Pulau Madura, selain populer sebagai penghasil garam, juga berpotensi menjadi salah satu penghasil gula terbesar di tanah air.
Aris Toharisman, Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
(P3GI) mengatakan, setelah dilakukan penelitian dan kajian, Madura
menyimpan potensi besar untuk industri gula.
”Kajian yang dilakukan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
(P3GI) memberikan fakta menarik. Sekitar 250.000 hektar lahan di Madura
relatif sesuai untuk perkebunan tebu dan bisa menghasilkan antara 60
hingga 90 ton per hektar,” katanya saat dikonfirmasi LICOM. Jumat
(24/1/2014).
Potensi itu bisa mendukung pembangunan 10 pabrik gula (PG) baru,
dengan masing-masing kapasitas giling 10.000 ton tebu per hari (TCD/ton
cane per day). Sebagai pembanding, area tebu di Jawa Timur saat ini
sekitar 200.000 hektar dengan 31 PG yang menghasilkan gula sekitar 1,2
juta ton per tahun.
Aris menambahkan, potensi area tebu yang sangat masif di Madura, bisa
menjadi tumpuan produksi gula. Selain itu juga sangat prospektif
dikelola sebagai industri gula terpadu. Pabrik gula dapat diintegrasikan
dalam sebuah kompleks industri berbasis tebu seperti bioetanol,
listrik, kertas, pakan ternak, pupuk organik dan produk-produk komersial
lainnya.
”Integrasi semacam itu sulit dilakukan di Jawa, mengingat rata-rata
kapasitas giling PG hanya 3.500 TCD, sehingga hilirisasi produk turunan
tebu sulit memenuhi skala keekonomian,” ujar Aris.
Saat ini area tebu di Madura baru mencapai sekitar 1.500 hektar yang
terkonsentrasi di Sampang dan Bangkalan. Tahun 2014, area tebu
kemungkinan meningkat menjadi 4.000 hektar, seiring dengan program
pengembangan yang didanai APBN. Dua tahun berikutnya, ketika sudah ada
PG, area tebu diperkirakan mencapai 10.000 hektar.
Jika dibanding dengan potensi area tebu lainnya di luar Jawa, Madura
jauh lebih menjanjikan. Infrastruktur tersedia sangat memadai. Jalan,
jembatan, pelabuhan, jaringan listrik dan komunikasi tinggal pakai.
Tenaga kerja juga cukup tersedia. Untuk itu, investasi ke Madura juga
cukup terbuka lebar.
Kondisi tersebut, kata Aris, jauh berbeda dengan lokasi lain seperti
Merauke yang juga dari sisi lahan sangat potensial untuk pengembangan
tebu. Merauke sebelumnya sempat banyak diwacanakan sebagai daerah
pengembangan tebu oleh pemerintah. Namun, kondisi infratruktur tidak
mendukung.
”Di Merauke infrastruktur dan tenaga kerja di sektor pertanian sangat
terbatas. Saat musim hujan, pengendara motor harus berjibaku dalam
kubangan lumpur untuk bisa menempuh lokasi kebun. Mobil bahkan sulit.
Belum lagi masyarakat di sana sebagian besar belum terbiasa bergelut di
pertanian tanaman semusim,” alasannya.
Aris menambahkan, pengembangan tebu di Madura memang tidak mudah dan
menghadapi berbagai tantangan. Pertama, budidaya tebu masih relatif baru
bagi sebagian besar petani, sehingga butuh sosialisasi dan transfer
teknologi yang sungguh-sungguh, agar tingkat keberhasilannya tinggi.
Kedua, petani Madura terbiasa dengan tanaman pangan atau tanaman semusim
berumur pendek, yang hasilnya bisa segera dijual.
“Ini berbeda dengan tebu, karena petani harus bekerjasama dengan PG
dan perlu waktu minimal setahun sejak tanam hingga hasilnya bisa
dinikmati,” tegasnya.
Ketiga, rasa memiliki orang Madura relatif tinggi yang tercermin
dalam pengelolaan lahan. Kadangkala sulit membongkar pembatas di antara
lahan-lahan yang berbeda kepemilikan, walaupun sekadar untuk kebutuhan
saluran drainase.
”Tantangan tersebut perlahan sudah bisa dikelola menjadi peluang.
Buktinya, kini makin banyak investor yang melirik Madura. Area tebu pun
terus bertambah. Madura bagaikan gula yang memikat banyak semut. Jangan
heran bila kelak persepsi anak cucu kita tentang Madura berbeda dengan
orangtuanya. Bukan hanya penghasil garam, tetap menjadi lumbung gula
terbesar di Indonesia,” pungkas Aris. (@dony - www.lensaindonesia.com)
Sumber : PTPN XI