JAKARTA : Kalangan petani
sawit di Indonesia menyesalkan pernyaan Menteri Kehutanan yang meminta
pabrik pengolahan sawit menolak membeli tandan buah segar sawit milik
petani yang disinyalir dari kawasan konservasi.
"Seharusnya pemerintah memberikan solusi, tidak tiba-tiba
mengeluarkan pernyataan seperti itu," kata Ketua Asosiasi Petani Kelapa
Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) Riau Setiyono ketika dihubungi
di Jakarta, Minggu.
Sebab, kata Setiyono, ketika petani menanam sawit di lokasi
konservasi tersebut, tidak mengetahui kalau kawasan tersebut merupakan
taman nasional yang dilarang untuk dijadikan kebun.
"Jelas kami tidak terima kalau TBS kami ditolak pabrik. Ini kebijakan yang sangat tidak bijaksana," katanya.
Sebelumnya Menhut Zulkifli Hasan di sela pembukaan 4th
International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) di Kuta,
Bali, Rabu (12/2) meminta pabrik pengolahan kelapa sawit tidak membeli
tandan buah segar (TBS) sawit yang berasal dari kebun yang berada di
kawasan konservasi.
Sebab, tambahnya, penanaman kelapa sawit di lahan konservasi merupakan pelanggaran hukum.
"Ini kami minta untuk menahan laju deforestasi yang saat ini mencapai 450.000 hektare (ha) per tahun," kata Zulkifli Hasan.
Menurut dia, saat ini ada perkebunan kelapa sawit yang berada di
kawasan konservasi baik dilakukan perusahaan maupun petani.
Salah satu contoh kawasan konservasi yang saat ini ditanami sawit,
kata Menhut, ada di Taman Nasional (TN) Tesso Nilo di Provinsi Riau.
Untuk mengeliminir potensi deforestasi, kata Menhut, pendekatan
yang dilakukan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) saat ini tidak dalam
bentuk hukuman, karena kebun yang ada di kawasan konservasi tersebut
juga banyak dilakukan oleh para petani kecil.
"Pendekatan yang kami lakukan lebih ke soft power, bukan pendekatan hukum," kata Zulkifli.
Menurut Setiyono seharusnya pemerintah memberikan solusi dengan
persoalan ini, sebab saat ini rata-rata kebun milik petani sudah
berusia enam tahun sehingga tinggal memetik hasilnya.
"Kenapa tidak sejak dulu saja dilarang, ketika kami menanam? Kami
membuka kebun kan membutuhkan modal yang tidak sedikit. Kalau ini
benar-benar diterapkan, jelas kami akan rugi. Terus penghidupan kami
dari mana?," kata Setiyono.
Menurut dia, saat ini dari total kebun sawit yang ada di Provinsi Riau, sekitar 52 persen kebun milik petani.
"Sehingga sawit merupakan sumber penghidupan utama kami," katanya.
Sekjen Asosiasi Petani Kelapa sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar
Arsjad menyayangkan statemen Menhut di ICOPE tersebut sebab kegiatan
itu diikuti oleh delegasi berbagai negara.
"Ini artinya kita membuka borok sendiri di hadapan orang asing yang selama ini memusuhi industri sawit nasional," katanya.
Pernyataan tersebut, kata Asmar, akan menguntungkan kepentingan asing untuk menekan industri sawit nasional.
"Apalagi kebun sawit itu sebagian besar dimiliki petani kecil.
Kalau pabrik dilarang membeli TBS petani, ini sama saja membunuh
penghidupan petani kecil," katanya.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagyo mengatakan bahwa harus
dilihat terlebih dahulu apakah kawasan konservasi tersebut ditetapkan
setelah ada kebun sawit atau sebaliknya.
Menurut dia, jika daerah tersebut dulunya bukan kawasan
konservasi, namun tiba-tiba saat ini ditetapkan sebagai kawasan
konservasi, maka pemilik kebun baik itu petani maupun perusahaan tidak
salah.
"Apalagi akhir-akhir ini kebijakan yang dikeluarkan Kementerian
kehutanan itu semrawut. Bahkan ada airport yang tiba-tiba ditetapkan
kawasan hutan lindung," kata Firman.
Jadi, lanjutnya, memang ada kemungkinan, para petani ketika
membuka kebun tidak di kawasan konservasi, tapi karena ada peraturan
baru, kebun tersebut masuk di dalam kawasan konservasi.
Menyikapi masalah ini, kata dia, pemerintah seharusnya bijaksana dengan memberikan solusi.
"Sebagai pejabat negara, harus hati-hati mengeluarkan statemen.
Karena persoalan ini bisa memicu LSM asing yang selama ini melakukan
black campaign terhadap industri kelapa sawit kita," katanya.(antara)/eksposnews