Sebelum fenomena supermoon(5/6/12) |
Keadaan langit sebelum hujan deras dan angin kencang yang menumbangkan banyak pohon di Medan beberapa waktu yng lalu. |
Saat gerhana matahari cincin yll |
Cuaca sangat panas terik |
Sebelum gerhana matahari cincin yll |
Tertutup awan tebal |
KUTIPAN BERITA :
Supermoon, Awan Aneh, Gempa Saling Terkait?
Awan tegak lurus di kota Padang (Akun twitter @rendangminang) |
VIVAnews
- Senin 4 Juni 2012 pukul 18.18 WIB, gempa dengan kekuatan 6,1 skala
Richter mengguncang Sukabumi, Jawa Barat. Tepat di malam terjadinya
gerhana bulan "supermoon" - saat satelit Bumi itu berada dalam jarak terdekatnya.
Masyarakat lantas mengaitkan antara supermoon dan gempa. Bahwa peristiwa astronomi itu menyebabkan pergerakan lempeng Bumi yang memicu lindu.
Yang lain bahkan mengaitkannya fenomena awan tegak lurus di Kota Padang, Sumatera Barat, Senin siang. Menganggapnya sebagai pertanda bencana, terutama gempa Bumi.
Masyarakat lantas mengaitkan antara supermoon dan gempa. Bahwa peristiwa astronomi itu menyebabkan pergerakan lempeng Bumi yang memicu lindu.
Yang lain bahkan mengaitkannya fenomena awan tegak lurus di Kota Padang, Sumatera Barat, Senin siang. Menganggapnya sebagai pertanda bencana, terutama gempa Bumi.
Ada lagi spekulasi yang
menghubung-hubungkan lindu dahsyat 7,6 SR Padang pada Rabu sore 30
September 2009, yang sebelumnya didahului gempa Sukabumi 2 September
2009 dengan kekuatan 7,3 SR. Pertanyaan yang menyeruak, apakah
berikutnya Padang yang akan digoyang lindu paska kemarin?
Ahli Paleotsunami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto mengatakan, hubungan antara supermoon dengan terjadinya gempa masih spekulatif. "Belum ada pola yang bisa dijadikan patokan," kata dia kepada VIVAnews.com, Senin 4 Juni 2012 malam.
Dia menceritakan, analisa pengaruh daya tarik bulan dan gempa bumi sudah lama diteliti para ahli. "Sejak tahun 1960-an, USGS sudah mengkajinya. Belum bisa ditemukan pola hubungan dengan hubungan pasti," tambah dia.
Meski ada sejumlah ahli yang berusaha mengaitkannya, polanya tidak ketemu. Apalagi," banyak peristiwa gempa tidak terjadi di bulan purnama," tambah Eko.
Demikian pula dengan awan tegak lurus yang diduga pertanda gempa, sama spekulatifnya. "Bentuk tegak lurus tergantung posisi awan, dan posisi yang melihatnya," kata dia.
Eko juga tak sepakat dengan anggapan bahwa gempa Sukabumi akan "menular" ke Padang, seperti yang terjadi pada tahun 2009 lalu. "Letaknya jauh. Banyak juga gempa Sukabumi yang tak disusul gempa di Padang. Ini juga spekulatif," kata dia.
Daripada sibuk main tebak-tebakan, Eko mengimbau masyarakat Indonesia untuk bersiap menghadapi bencana. Sebab, nusantara sejatinya berada di lingkaran "cincin api" atau "ring of fire" yang rawan gempa. "Lebih baik bersiap menghadapi gempa karena itu lebih sering terjadi. Kalau masyarakat pesisir, selain gempa juga harus bersiap menghadapi tsunami," kata dia. Tak ada yang bisa menebak, kapan guncangan akan terjadi.
Salah satu cara adalah memastikan bangunan tahan menghadapi guncangan lindu. "Kami juga mendorong pemerintah untuk mengkampanyekan pembuatan ruang panik," kata dia.
Ruang panik tak melulu harus membangun rumah baru yang kuat atau merenovasi rumah dengan biaya mahal. Panic room bisa berupa ruangan khusus atau kamar yang sengaja diperkuat. "Atau mebel seperti tepat tidur yang kuat untuk berlindung saat terjadi gempa," kata dia.
Sementara, Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin mengatakan, bulan purnama bukan penyebab tapi bisa jadi pemicu gempa.
Versi USGS
Dugaan supermoon memicu gempa Bumi bukan hanya milik orang Indonesia, tapi pertanyan warga dunia.
Entah berkaitan atau tidak, sejumlah gempa besar terjadi berdekatan dengan fenomena supermoon. Salah satunya gempa dan tsunami dahsyat Jepang, 11 Maret 2011 -- terjadi 8 hari sebelum supermoon 19 Maret 2011.
Tak hanya itu, tsunami Aceh 2004 yang merenggut lebih dari 200 ribu nyawa terjadi dua minggu sebelum supermoon 2005. Begitu juga dengan bencana angin siklon Tracy yang menyapu Darwin Australia di tahun 1974.
