"Wacana larangan ekspor produk sawit yang tidak
bersertifikat (ISPO) menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia
memenuhi tuntutan negara konsumen akan produk dan perkebunan sawit
berkelanjutan. Karena memenuhi keinginan itu, maka wajar juga Indonesia
menuntut perlakuan yang lebih dari konsumen," kata Wakil Menteri
Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, seusai pembukaan The 11th Roundtable
Meeting on Sustainable Palm Oil (RT11), di Hotel Santika Medan, Selasa
(12/11).Bayu mengakui hingga saat ini, belum 100% perusahaan
perkebunan atau perusahaan industri yang mengantongi sertifikat ISPO.
Padahal, sertifikat ISPO bersifat mandatory atau merupakan kewajiban.
Berbeda dengan sertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang
sukarela. "Mungkin baru di sekitar 20 an perusahaan yang sudah memiliki
ISPO.
Padahal sudah 110 perusahaan di Indonesia yang sudah ada
sertifikat RSPO-nya yang memang sudah diberlakukan sebelum ISPO. Namun,
keinginan kuat perusahaan perkebunan dan sawit memenuhi ketentuan RSPO
sangat tinggi," katanya.
Keinginan yang sangat tinggi itu
terlihat dari areal kebun sawit yang sudah disertifikasi RSPO terus naik
atau sudah mencapai 850.000 ha dari 1, 8 juta ha secara total di
seluruh dunia dan produksi sawit yang mengantongi sertifikat RSPO 4,6
juta ton dari 9,3 juta ton.
"Jadi Indonesia bukan hanya sebagai
produksi dan pengekspor CPO terbesar dunia, tetapi juga terus paling
menunjukkan keseriusan memenuh kriteria sawit berkelanjutan," katanya.
Untuk
itu, kata dia, dalam pertemuan tahunan RSPO ke-11 ini, Indonesia
meminta negara konsumen memberikan penghargaan dengan membeli lebih
banyak sawit Indonesia dengan harga yang lebih mahal pula. Menurutnya,
penghargaan tersebut dinilai tidak mengada-ada, karena nyatanya bukan
hanya perusahaan besar, petani Indonesia pun sudah ada yang mengantongi
sertifikat RSPO. "Pemerintah memberikan apresiasi kepada Asosiasi Petani
Sawit Swadaya Amanah di Riau yang selama ini telah menjadi pemasok buah
sawit ke perusahaan Asian Agri," katanya.
Direktur RSPO
Indonesia, Dewi Kusumadewi, menyebutkan, keberadaan ISPO semakin
membantu RSPO menekan kampanye negatif sawit di pasar internasional.
Karena itu, kata dia, RSPO dan ISPO terus menjalin kerja sama, bahkan
tahun ini sudah melakukan studi bersama untuk bisa sejalan dalam
menerapkan standar kebun dan produk sawit berkelanjutan yang bukan hanya
menjadi tuntutan negara konsumen tetapi juga produsen untuk diakui di
pasar internasional."Meski tudingan masih ada, tetapi dengan adanya RSPO
dan ISPO, penolakan sawit semakin berkurang dan sebaliknya berganti
dengan mendukung sawit yang berkelanjutan," katanya.
Dia
menjelaskan studi gabungan RSPO-ISPO diinisiasi sebagai bagian dari
Sustainable Palm Oil (SPO) Initiative yang diluncurkan oleh Kementerian
Pertanian Republik Indonesia, UNDP dan pelaku-pelaku industri dari
sektor swasta. Desi menjelaskan, salah satu komponen utama dalam SPO
Initiative adalah dibentuknya sebuah wadah multi-stakeholder, di mana
para pemangku kepentingan, seperti ISPO dan RSPO dapat berkumpul dan
mendiskusikan cara-cara terbaik untuk bekerja sama dalam mewujudkan
minyak sawit berkelanjutan di Indonesia.
Petani Sawit Demo RSPO Sementara
di tengah pertemuan RSPO tersebut tampak ribuan massa yang terdiri dari
serikat buruh, petani dan masyarakat adat sekitar perkebunan sawit se
Sumatera berdemonstrasi di depan pelataran pintu masuk Hotel Santika
Dyandra Medan, tempat diselenggarakannya perhelatan tersebut. Ratusan
personel polisi dari satuan Shabara Polresta Medan mengawal aksi unjuk
rasa tersebut.
Ribuan massa itu menuntut sejumlah permasalahan
mengenai nasib 70% buruh di perkebunan sawit yang hanya dipekerjakan
sebagai buruh harian lepas dan tidak memiliki kepastian ikatan hubungan
kerja dengan pihak perkebunan sawit yang notabene adalah anggota RSPO.
Golan
Hasibuan selaku perwakilan dari massa mengatakan bahwa aksi unjuk rasa
tersebut bertujuan untuk pertemuan RSPO yang seharusnya membahas masalah
mengenai upah buruh dan menolak kebijakan praktik eksploitasi di
perkebunan sawit.
"Kami menganggap pertemuan RSPO ini sama
sekali tidak ada manfaatnya untuk buruh yang hingga saat ini masih
banyak yang mengalami nasib buruk, apalagi permasalahan mengenai konflik
tanah (dengan perusahaan perkebunan sawit) yang belum terselesaikan,"
katanya. (ant/dtf/elvidaris simamora/cw03)
MedanBisnis Rabu, 13 Nov 2013 |