Pada bulan ini di daerah Sumatera seperti sudah mengalami masa kering dengan suhu sangat panas (gerah) baik malam apalagi disiang hari, karena belakangan ini hampir si-hujan tak kunjung datang..siang hari sepertinya langit berawan (mendung) termasuk di kota Medan, namun ternyata bukan tanda-tanda akan turun hujan, tapi itu "KATANYA" adalah kabut asap...lalu dari manakah asap-asap tersebut? disamping telah terdeteksinya titik -titik api di Sumatera (BMKG Deteksi Ada 528 Titik Api di Sumatera,ada hal lain yang mungkin dapat memperparah keadaaan yaitu "disinyalir" berhubungan pembukaan atau pembersihan lahan perkebunan dengan cara membakar....benarkah?? kalau "seandainya" itu benar kira-kira apa latar belakang dan tujuannya ya?...ada sebuah topik karya tulisan yang saya kutip dari media online yang ditulis oleh Bangun Hutapea (Auditur dan pekebun Kelapa Sawit).....Bagi saya Artikel dengan topik tersebut sangat menarik, ya bisa menambah kekayaan wawasan terutama saya.
Mari kita simak kutipannya :
Bertanam Sawit Tanpa Membakar Lahan
Oleh: Bangun Hutapea
Auditor dan Pekebun Kelapa Sawit
Gambut adalah tanah yang mengandung bahan organik, terbentuk
dari hasil dekomposisi bahan-bahan organik seperti daun, ranting, semak
belukar dan lain-lain, yang berlangsung dalam kecepatan lambat dan dalam
suasana anaerob. Auditor dan Pekebun Kelapa Sawit
Tanah gambut umumnya memiliki pH rendah. Nominasi kelapa sawit sebagai tanaman primadona di Provinsi Riau menarik minat banyak investor dan secara paralel bermunculan pekebun.
Para pekebun beramai-ramai membuka areal gambut hutan perawan, hutan sekunder, eks hutan tanaman industri (HTI) dan lainnya sebab kesesuaian lahan tidak lagi menjadi bagian yang diperhitungkan karena sulitnya mendapatkan areal.
Motif Pembakaran Areal Gambut
Tingginya biaya persiapan lahan (land preparation) merupakan momok bagi pekebun (yang bermodal nekad dana terbatas) menjadi maju mundur hingga terjebak mencari jalan pintas (praktis dan instan) dan didukung pemahaman yang terbatas tentang gambut serta maraknya paradigma bahwa areal gambut perlu dibakar agar lebih subur.
Dugaaan perusahaan perkebunan sebagai pembakar areal adalah ambigue (meragukan) karena era pembukaan lahan (land preparation) dengan cara: imas, tumbang, rumpuk, bakar I & II, perun I & II (mencincang batang kayu dengan ukuran lebih kecil) sudah ditinggalkan sejak 2001 dengan adanya Peraturan Pemerintah tentang pembukaan lahan tanpa bakar atau zero burning policy yang cukup mudah dideteksi dari agreement (SPK) land preparation.
Manajemen (eksekutif) perusahaan perkebunan yang dijerat atas dugaan sebagai pelaku pembakaran dan akan (sedang) menjalani proses hukum ternyata perusahaan multi nasional yang sudah lama beroperasi lebih 20 tahun dan tidak hanya di Provinsi Riau.
Bagi perusahaan perkebunan besar, membakar lahan telah lama dipahamkan sebagai tindakan yang sangat berisiko apalagi sudah melaksanakan (practices) sertifikasi Round Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesia’s Sustainable Palm Oil (ISPO) dan lainnya.
Namun, pada kenyataannya banyak pihak yang percaya pada publikasi dari institusi pemerintah yang notabene berdasarkan kordinat areal konsesi/HGU hasil pantauan satelit yang terverifikasi di atas kertas (miskin observasi serta belum terkonfirmasikan memadai di lapangan), sebab pada kenyataannya kebakaran massal terjadi di areal non perusahaan.
