"Pemerintah yang bertujuan meningkatkan penerimaan negara, malah banyak menerbitkan peraturan yang kami nilai melenceng dari falsafah UU Perpajakan, dan memberatkan industri kelapa sawit," kata Ketua Bidang Pemasaran Gapki Susanto saat dihubungi dari Pontianak, Selasa.
Dia mencontohkan aturan PMK No.78/2010 tentang mekanisme pengkreditan PPN masukan, justru menimbulkan peluang multitafsir bagi Kantor Pajak untuk menguatkan koreksi dan penafsiran Kantor Pajak bahwa sepanjang sudah menghasilkan TBS (tandan buah segar), tanpa harus ada penyerahan, maka PPN masukannya tidak boleh dikreditkan, tanpa melihat apa keluaran penyerahan yang dilakukan.
Kemudian akhir 2011, Kantor Pajak juga menerbitkan SE-90/2011 tentang pengkreditan PPN masukan untuk industri kelapa sawit yang secara formal melarang pengkreditan PPN masukan oleh industri kelapa sawit, walaupun industri mengolah lebih lanjut TBS menjadi CPO (crude palm oil), dan hanya melakukan penyerahan CPO yang terutang PPN.
Dia mengungkapkan selama ini Direktorat Jenderal Pajak dalam praktiknya melarang dan mengkoreksi pengkreditan pajak pertambahan nilai (PPN) masukan oleh industri kelapa sawit dengan alasan industri kelapa sawit menghasilkan TBS yang ditetapkan dalam PP 7/2007 sebagai barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN, walaupun TBS tersebut diolah lebih lanjut menjadi CPO yang terutang PPN.
Namun berdasarkan UU PPN, kata Susanto, boleh tidaknya PPN masukan dikreditkan tergantung dari keluaran yang diserahkan. Apabila keluaran yang diserahkan berupa CPO yang terutang PPN, maka seluruh PPN masukannya dapat dikreditkan.
Padahal, menurut Susanto, TBS termasuk barang setengah jadi untuk industri minyak kelapa sawit yang perlu diproses lagi menjadi CPO dan tidak bisa disimpan dalam waktu lama. Namun dengan interpretasi dari kantor pajak bahwa tidak perlu terjadi penyerahan, selama sudah menghasilkan TBS, maka PPN masukannya tidak boleh dikreditkan sehingga terjadi pajak ganda.
Susanto juga mengatakan, pelaku usaha kebun kelapa sawit saat pengembangan usahanya juga membeli sarana produksi (saprodi) seperti pupuk, bahan kimia dan bahan pendukung lainnya yang sudah dikenakan PPN yang dipungut oleh pemasok barang tersebut sebesar 10 persen dari harga beli barang.
"Kami berharap pemerintah meninjau penerapan kebijakan perpajakan yang tidak mendukung perkembangan industri kelapa sawit dan menghilangkan peraturan-peraturan yang menimbulkan multitafsir dan disinsentif bagi dunia usaha, terutama industri kelapa sawit yang merupakan salah satu sektor primadona dan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara," ujarnya.
Selain dikenakan PPN berganda, industri kelapa sawit saat ini juga dikenakan Bea Keluar (BK) sebesar 15 persen atas ekspornya. Hal ini mengakibatkan industri kelapa sawit dikenakan triple perpajakan sehingga total pajak yang harus ditanggung industri kelapa sawit mencapai 65 - 75 persen dari total profit-nya, terdiri atas PPh Badan sebesar 25 persen dari net profit, Bea Keluar 15 persen dari harga jual atau ekuivalen dengan 40 persen dari profit, dan PPN masukan yang tidak dapat dikreditkan sesuai penjelasan di atas sebesar 10 persen dari biaya produksi atau kurang lebih ekuivalen dengan 15 persen dari profit.
