Perusahaan Pengguna Outsourcing Bakal Kena Tambahan Biaya 18 Persen
Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) atau asosiasi perusahaan outsourcing memperkirakan akan ada tambahan biaya 16-18% yang harus dikeluarkan oleh perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing.
Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) Wisnu Wibowo mengatakan tambahan biaya itu konsekuensi adanya keputusan normatif Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggariskan bahwa perusahaan outsourcing mengubah kontrak kerja dari perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
"Konsekuensinya ada 16-18% tambahan, untuk cadangan pesangon, penghargaan masa kerja. Setiap bulan ada tambahan 16%-18% ditambah setiap bulan, dibayarkan oleh usser (perusahaan pengguna tenaga outsourcing)," kata Wisnu kepada wartawan di Jakarta, Rabu (25/1).
Ia mengatakan bagi perusahaan outsourcing, keputusan MK itu tak berdampak bagi anggotanya. Dampak paling terasa akan dialami oleh perusahaan pengguna karena akan ada tambahan biaya, berupa fasilitas sama, yang biasa diberikan kepada karyawan tetap.
"User akan banyak nambah, kalau PKWTT, perusahaan pengguna harus menyiapkan cadangan dana, kesejahteraan harus setara dengan pekerja tetap, terkait dengan upah, Jamsostek, kesehatan, pajak, hak normatif," katanya.
Untuk itu ia berharap agar petunjuk pelaksanaan (juklak) soal putusan MK tersebut harus segera dikeluarkan oleh kementerian tenaga kerja. Hal ini untuk mencegah adanya multi tafsir oleh pekerja, perusahaan pengguna maupun perusahaan outsourcing.
"Kemarin anggota kita mau ngirim draft usulan juklak, soal kapan dan mekanismenya, tahun ini mesti di jalankan," katanya.
Ia juga menambahkan ada beberapa sisi positif dan negatif soal putusan MK ini. Misalnya soal dana tambahan tadi yang besarnya 16-18% tentunya akan disetorkan ke perusahaan outsourcing, yang menjadi masalah adalah ketika ada pekerja outsourcing yang kena PHK maka harus dipastikan si pekerja menerima haknya dari perusahaan outsourcing-nya. "Jadi ada peluang baru untuk manipulasi," katanya.
Sebelumnya, MK memutuskan, ketidakpastian pekerja dengan sistem kontrak, termasuk outsourcing, telah melanggar konstitusi. Putusan ini dinilai memberi dampak positif pada pemenuhan hak-hak buruh.
Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan ini diajukan oleh Didik Suprijadi yang mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2-MLI).
Oleh MK, aturan untuk pekerja outsourcing (penyedia jasa pekerjaan) dalam UU tersebut,yaitu Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b dianggap inkonstitusional jika tidak menjamin hakhak pekerja.
Mahkamah menilai posisi buruh outsourcing dalam hubungannya dengan perusahaan menghadapi ketidakpastian ke-lanjutan kerja apabila hubungan kerja dilakukan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Perjanjian kerja ini memberi implikasi jika hubungan pemberian kerja antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan outsourcing habis, habis pula masa kerja buruh.
Mahkamah kemudian menentukan dua model bentuk perlindungan hak-hak pekerja, yaitu mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, tetapi ber-bentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Sumber : Detik | Jakarta | Jurnal Medan
No comments:
Post a Comment