Pemicu kebakaran sering ditemukan berdekatan dengan areal perusahaan. Kondisi ini wajar saja, sebab areal pekebun memang berdekatan dan para pekebun biasanya memanfaatkan infrastruktur perusahaan sebagai akses ke arealnya dan ini memudahkan pemerintah menuding perusahaan sebagai biang kerok sebab untuk mencari masyarakat pekebun (walau ternyata membakar dengan sengaja) sulit dilakukan karena memiliki segudang jurus lari dan diuntungkan oleh terbatasnya jangkauan informasi serta para sempadan yang belum tentu saling mengenal.
Dapat ditengarai bahwa dugaan pembakar areal adalah para pekebun atau calon pekebun, di luar faktor kelalaian atau keisengan tertentu.
Buktinya, cepat atau lambat areal bekas terbakar tersebut akan berganti vegetasi dengan kelapa sawit atau tanaman lainnya namun sayangnya pihak pemerintah tidak sudi melakukan investigasi ulang secara berkelanjutan.
Membakar Merugikan Kelapa Sawit
Dengan terbakarnya areal gambut membuat kita terhipnotis karena dalam waktu yang singkat areal akan tampak bersih lebih lagi bila hutan sekunder serta respon kelapa sawit yang luar biasa terhadap perubahan ekologi pascaterbakar apalagi diikuti curah hujan atau hari hujan yang memadai.
Daya tarik yang demikian ini mudah dijelaskan karena kebakaran berpengaruh pada sifat fisik tanah (bulk density, porositas, permeabilitas, dan lainnya), sifat kimia (peningkatan nilai pH, C-Organik, N-total, P, Ca, Mg, K dan KTK). Meskipun kandungan haranya lebih tinggi tetapi bersifat sementara karena akan tergerus ke kanal (saluran drainase).
Namun, dengan terbakarnya areal maka kualitas areal (lingkungan) akan terdegradasi, meliputi sifat fisik (tekstur, warna tanah, kerapatan lindak, ruang pori, kadar air tanah, dan permeabilitas), kimia (Nitrogen, Phosphate, Kalium, C-Organik, Al, Kapasitas Tukar Kation (KTK), biologi tanah (jumlah mikrAobiologi), penghilangan serasah serta humus, emisi gas karbon dioksida dalam jumlah besar, yang pada akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan atau perkembangan pokok kelapa sawit.
Biaya pengendalian gulma akan meningkat karena komposisi gulma stenochlaena sp (akar pakis merupakan tumbuhan paku epifit yang merupakan gulma dominan di areal gambut) akan makin rapat dan gulma anak kayu akan merajalela.
Beberapa spesies gulma yang dapat memproduksi zat racun (alelopati) dan dapat menghambat pertumbuhan kelapa sawit akan tumbuh histeria akibat dormancy-nya terpatahkan (misalnya lalang, Mikania sp).
Partikel kabut asap, suhu panas akan mempengaruhi pollinasi atau populasi/aktivitas serangga penyerbuk (Elaeidobius kamerunicus), jumlah bunga jantan dan betina (sex ratio), fruitset, fruit to bunch ratio dan akhirnya produksi atau nilai grading TBS akan turun.
Pokok kelapa sawit yang terbakar (TBM atau TM) akan mengalami stagnant pertumbuhan setidaknya 3 bulan dan memerlukan biaya yang lumayan untuk recovery (melakukan tunas pelepah kering, sanitasi, pemupukan dengan booster dosage misalnya Urea, dan lainnya) serta kemungkinan harus mengintrodusir serangga penyerbuk.
Asap juga menurunkan fotosintesis yang pada gilirannya menurunkan potensi produksi sebab butir-butir halus yang kemudian mengendap dan menempel pada permukaan daun dapat mengurangi luas efektif daun untuk melakukan fotosintesis.