Pertanyaan sama dilayangkan berkali-kali ke Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS). Peneliti geofisika USGS, Malcom Johnston mengatakan, menuding bulan sebagai penyebab gempa bukan ide baru.
"Gagasan mengaitkan bencana alam pada fase bulan sudah dilakukan sejak zaman Yunani. Sudah ditanyakan sejak ratusan tahun lalu," kata dia seperti dimuat situs sains Discovery.
Sementara, ahli geologi USGS, Bill Burton mengatakan, ada banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas seismik. Juga, "ada perbedaan aktivitas tektonik selama fase bulan yang berbeda."
Meski mengakui, pasang surut laut bisa menimbulkan efek kecil pada aktivitas tektonik, namun apakah itu bisa menyebabkan gempa, apalagi dengan kekuatan dahsyat, masih jadi perdebatan. "Beberapa gempa kecil yang dangkal mungkin bisa terjadi saat purnama atau supermoon." Peningkatan tekanan air yang disebabkan oleh fase lunar dapat menyebabkan tremor yang sangat kecil."
"Mungkin ada sedikit dorongan yang mengakibatkan lempeng tektonik menyelinap," timpal Johnston. "Namun, secara keseluruhan, efeknya bisa diabaikan. Kecuali jika mengambil kesimpulan berdasarkan sepuluh ribu data gempa bumi, Anda dapat menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara gempa dan pergerakan bulan. Tapi kalau hanya berdasarkan satu gempa saja, jangan."
Ahli Paleotsunami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto mengatakan, hubungan antara supermoon dengan terjadinya gempa masih spekulatif. "Belum ada pola yang bisa dijadikan patokan," kata dia kepada VIVAnews.com, Senin 4 Juni 2012 malam.
Dia menceritakan, analisa pengaruh daya tarik bulan dan gempa bumi sudah lama diteliti para ahli. "Sejak tahun 1960-an, USGS sudah mengkajinya. Belum bisa ditemukan pola hubungan dengan hubungan pasti," tambah dia.
Meski ada sejumlah ahli yang berusaha mengaitkannya, polanya tidak ketemu. Apalagi," banyak peristiwa gempa tidak terjadi di bulan purnama," tambah Eko.
Demikian pula dengan awan tegak lurus yang diduga pertanda gempa, sama spekulatifnya. "Bentuk tegak lurus tergantung posisi awan, dan posisi yang melihatnya," kata dia.
Eko juga tak sepakat dengan anggapan bahwa gempa Sukabumi akan "menular" ke Padang, seperti yang terjadi pada tahun 2009 lalu. "Letaknya jauh. Banyak juga gempa Sukabumi yang tak disusul gempa di Padang. Ini juga spekulatif," kata dia.
Daripada sibuk main tebak-tebakan, Eko mengimbau masyarakat Indonesia untuk bersiap menghadapi bencana. Sebab, nusantara sejatinya berada di lingkaran "cincin api" atau "ring of fire" yang rawan gempa. "Lebih baik bersiap menghadapi gempa karena itu lebih sering terjadi. Kalau masyarakat pesisir, selain gempa juga harus bersiap menghadapi tsunami," kata dia. Tak ada yang bisa menebak, kapan guncangan akan terjadi.
Salah satu cara adalah memastikan bangunan tahan menghadapi guncangan lindu. "Kami juga mendorong pemerintah untuk mengkampanyekan pembuatan ruang panik," kata dia.
Ruang panik tak melulu harus membangun rumah baru yang kuat atau merenovasi rumah dengan biaya mahal. Panic room bisa berupa ruangan khusus atau kamar yang sengaja diperkuat. "Atau mebel seperti tepat tidur yang kuat untuk berlindung saat terjadi gempa," kata dia.
Sementara, Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin mengatakan, bulan purnama bukan penyebab tapi bisa jadi pemicu gempa.
Versi USGS
Dugaan supermoon memicu gempa Bumi bukan hanya milik orang Indonesia, tapi pertanyan warga dunia.
Entah berkaitan atau tidak, sejumlah gempa besar terjadi berdekatan dengan fenomena supermoon. Salah satunya gempa dan tsunami dahsyat Jepang, 11 Maret 2011 -- terjadi 8 hari sebelum supermoon 19 Maret 2011.
Tak hanya itu, tsunami Aceh 2004 yang merenggut lebih dari 200 ribu nyawa terjadi dua minggu sebelum supermoon 2005. Begitu juga dengan bencana angin siklon Tracy yang menyapu Darwin Australia di tahun 1974.
Pertanyaan sama dilayangkan berkali-kali ke Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS). Peneliti geofisika USGS, Malcom Johnston mengatakan, menuding bulan sebagai penyebab gempa bukan ide baru.
"Gagasan mengaitkan bencana alam pada fase bulan sudah dilakukan sejak zaman Yunani. Sudah ditanyakan sejak ratusan tahun lalu," kata dia seperti dimuat situs sains Discovery.