Di samping itu, menurut Susanto, industri kelapa sawit saat ini juga menghadapi tekanan dunia internasional terhadap produk kelapa sawit Indonesia sehingga bebannya semakin bertambah berat bagi kelanjutan usaha industry itu sendiri. (ant)
Dia mencontohkan aturan PMK No.78/2010 tentang mekanisme pengkreditan PPN masukan, justru menimbulkan peluang multitafsir bagi Kantor Pajak untuk menguatkan koreksi dan penafsiran Kantor Pajak bahwa sepanjang sudah menghasilkan TBS (tandan buah segar), tanpa harus ada penyerahan, maka PPN masukannya tidak boleh dikreditkan, tanpa melihat apa keluaran penyerahan yang dilakukan.
Kemudian akhir 2011, Kantor Pajak juga menerbitkan SE-90/2011 tentang pengkreditan PPN masukan untuk industri kelapa sawit yang secara formal melarang pengkreditan PPN masukan oleh industri kelapa sawit, walaupun industri mengolah lebih lanjut TBS menjadi CPO (crude palm oil), dan hanya melakukan penyerahan CPO yang terutang PPN.
Dia mengungkapkan selama ini Direktorat Jenderal Pajak dalam praktiknya melarang dan mengkoreksi pengkreditan pajak pertambahan nilai (PPN) masukan oleh industri kelapa sawit dengan alasan industri kelapa sawit menghasilkan TBS yang ditetapkan dalam PP 7/2007 sebagai barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN, walaupun TBS tersebut diolah lebih lanjut menjadi CPO yang terutang PPN.
Namun berdasarkan UU PPN, kata Susanto, boleh tidaknya PPN masukan dikreditkan tergantung dari keluaran yang diserahkan. Apabila keluaran yang diserahkan berupa CPO yang terutang PPN, maka seluruh PPN masukannya dapat dikreditkan.
Padahal, menurut Susanto, TBS termasuk barang setengah jadi untuk industri minyak kelapa sawit yang perlu diproses lagi menjadi CPO dan tidak bisa disimpan dalam waktu lama. Namun dengan interpretasi dari kantor pajak bahwa tidak perlu terjadi penyerahan, selama sudah menghasilkan TBS, maka PPN masukannya tidak boleh dikreditkan sehingga terjadi pajak ganda.
Susanto juga mengatakan, pelaku usaha kebun kelapa sawit saat pengembangan usahanya juga membeli sarana produksi (saprodi) seperti pupuk, bahan kimia dan bahan pendukung lainnya yang sudah dikenakan PPN yang dipungut oleh pemasok barang tersebut sebesar 10 persen dari harga beli barang.
"Kami berharap pemerintah meninjau penerapan kebijakan perpajakan yang tidak mendukung perkembangan industri kelapa sawit dan menghilangkan peraturan-peraturan yang menimbulkan multitafsir dan disinsentif bagi dunia usaha, terutama industri kelapa sawit yang merupakan salah satu sektor primadona dan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara," ujarnya.
Selain dikenakan PPN berganda, industri kelapa sawit saat ini juga dikenakan Bea Keluar (BK) sebesar 15 persen atas ekspornya. Hal ini mengakibatkan industri kelapa sawit dikenakan triple perpajakan sehingga total pajak yang harus ditanggung industri kelapa sawit mencapai 65 - 75 persen dari total profit-nya, terdiri atas PPh Badan sebesar 25 persen dari net profit, Bea Keluar 15 persen dari harga jual atau ekuivalen dengan 40 persen dari profit, dan PPN masukan yang tidak dapat dikreditkan sesuai penjelasan di atas sebesar 10 persen dari biaya produksi atau kurang lebih ekuivalen dengan 15 persen dari profit.
Di samping itu, menurut Susanto, industri kelapa sawit saat ini juga menghadapi tekanan dunia internasional terhadap produk kelapa sawit Indonesia sehingga bebannya semakin bertambah berat bagi kelanjutan usaha industry itu sendiri. (ant)
No comments:
Post a Comment