Menekan Biaya Tanpa Membakar
Dengan asumsi land clearing secara zero tillage (manual plus kimia) dan field drain telah dilaksanakan paralel, maka tujuan mengurangi biaya dapat dicapai dengan penanaman kelapa sawit dalam jalur (strip cropping) melalui metode silang jalur. Cara ini dilakukan dengan merancang gawangan hidup/pasar pikul dan gawangan mati secara selang seling.
Gawangan hidup dibersihkan dari gulma, anak kayu, batang/potongan kayu, dan lainnya sedangkan gawangan mati hanya perlu dibersihkan dari anak kayu selebar jarak tanam (antar barisan) sebelum pekerjaan tahap berikutnya dilakukan (pancang, lobang, tanam, dan seterusnya.).
Selanjutnya, setiap sisi kanal dikosongkan hingga ± 7 meter untuk koridor. Selain estetika, akan berfungsi sebagai pembatas (bila terjadi kebakaran), jalan panen, lokasi beneficial plant, akses alat berat (cuci kanal), dan lainnya.
Aktivitas lapangan tersebut dilakukan sambil menjalani masa tunggu ideal areal gambut secara teknis layak ditanami kelapa sawit yakni setidaknya 8 -12 bulan setelah land clearing.
Dengan masa transisi yang terlalu singkat akan menyebabkan pokok kelapa sawit berpotensi doyong/tumbang karena akarnya tidak anchorage (kokoh/berlabuh) akibat penurunan permukaan tanah yang bisa mencapai 80 cm.
Dengan praktik silang jalur, maka hanya separuh dari luas areal saja yang perlu dipelihara intensif. Indikasinya, separuh dari biaya pengendalian gulma (standar input) akan bisa ditekan sejak tahun pertama hingga menjelang menutupnya kanopi (± 5 tahun setelah tanam).
Pengurangan biaya juga akan diperoleh dari terjadinya suksesi lebih awal Stenochlaena sp ke soft grasses (gulma lunak). Apalagi dengan melakukan tindakan ameliorasi (misalnya menggunakan ameliorant tanah mineral, dolomit, zeolith, dan lainnya) atau membuat pasar pikul sejak dini serta melakukan mounding (membunbun pokok) dan membuat parit CECT (Close Ended Conservation Trenches) secara manual antar pokok dalam barisan tanaman dengan ratio tertentu akan memberikan keuntungan operasional karena pada tahun ketiga biasanya suksesi gulma hampir sempurna.
Di tahun berikutnya, pengendalian gulma otomatis akan lebih mudah dan hemat biaya karena rotasi (manual + chemis) dan volume herbisida akan berkurang sebab pengendalian lebih terfokus pada sisi gawangan mati (untuk memperlebar gawangan hidup) hingga nantinya didominasi oleh Neprolepthis sp sesuai harapan karena kondisi clean weeding (areal bersih dari gulma) untuk kelapa sawit memang harus dihindari (sebab menstimulasi erosi sehingga menghasilkan sedimentasi pada saluran drainase) dan bermanfaat untuk mempercepat dekomposisi, meningkatkan kelembaban relatif, atau sebagai pembatas untuk menahan laju kebakaran.
Selain benefit di atas, teknis agronomis ini mudah diterapkan (tidak tergolong luxury cost) dan ada jaminan keleluasaan bagi pekebun dalam menginvestasikan modalnya secara bertahap.
Akhirnya, kondisi alami gambut yang merupakan gudang bahan organik (namun belum tersedia bagi tanaman) akan terpelihara dan lebih mudah dianulir sebagai substitute untuk menekan asumsi tingginya biaya pemupukan. Realita di atas diharapkan dapat menggambarkan secara jelas bahwa tindakan membakar areal lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya.
Dengan demikian, apakah para pekebun atau calon pekebun yang sudah terlanjur berusaha di areal gambut masih saja tertarik untuk membakar areal dengan harapan biaya land preparation lebih hemat? (*)
dikutip dari : www Metrosiantar.com