Gapki: Kecemburuan Pasar Penyebab Utama
UE Masih Kutip BM Antidumping CPO Indonesi
Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, Timbas Prasad Ginting mengatakan, penetapan BM tersebut merupakan buntut dari tuduhan Uni Eropa yang menyatakan Indonesia melakukan praktik dumping dalam memproduksi CPO sehingga harga produk biodiesel asal Indonesia dijual lebih murah dibanding minyak nabati lain dari kedelai dan biji bunga matahari yang diproduksi di negara-negara Uni Eropa.
Diungkapkannya, tuduhan demikian dilontarkan untuk melindungi usaha minyak nabati di Uni Eropa yang biaya produksinya lebih tinggi (mahal) dibanding minyak sawit.
Sebagai perbandingan, dia mengungkapkan produktivitas minyak nabati di Uni Eropa hanya sekira 0,8 ton/ha setiap tahun, sedangkan produktivitas CPO Indonesia bisa mencapai 3,5 ton/ha setiap tahun. "Tentu dengan produktivitas seperti itu, biaya produksi CPO lebih murah sehingga bisa dilempar ke pasar dengan harga yang lebih murah," jelasnya.
Tapi, tambahnya, harga murah itulah yang digunakan Uni Eropa untuk menuding Indonesia melakukan praktik dumping yakni memberi subsidi dalam proses produksi CPO, sehingga produk biodiesel Indonesia menjadi lebih murah dan dijual di bawah harga pasar sehingga berpotensi merusak industri manufaktur dan minyak nabati di Eropa. Selain Indonesia, Argentina pun dituduh melakukan hal yang sama.
Seperti diketahui, pada medio tahun lalu, Uni Eropa secara resmi memberlakukan tarif khusus terhadap produk minyak nabati Indonesia dan Argentina sebagai butut tuduhan itu. Tarif bea masuk untuk produk Indonesia mencapai 18,9% sedangkan Argentina mencapai 24,6%.
Oleh pengusaha Indonesia, tarif antidumping itu hanyalah bentuk kecemburuan pasar yang justru merugikan konsumen di negara itu. "Jika kami menghentikan ekspor ke sana, mereka bisa apa. Karena bagaimanapun, kami masih menjadi produsen terbesar yang memasok biodiesel untuk konsumen di sana," ungkap Timbas.
Jadi, kata dia, pihaknya tidak terlalu takut dengan tuduhan itu. Hanya saja, pemerintah dan pengusaha telah melaporkan tindakan Uni Eropa itu kepada WTO untuk mencari solusi yang tepat. "Sejauh ini kami masih menunggu laporan hasilnya dari pemerintah," ungkapnya.
Pengamat ekonomi Sumut, M Ishak mengatakan, UE juga merupakan salah satu pasar yang sangat besar bagi produk sawit Indonesia.
"Pengusaha dan pemerintah wajib menjaga stabilitas pasar di sana jika ingin kinerja ekonomi di tengah krisis global ini tetap terjaga," ungkapnya. Begitupun, kebijakan yang tegas juga diperlukan untuk melindungi produk Indonesia dari tudingan-tudingan yang tak beralasan. "Langkah lain yang bisa dilakukan adalah dengan menjajaki pasar baru, contohnya Asia, Rusia dan negara-negara lain sehingga bisa menopang kinerja ekspor kita," tandasnya.
(daniel pekuwali)
dikutip dari : Medanbisnis