Sementara, ahli geologi USGS, Bill Burton mengatakan, ada banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas seismik. Juga, "ada perbedaan aktivitas tektonik selama fase bulan yang berbeda."
Meski mengakui, pasang surut laut bisa menimbulkan efek kecil pada aktivitas tektonik, namun apakah itu bisa menyebabkan gempa, apalagi dengan kekuatan dahsyat, masih jadi perdebatan. "Beberapa gempa kecil yang dangkal mungkin bisa terjadi saat purnama atau supermoon." Peningkatan tekanan air yang disebabkan oleh fase lunar dapat menyebabkan tremor yang sangat kecil."
"Mungkin ada sedikit dorongan yang mengakibatkan lempeng tektonik menyelinap," timpal Johnston. "Namun, secara keseluruhan, efeknya bisa diabaikan. Kecuali jika mengambil kesimpulan berdasarkan sepuluh ribu data gempa bumi, Anda dapat menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara gempa dan pergerakan bulan. Tapi kalau hanya berdasarkan satu gempa saja, jangan."
Sementara soal awan aneh yang diduga pertanda gempa, situs USGS
menyebut, pada abad ke-4 Sebelum Masehi, Aristoteles mengajukan teori
bahwa gempa disebabkan angin yang terperangkap di gua-gua di bawah
tanah.
Pergerakan angin yang mendorong atap gua diyakini menyebabkan gempa kecil, sementara gempa besar diakibatkan udara pecah di permukaan tanah. Teori ini jadi dasar bagi teori cuaca gempa, di mana diyakini cuaca akan panas dan tenang sebelum gempa terjadi. Atau lindu dipercaya akan didahului angin kencang, bola api, dan meteor.
Teori yang lebih modern mengaitkan formasi awan tertentu sebagai pertanda gempa. Ide yang ditolak sebagian besar geolog.
Pergerakan angin yang mendorong atap gua diyakini menyebabkan gempa kecil, sementara gempa besar diakibatkan udara pecah di permukaan tanah. Teori ini jadi dasar bagi teori cuaca gempa, di mana diyakini cuaca akan panas dan tenang sebelum gempa terjadi. Atau lindu dipercaya akan didahului angin kencang, bola api, dan meteor.
Teori yang lebih modern mengaitkan formasi awan tertentu sebagai pertanda gempa. Ide yang ditolak sebagian besar geolog.
Gerhana Supermoon Bisa Picu Gempa Sukabumi
Banyak yang meyakini Supermoon dan gempa saling berkaitan (REUTERS/Darryl Webb) |
VIVAnews - Bersamaan dengan gempa Sukabumi 6.1SR,
gerhana bulan Supermoon langka terjadi di langit Indonesia pada Senin 4
Juni 2012. Apakah ini kebetulan semata? Ternyata, tidak.
Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin menjelaskan, pada saat gerhana hari ini posisi matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis. Ini membuat gaya pasang surut maksimal. Wilayah yang mengalami gerhana, seperti Pantai Selatan pada saat itu airnya surut.
"Pada saat air laut surut, bisa saja beban pada lempeng memicu pelepasan energi sehingga lempeng bergerak menyusup," ujar Thomas.
Apabila mengaitkan dengan gempa yang terjadi di Sukabumi, Jawa Barat, purnama dinilai menjadi pemicu pelepasan energi. Ini bisa diketahui keeratan kaitannya apabila lempeng Indoaustralia menyusup ke lempeng Eurasia di bawah posisi Pulau Jawa.
Menurut Thomas, konfirmasi kaitan gempa dan purnama ini lebih ke mekanisme penyusupan lempeng.
"Perlu menunggu konfirmasi BMKG," cetus Thomas.
Thomas menjelaskan telah ada studi yang mempelajari kondisi yang mengaitkan kedua peristiwa seperti ini.
"Pasang surut maksimal itu bisa disebut pemicu, bukan penyebab," ujar Thomas. (adi)
Profesor Riset Astronomi Astrofisika Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin menjelaskan, pada saat gerhana hari ini posisi matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis. Ini membuat gaya pasang surut maksimal. Wilayah yang mengalami gerhana, seperti Pantai Selatan pada saat itu airnya surut.
"Pada saat air laut surut, bisa saja beban pada lempeng memicu pelepasan energi sehingga lempeng bergerak menyusup," ujar Thomas.
Apabila mengaitkan dengan gempa yang terjadi di Sukabumi, Jawa Barat, purnama dinilai menjadi pemicu pelepasan energi. Ini bisa diketahui keeratan kaitannya apabila lempeng Indoaustralia menyusup ke lempeng Eurasia di bawah posisi Pulau Jawa.
Menurut Thomas, konfirmasi kaitan gempa dan purnama ini lebih ke mekanisme penyusupan lempeng.
"Perlu menunggu konfirmasi BMKG," cetus Thomas.
Thomas menjelaskan telah ada studi yang mempelajari kondisi yang mengaitkan kedua peristiwa seperti ini.
"Pasang surut maksimal itu bisa disebut pemicu, bukan penyebab," ujar Thomas. (adi)