawit (CPO) dan petani. berdasarkan hal tersebut GAPKI bersama stakeholder CPO tetap menolak BK yang baru ini dan meminta pemerintah untuk meninjau kembali serta merevisi PMK tersebut," ungkapnya kala ditemui dalam acara Konferensi Pers Refleksi Industri Kelapa Sawit 2011 dan Prospek di 2012, di Kantor Gapki, Sudirman Park, Jakarta, Rabu (4/1/2012).
Permasalahan lainnya yaitu ketidakpastian hukum untuk pengembangan kelapa sawit, belum tuntasnya masalah tata ruang nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang sudah berlangsung sejak tiga tahun terakhir membuat para investor dan para pemegang konsesi memilih "wait and see".
Pokok permasalahannya, adalah tidak sinkronnya antara kebijakan Pemerintah Daerah dengan pemerintah pusat yang menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap status legalitas lahan untuk pengembangan kelapa sawit.
Permasalahannya lainnya datang dari infrastruktur. Hingga saat ini, pembangunan infrastruktur untuk memperlancar dan meningkatkan efisiensi dari distribusi CPO belum banyak kemajuannya, semuanya masih di atas kertas dan baru sebatas rencana.
Kebutuhan yang mendesak adalah pelabuhan ekspor di wilayah Indonesia Timur mengingat produksi CPO dari wilayah Kalimantan, Sulawesi telah mecapai 30 persen dari produksi nasional. Namun demikian, Belawan dan Dumai tetap masih memiliki masalah antrean (congested) yang belum sepenuhnya bisa diatasi.
Selain itu permasalahan lainnya yaitu mengenai perpajakan yang dirasakan mempengaruhi kinerja perusahaan adalah pajak PPn atas produksi primer TBS untuk perusahaan kelapa sawit yang terintergrasi.
PPn TBS selama ini dibebaskan sehingga pajak masukan atas barang-barang faktor produksi tidak bisa dikreditkan dan menjadi biaya. hal ini menimbulkan pajak berganda (double taxation) pada perusahaan yang terintergrasi (produksi-pengolahan). (mrt) (rhs)
sumber ; http://economy.okezone.com/read/2012/01/04/320/551472/bea-keluar-jadi-kendala-industri-sawit-nasional
No comments:
Post a Comment